09 | Heart and Tears

93 10 2
                                    

People come and people go.”

—EXO, Love Shot

Duniaku berbanding terbalik sore itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Duniaku berbanding terbalik sore itu.

Aku baru saja sampai di rumah, dan hendak membuka sepatu. Perasaanku masih meletup-letup kala itu, tak bisa menyembunyikan girang yang menyembul. Baru saja tanganku memegang ujung tali sepatu, Ibu tiba-tiba datang menghampiri.

Tentu saja, aku terkejut bukan main. Terlebih wajah Ibu merah karena menangis, ia terisak dan hatiku seketika merasa pilu. Kenapa Ibu menangis? Ada apa? Aku membuat kesalahan lagi sampai Ibu segitunya terluka? Sumpah, aku benar-benar takut.

"Kenapa sulit sekali dihubungi?" tanyanya. "Sera … oh Sera, Ayah meninggal, Nak."

Apa yang baru saja terjadi seharian ke belakang mendadak terlupakan olehku. Seluruh tubuhku membeku. Aku tak sanggup berkata-kata, mulutku ternganga. Apa katanya? A-ayah meninggal? Ka-kapan?! Kenapa sekolah tak memberitahu??!

Tangisan Ibu semakin keras, dan aku ingin ikut menangis. Tetapi aku menenangkan Ibu, lantas membawanya masuk ke ruang tengah. Kami duduk di sofa panjang. Kuusap punggungnya berkali-kali. Aku … tak bisa memeluknya. Terlalu berat, sungguh.

"Pesawat yang dinaiki Ayah jatuh, sekarang masih dalam pencarian. Tetapi, yah, 90% korban pesawat jatuh tidak selamat." Itu suara kakakku, ia datang dan ikut duduk. "Berdoa saja semoga Ayah termasuk ke 10% kemungkinan selamat," jelasnya. Astaga, aku tidak suka muka datarnya itu; lebih jelek dibanding muka datar Yoongi.

Keluargaku bukanlah keluarga harmonis. Dibilang terlalu dingin malahan; saling sibuk dengan urusannya masing-masing. Kami tidak sedekat itu, sama sekali tidak. Keluarga ini … bermasalah. Aku masih dendam dengan Kakakku yang menganggap adik gadisnya seperti loli kecil. Aku tidak suka Ibu yang terus memarahi, melarang, dan menuntutku banyak hal. Lalu aku … membenci Ayah.

Ah, hei, apa aku terlalu berlebihan?

Namun, kenapa aku tidak sesedih itu? Aku sudah punya firasat, Ayah tak akan selamat. Entah apa yang membuatku berpikir demikian. Dendam? Bukan. Hanya berfirasat saja lewat 90% melawan 10% kemungkinan itu.

**

Seminggu telah berlalu semenjak kehilangan Ayah. Para petugas negara masih terus mencari, namun yang ditemukan hanya jasad-jasad para korban beserta badan pesawat yang hancur. Sudahlah. Ayah sudah mati.

Ya, sudah mati.

Itu hukuman, menurutku. Karena membuat keluarga kecilnya tak seharmonis keluarga lain. Hukuman karena membuat anak gadisnya tersiksa dan takut berada di dalam rumah. Hukuman yang pantas untuknya; mati. Apa aku jahat?

Lewat berita yang aku tonton di televisi (duh, aku harus menonton siaran laknat itu) pesawat yang ditumpangi Ayah jatuh itu sama sekali tidak ada kendala cuaca. Bisa kupastikan, itu karena para manusia di dalamnya bodoh; tetap memainkan ponsel istimewanya. Iya, takdir; takdir mengerikan.

Aku sama sekali tidak menceritakan apa pun perihal ini kepada teman-temanku, apalagi Yoongi. Jujur, aku tidak sesedih itu. Sama sekali tidak merasa kehilangan. Kalaupun Ayah termasuk ke 10% itu, ya syukur; Tuhan masih menyayanginya. Menangis untuknya saja tidak. Karena hubunganku dengannya sama sekali tidak terasa seperti hubungan anak dan ayah. Tidak.

Tetapi, hari ini berbeda.

Saat di sekolah, aku tidak bisa fokus. Pagi tadi sebelum aku berangkat ada telepon, katanya jasad Ayah sudah ditemukan. Katanya biar kakak saja yang ke sana dan mengurus semuanya. Aku sih, biasa saja dan berpikir itu bukan urusanku. Namun selama perjalanan hingga duduk di sini, aku tidak bisa senang; ada yang janggal.

Aku merasa … kosong.

Kemudian, tak sengaja, aku teringat omongan Ayah. Agak lupa sih, tetapi kurang lebih ia bilang: kalau salah satu dari kita ada yang pergi, maukah Sera tetap bertahan? Duh, bodoh. Masa aku baru mengingatnya sekarang? Ayah, aku bertahan kok. Dari dulu semua orang di keluargaku pergi, mereka bukan lagi ayah, ibu, dan kakak yang aku kenal. Mereka jahat kepadaku, aku mati rasa dan ingin pergi saja. Sudah sejak lama aku begitu menderita, tak ada satu pun di keluarga ini yang mengerti perasaanku.

Aku … sendiri. Dan, aku bertahan bukan? Sesuai kata Ayah.

Tunggu, apa?

"Se-sera, kau menangis?"

Tidak.

"Hei, Sera! Kau baik-baik saja?"

Tidak.

Ya, ampun. Padahal aku tidak dekat dengan Ayah, kenapa aku baru merasakan sedihnya kehilangan sekarang? Kemarin itu aku ke mana saja? Apa yang salah dengan diriku? Aku … membuat kesalahan kan?

Seluruh stigmaku isinya sebatas pertanyaan bodoh yang mempertanyakan hal-hal semacam diriku dan kehidupan. Kok aneh, ya? Aku kan… aku kan ….

"Huhu… aku kan membenci Ayah!" ucapku keras, sembari terisak tak tahu diri. Ini di mana? Aku sedang apa? Bodoh amat! Aku hanya ingin mengekspresikan perasaanku setelah topengku akhirnya terlepas.

Ini sungguh menyakitkan, dan aku ingin meluapkannya.

**

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 17, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Crepuscle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang