Wattpad Original
There are 3 more free parts

11. Penerbangan Harapan Pertama

76.3K 9.9K 3.3K
                                    

BAGIAN SEBELAS

"Aku berada dalam fase takut kehilangan sesuatu
yang bahkan belum pernah aku dapatkan... kamu."


___

SELALU ada sebuah jawaban untuk sebuah perasaan, yaitu pengakuan.

Dan selalu ada sebuah jawaban untuk sebuah rindu, yaitu pertemuan.

Memakai snelli, keributan di IGD, mendengarkan keluh kesah pasien. Semua hal yang dirindukan oleh Alia. Dan hari ini, ia kembali berjumpa dengan kerinduan itu. Senyum Alia bahkan tak berkurang secuil pun ketika dirinya melangkah menuju IGD Rumah Sakit Kasih Bunda.

"Ah! Tiga minggu nggak bekerja aja serindu ini. Padahal dulu, sering banget ngeluh kalau kecapekan kerja," gumam Alia. "Memang rindu itu selalu datang belakangan."

Langkah Alia berhenti ketika mendengar suara perempuan melengking, sedang memanggil namanya. Alia menoleh dan menemukan Dokter Santi yang melangkah dari arah berlawanan, tak lupa melambaikan tangan kepadanya.

Alia sontak memperlebar senyumnya.

Santi melangkah cepat menuju Alia dan langsung memeluk dokter seniornya itu, "Ya ampun Dokter Alia, selamat atas pernikahannya."

Bibir Alia yang tadi tersenyum mendadak turun, Ah... ia sudah mempersiapkan hal ini. Semua penghuni rumah sakit yang mengenalnya pasti tidak akan melepaskannya dengan mudah hari ini, mereka pasti menuntut sebuah cerita.

"Makasih banyak ya, San."

Santi mengurai pelukannya, meskipun tangannya masih menggenggam tangan Alia. "Mbak Al ini penuh kejutan sekali, Santi pikir Dokter Al benaran batal nikah. Rupanya... calonnya yang berubah."

Alia tertawa, tawa yang seperti dibuat-buat.

"Kejutan."

Santi mendesah. "Tapi, kita semua dokter rada kecewa. Tidak diundang ke nikahan Mbak Al, padahal kan kita mau banget tuh datang. Apalagi suami Mbak Al..." Santi menahan ucapannya sebentar. "Argh, Mbak. Kenal gimana sih sama suami mbak itu? Santi bahkan kaget setengah mati loh pas lihat mbak nongol di TV."

Kenalnya di rumah sakit ini, gara-gara mau bunuh diri. Kalau mau coba, tuh silakan loncat dari rooftop rumah sakit. Batin Alia bersuara, sayang saja suara batin itu tidak bisa didengar oleh Santi.

Hari ini, pekerjaan Alia cukup berat. Tak hanya melayani pasien BPJS di IGD saja, melainkan harus meladeni dokter, perawat bahkan petugas kebersihan yang kepo atau sekadar mengucapkan selamat atas pernikahannya.

Lalu sejenak, Alia terhenyak ketika ia baru saja selesai meladeni guyonan perawat yang tadi menitipkan laporan pasien kepadanya. Satu hal yang menyangkut di pikiran Alia saat itu, "Kalau nanti ia berpisah dengan Bastian. Itu berarti semua orang juga akan tahukan?" Alia menggeleng. "Gila, status janda gue entar terkenal di mana-mana."

"Dok," sapaan itu berhasil mengembalikan kesadaran Alia dari lamunannya tadi.

Seorang laki-laki yang cukup berumur, terbaring di ranjang periksa yang berada di ruangannya.

"Oh iya, Pak. Maaf-maaf." Alia lantas mulai melakukan pekerjaannya. Ia melingkarkan manset di sekeliling lengan kiri atas laki-laki bernama Sapardi itu. Pasien BPJS itu mengeluh sakit kepala selama beberapa hari ini.

Alia melingkarkan manset itu dengan sangat teliti, ia bahkan sudah hafal jarak antara siku dan manset yang digunakan dalam pengecekan tensi darah itu. Alia memasang manset itu rapat tetapi tidak terlalu ketat hal ini berfungsi sebagai celah masuknya kepala stetoskop, yang nanti gunanya sebagai alat pendengar di telinganya.

Loose CannonWhere stories live. Discover now