DCKD 35

7.4K 364 11
                                    

Setelah Fifah menunggu suatu alasan yang dapat membuatnya bisa keluar dari kamar, dari kejauhan terdengar hiruk pikuk obrolan suara laki-laki yang jumlahnya lumayan banyak semakin mendekat.

Lalu bersamaan dengan itu, Mama Rio membuka pintu kamar Fifah dengan napas yang tersengal-sengal. Fifah terperanjat. Terpaksa ia melepas rangkulan Citra seraya mendekati Mama Rio dengan perasaan khawatir.

"Lik, kenapa?"

Mama Rio masih mengatur napasnya. Menunggu hal itu, bukannya menjawab pertanyaan Fifah, Mama Rio malah menyunggingkan dua sudut bibirnya ke atas kemudian ia pegang erat-erat kedua lengan gadis itu.

"Selamat, Fifah. Selamat! Suamimu sedang menuju ke sini."

Sontak detak jantung Fifah yang semula adem ayem berubah menjadi tidak beraturan. Bibirnya menjadi kering, keringat dingin mulai mebasahi pelipisnya. Rasanya ... kaki tangan Fifah benar-benar lemas tak berdaya untuk berdiri. Tenggorokannya tercekat sehingga ia tidak mampu mengeluarkan suara.

Apa ia tidak salah dengar?

Mama Rio memeluk Fifah. Tak lama setelah itu, ia melepas pelukannya bergantian dengan Citra yang memeluk kemudian ia cium kening gadis itu meski Fifah masih mematung. Tidak percaya.

Lantas dua wanita itu membimbing Fifah keluar kamar, menuju ruang depan. Ruangan itu benar-benar terlihat sepi dan terkesan ... biasa-biasa saja. Tidak ada yang berubah dari ruangan itu. Tidak ada kursi pengantin apa lagi sebuah meja yang digunakan Ayahnya untuk salaman dengan Irfan. Tidak ada pula musik-musik pengiring seperti halnya orang hajatan.

Fifah mengernyit, heran. Apakah ini sebuah permainan?

Tidak lama dari itu, ia melihat rombongan santri yang begitu banyak melintasi rumahnya. Sudah habis rombongan itu, Ayah Fifah, Irfan yang tengah menggandeng bocah kecil yang tidak Fifah ketahui namanya, Adri dan Hilma memasuki rumah sederhana itu. Entah kenapa, tanpa dikomando pun mereka semua berdiri melingkar padahal tidak ada sesuatu di tengah-tengah mereka. Seperti ada dinding kecangguan yang membatasi padahal kini kedua keluarga telah menyatukan sepasang hati yang terpisah.

"Nah! Sekarang, Nak Irfan ini sudah sah menjadi suaminya Fifah," ucap Ayah sambil menepuk punggung Irfan.

Fifah terbelalak. Ia mengelak seolah tidak terima. "T-tapi Ayah ... bagaimana bisa?"

"Kemari, Nang." Citra memerintahkan Irfan untuk mendekat. Namun, begitu Irfan melepas genggaman tangan Alfa, anak itu ingin terus berada di dekat Om-nya.

"Alfa, Alfa di sini dulu. Om Irfan mau bicara sama Tante Fifah. Oke?" Alfa membalasnya dengan satu kedipan mata.

Begitu Irfan sudah di dekat Citra, wanita itu berkata, "Lakukan apa yang seharusnya seorang suami lakukan pada istrinya setelah menikah."

Terkejut, sesaat Irfan tatap Ibunya penuh ampunan. Irfan tau ia akan dihadapkan dengan persoalan ini. Di mana seorang istri mencium punggung suami kemudian suami mendoakan istrinya dengan meletakan salah satu telapak tangannya di atas ubun-ubun istrinya. Akan tetapi, Irfan belum menyiapkan mental untuk hal ini.

Karena Irfan tak kunjung bergerak, Citra sedikit membulatkan mata kepada putranya. Irfan menelan salivanya susah payah. Perlahan, ia dekati Fifah yang sedikit tertunduk ke bawah.

"Mmm ...." Irfan menggumam. Sebenarnya ia ingin mengulurkan tangan, tapi entah kenapa ... Fifah diam saja.

Aah, baiknya ia ulurkan tangan dulu atau doakan istrinya dulu? Tidak tahu. Yang Irfan tahu adalah detak jantungnya menjadi bekerja dua kali lebih cepat dari biasanya. Bahkan ada kemungkinan besar jantung Irfan akan loncat dari posisinya berada jika ia semakin dekat dengan Fifah.

Dengan Cinta-Nya Kucintai DirimuWhere stories live. Discover now