06 | A Little Dream

48 11 2
                                    

From a distance, most things look beautiful.

—Haruki Murakami, Killing Commendatore

Karena ini sekolah menengah atas, ketika guru membahas soal cita-cita percakapannya tidak pernah tanggung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Karena ini sekolah menengah atas, ketika guru membahas soal cita-cita percakapannya tidak pernah tanggung. Selalu dilibas habis dalam sekali tanya; semua berkaitan dengan masa depan. Bisa tidak sih, biarkan aku berpikir sebentar? Lagian aku tidak pernah seserius itu dalam menuntut ilmu. Alasannya? Mudah saja, semua sudah diatur oleh orangtuaku. Masuk ke sekolah ini saja bukan keinginanku, les dan lain-lain juga bukan. Jadi, kupercayakan saja pada mereka apa pun yang terjadi.

Menyedihkan? Bukankah dari awal aku sudah begitu? Tetapi memang sih, aku tidak boleh bergantung seperti ini. Huh, bergantung apanya?! Aku cuma dikekang. Sewaktu kecil aku pernah mengatakan impianku, tetapi Ayah langsung marah dan berkata sebaiknya beginilah, sebaiknya begitulah. Ibu juga sama, lebih parah malah.

Maka, pertanyaan 'apa cita-citamu' di sekolah adalah yang paling kubenci. Awal kelas sepuluh, guru BK memasuki kelas dan memberi formulir yang harus diisi secara serius oleh murid-murid. Waktunya dua jam pelajaran—yang sudah seperti tes saja saking banyaknya.

Niatnya sih, aku ingin ikutan serius. Tetapi setelah mengisi biodata diri, aku langsung di hadapan dengan pertanyaan masa depan. Aku melewati pertanyaan itu. Namun kurasa, semua pertanyaan di lembar-lembar berikutnya bertema sama! Haih, aku mati rasa.

Selanjutnya? Kujawab secara asal-asalan, aku tulis saja apa yang terlintas di kepala ketika membaca pertanyaannya. Guru BK di sekolah menengah pertamaku tidak pernah serius dan menganggap permasalahan murid-muridnya sepele, dan baru bertindak ketika ada laporan dari orangtua. Aku tidak suka yang namanya guru BK, sungguh.

Jadi kupikir guru BK di sini sama saja. Dan, ups, aku salah besar. Sepulang sekolah beliau memanggilku ke ruangannya. Awalnya aku santai saja. Tidak takut juga kabur karena aku merasa tak membuat kesalahan, tuh.

Namanya Nyonya Kim, ia menatapku intens begitu aku masuk dan mempersilakanku duduk di hadapannya. Perawakan Nyonya Kim sedikit gemuk, tetapi cantik dengan rambut hitamnya yang digerai sebahu. Di kelas beliau ramah sekali. Namun kupikir aku punya dendam dengan guru BK sekolah lamaku, sehingga aku menganggap pertemuan ini akan membosankan.

"Sera, bisa jelaskan kenapa formulir tadi tidak kau isi secara sungguh-sungguh?" tanya Nyonya Kim memulai. "Di lembar A kau menulis ingin begitu, tetapi di lembar B ingin begini. Berbeda dari titik awal kau menulis. Ada apa?"

"Eh? Itu masalah?"

Nyonya Kim menghela napasnya. "Kau harus serius dalam menjalani hidupmu, Sin Sera. Untuk bertahan hidup, pikirkanlah dulu apa mimpimu? Walau kecil, kau punya alasan untuk menggapainya."

Selanjutnya Nyonya Kim memberikan pengarahan spesial kepadaku. Duh, lagi-lagi petuah. Aku kira tidak akan ada yang membaca formulir ini secara serius, ada pun pasti diabaikan dan tidak sampai seperti ini! Meski begitu, aku suka cara penyampaian Nyonya Kim.

Ia menjelaskan secara sabar dari awal. Pertama kalinya aku merasa diperhatikan oleh orang dewasa seperti ini, benar-benar membuatku tanpa sadar merasa spesial. Terlebih, Nyonya Kim peduli sekali dengan masa depanku. Aku jadi malu karena tidak punya cita-cita.

"Nah, Sera, sekarang coba katakan hari ini kau ingin apa?"

Aku berpikir sejenak sebelum menjawab, "Pulang tanpa ada gangguan?"

"Gangguan? Kau diganggu anak geng?!" Nyonya Kim menatapku kaget. Tampak sekali ia betulan mengkhawatirkanku.

