DCKD 32

5.9K 289 3
                                    

Pada dasarnya Fifah tidak tahu. Ucapan Mama Rio barusan hanya sekadar untuk membuatnya berhenti menangis atau supaya ia segera menemui Citra yang sudah menunggu lama di ruang depan. Intinya, Fifah tidak bisa menebak ada apakah gerangan tujuan wanita itu datang kemari.

Begitu Fifah keluar dari kamar dengan rangkulan Rina di pundaknya, Citra yang duduk di kursi bambu sudah melambai-lambai sambil tersenyum ke arahnya.

"Bunda kangen sama kamu, Nak," Citra membelai lembut pucuk kepala Fifah usai anak itu duduk di sampingnya. Sesekali ia peluk calon menantunya kemudian ia cium pipinya diiringi sisa sesenggukan.

Citra tidak mau membahas soal pernikahan. Takutnya malah membuat Fifah nangis lagi. Sepertinya ... biarlah para orang tua yang merencanakan semua ini. Toh daripada Fifah seperti tadi? Lama dan sulit juga membujuknya.

"Fifah ini ... sudah dari kecil jauh dari Ibunya, Bu. Jadi ya ... maklumlah kalau sikapnya sedikit manja. Hehehe." Tampak Mama Rio yang sudah duduk di kursi sebrang meja memamerkan deretan gigi putihnya dengan perasaan tidak enak hati.

Fifah merengut seolah tidak terima jika dirinya dibilang manja. Sesekali ia menatap Ayahnya yang juga sudah duduk di samping Mama Rio.

"Tidak apa-apa ya, Sayang?" Citra menatap Fifah penuh cinta. "Lagi pula ... dari dulu tuh saya kepengen banget punya anak perempuan. Tapi, apa mau dikata. Mau laki-laki atau perempuan sama aja rezeki. Hehehe."

Mama Rio merangkulkan tangannya ke pundak Rina. "Nah, kalo ini menantu saya. Namanya Rina."

Citra terkejut seraya tersenyum. "Masyaa Allah ... umurnya berapa?"

"Mmm delapan belas, Bu. Hehehe," jawab Rina.

"Sama dong kayak Fifah?" tanya Citra yang dibalas senyuman oleh Rina.

"Besok Fifah bakal kesepian. Soalnya Rina sama Rio mau bulan madu," celetuk Mama Rio.

Fifah sedikit terperanjat sebelum pada akhirnya Citra mengelus lengannya pelan.

Darah Fifah terasa berdesir. Susah payah dalam sesenggukan gadis itu meneguk salivanya. Ya, ucapan Mama Rio barusan seperti halnya ratusan belati yang bergantian menancap di jantung. Dan entah kenapa masih ada sedikit nyeri di dada Fifah meski ia sudah berusaha keras untuk membuang rasa sukanya. Pada Rio.

***

Cinta bukanlah suatu kebetulan. Jika kau tidak berniat untuk melupakan, dia tidak akan menghilang.

Benarkah seperti itu?

Sore itu, di sebuah kamar Pondok Pesantren. Dengan tergesa Zihro mengemas beberapa baju ke dalam tasnya. Setelah meminta izin pada Pak kyai siang tadi, ia ingin pulang ke rumah. Ya, pulang ke rumah saudaranya yang masih terletak satu desa dengan pondok pesantren namun, letaknya memang agak jauh dari pondok pesantren. Ibarat kata pesantren berada di kepala desa sedangkan rumah saudara Zihro itu ada di ekornya desa.

"Loh? Kamu mau kemana, Ro?" tanya Farhan begitu ia melihat Zihro tengah berjalan menuju arah keluar dari halaman pesantren sambil menenteng tas.

Zihro berjalan lesu tanpa menoleh ke sisinya. "Aku mau pulang."

"Nanti balik lagi, toh?"

Zihro diam.

"Hei! wong ditanya kok malah diam? Nanti kamu balik lagi toh, Ro?"

Zihro masih diam. Meskipun demikian, Farhan terus berjalan di sisi Zihro hingga perbatasan belokan pesantren habis, laki-laki berkaca mata bulat itu terpaku menyaksikan Zihro berjalan lesu.

Dengan Cinta-Nya Kucintai DirimuWhere stories live. Discover now