"Bu-bukan. Maksudku ketenangan di rumah, aku tak ingin mendengar ocehan Ibu yang terus menuntutku," ujarku jujur. Sial, terpaksa aku menceritakannya.

"Ah, karena tuntutan itu kau kebingungan ingin menjadi apa?" tebaknya benar. Aku menanggapinya dengan mengangguk.

Lantas, otot-otot milik Nyonya Kim melemas setelah baru saja menemukan akar dari permasalahanku. Aku bahkan tidak menyadari, bisa sampai segitunya ya diriku? Ini sih, bisa gawat!

"Sera, sekeras apa pun orangtuamu, tetap saja, kaulah yang memegang penuh kendali jalan hidupmu. Jangan mau dijadikan robot oleh mereka. Tetap turuti perintah orangtuamu, namun jangan sampai hidupmu terkekang. Yang terpenting, gadis pintar sepertimu harus mempunyai mimpi. Ditentang oleh keluargamu? Kau harus memperjuangkannya. Pikirkan itu baik-baik, Sera," pesannya lembut. "Untuk masalah soal ibumu, atau permasalahan lainnya, kita bisa bahas itu. Besok kau bisa datang ke sini lagi. Terima kasih, Sayang."

Pipiku merah merona. Untuk pertama kalinya, aku merasa sangat berharga melebihi keelokan berlian mahal. Aku sungguh … merasa senang. Baiklah, besok aku akan datang lagi!

Setelah pamit, aku segera beranjak pulang. Kuingat-ingat terus segala pesannya yang berarti. Duh, aku tidak bisa berhenti tersenyum. Terima kasih Nyonya Kim, kau orang dewasa pertama yang mengerti diriku.

Impian, ya? Benar juga, aku baru sadar tidak mempunyai rencana masa depan. Aku cuma ingin bebas dan tak dikekang. Apa itu termasuk impian? Perihal mau jadi apa nanti memang belum terpikir, namun yang tadi itu bisa jadi impian kan?

Tatkala aku melintasi gerbang, kulihat Yoongi sedang menyenderkan tubuhnya ke tembok. Aku heran ketika kontak mata kami bertemu, ia langsung menghampiriku. "Kok lama?"

"Heh, sejak kapan kau menungguku??" balasku panik. Tentu saja, kapan aku janjian dengan cecunguk ini??

"Bodoh," katanya, dengan kata yang dibuat-buat. "Aku tungguin karena ingin. Jadi kenapa lama?"

"Errr, habis dari ruang BK?" jawabku ragu. Sumpah ya, harapanku agar Yoongi tak tahu kebenarannya bukan main. Masa sih aku harus merepotkannya terus?

"Hah??! Kau membuat masalah??! Astaga! Sera sudah mulai memberontak rupanya," tanggap Yoongi heboh. Ia menepuk-nepuk bahuku. "Kau hebat, Sera!"

"Bukan begitu, Bodoh!" tegasku, mendorong bahunya. "A-aku dipanggil karena tidak serius dalam mengisi formulir tentang masa depan. Jadi aku diberi pencerahan—dan itu membantuku."

Uwah, malunya. Hari ini bukanlah Sin Sera yang biasanya.

"Kau tidak punya … impian?"

Deg. Menohok sekali, huh?

Yoongi tampaknya menyadari kegelisahanku ini, jadi ia tidak mengusikku lagi. Sialnya, kenapa kami malah pulang bersama? Aduh, hari ini aku seratus persen sial.

"Anu, Sera, aku boleh membantumu?" Yoongi bertanya begitu sampai di halte bus.

"Membantu apa?"

"Membantumu mencari impian," jawabnya sumringah—yang membuatku ikut tersenyum. Dia … seperti anak kecil saja! Aduh duh, tidak baik melihat senyumnya terlalu lama.

"Aku serius, Sera," tuturnya. "Aku akan membantumu, mari kita mulai dari yang namanya kebebasan."

Sore itu, senja oranye di penghujung dirgantara menemani kami menunggu bus. Angin sejuk pun ikut menyapa kami, meniup helai-helai rambutku agar berterbangan mengikuti arah angin. Aku memperhatikan Yoongi yang sedang serius.

Kurasa, aku betul-betul beruntung menjadi temannya. []

**

a/n: hee iya, jadi tiap part temanya random. semacam short story gitchu \(^w^@)ノ tapi tetap berujung pada satu titik yang sama.

enjoy ~~

Crepuscle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang