(Bagian Empat Belas)

1.2K 69 4
                                    

Sesungguhnya hati adalah milik dari sang pemilik hati. Ketika pemiliknya menginginkan kembali, yang bisa dilakukan hanya ikhlas.

****

Author POV

Setelah Maria selesai menunaikan ibadah sholat Subuh, ia mendapat kabar dari uminya kalau abangnya tengah berjuang menghadapi maut di rumah sakit. Maria sempat pingsan setelah mengetahui kabar dari uminya.

Setelah sadar dari pingsannya. Maria meggambil penerbangan pertama menuju bandara soekarno-hatta seorang diri. Namira yang jelas-jelas khawatir dengan kondisi fisik Maria hanya bisa pasrah menatap kepergian sahabatnya. Dirinya tidak bisa ikut pulang ke indonesia karena masa relawannya masih belum selesai.

Dalam perjalanan menuju indonesia, Maria selalu merpalkan doa agar tidak terjadi sesuatu kepada abangnya. Kalimat dzikir dan tasbih selalu ia lafalkan guna menenangkan hatinya.

Saat tiba di bandara, Maria segera mencari taksi untuk bisa mengantarkannya menuju rumah sakit. Namun saat di tengah perjalanan, tiba-tiba hati Maria mengatakan untuk pergi ke rumah orang tuanya terlebih dahulu sebelum menuju rumah sakit. Setelah sampai di depan gerbang rumahnya, pemandangan yang aneh ditangkap oleh matanya.

"Apa ini? Mengapa kalian semua berkumpul di sini?"

Semua yang hadir tersayat mendengar kata-kata Maria. Ingin menangis rasanya. Maria masih berjalan dengan heran bercampur ketakutan yang tiada bisa diartikan besarnya.

"Kenapa masih di sini? Mengapa ada banyak orang? Ini lagi, kenapa ada bendera kuning di sini! Buang sana!" Maria mulai emosi bersamaan dengan air matanya yang mulai tumpah.

Perasaan tak karuan sudah menyesakkan dada. Namun ia masih menyakinkan dirinya bahwa tidak terjadi apa-apa.

Hatinya benar-benar berharap tak ada apa-apa. Walau sebenarnya, semuanya bisa tertebak.

Dia masih menyingkirkan orang-orang yang bergerumul di jalan menuju rumahnya. Langkahnya buru-buru namun terasa berat. Maria tidak memikir kondosi tubuhnya dan kandungannya. Yang ia pikirkan saat ini adalah abangnya. Dia tidak ingin menemukan apa yang tidak ingin lihat di rumahnya.

"Kenapa wajah kalian semua sendu? Tidak terjadi apa-apa kan?" Suara maria serak dan air matanya tumpah.

"Ssttt..," Bihan memeluknya tak tega. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Air mata sudah membanjiri wajahnya.

"B-bihan kenapa? Kenapa semua orang berkumpul di sini, dimana bang fahad? Bang fahad sembuh kan? Bihan jawab! Kenapa? Tidak-tidak, seharusnya mereka tidak kemari." Maria mulai frustasi dan mulai meracau tidak jelas.

"Sstt! Jangan bicara lagi maria! Plis tenangkan hatimu terlebih dahulu."

Maria tak tahan membendung gejolak hatinya. Dalam sekejap wajahnya sudah berada di bahu Bihan. Dia menangis dan berteriak sekencang-kencangnya. Hampir saja niqab yang ia kenakan di tarik olehnya yang kemudian bihan tahan.

Bihan memeluk Maria kencang mencoba menenangkan hati Maria sambil membisikkan nama Allah. Napas Maria sudah tak karuan.

"Kita semua milikNya, ikhlaskan." Bisik Bihan mencoba tenang.

"Astaghfirullah," maria mencoba beristighfar.

"Masuklah, mar! Ini kali terakhirmu bisa melihatnya, membelainya."

Maria tidak tahan. Air matanya semakin meruah. Dia menuruti Bihan yang menuntunnya pelan. Orang-orang yang menghalangi jalan mereka minggir untuk memberi jalan keduanya. Maria menguatkan hatinya dengan terus menyebut nama kekasih hatinya, Allah SWT.

Masuk rumah, terdengar lantunan ayat-ayat suci yang merdu namun terasa menyakitkan ditelinga Maria. Mereka berdua berhenti ketika hampir sampai di kamar depan sebelah ruang tamu. Semua orang menangis tersedu di tempat itu.

Orang-orang lalu datang silih berganti memeluki tubuh Maria. Tapi dirinya hanya bergeming tanpa berniat membalas pelukan tersebut. Dia hanya mematung dan tak merasakan apa-apa. Dia ingin terus kuat.

Bihan menuntunnya berjalan lagi.

Meski semakin berat langkahnya, dia turuti juga. Sampai di depan pintu kamar, dia lihat abinya duduk di samping kasur besar. Dia pejamkan mata. Semakin dekat ia melangkah, ia mendengar abinya berkata. "Husnul khatimah, demi Allah husnul khatimah kamu nak. Lengkap kamu sebutkan syahadatmu."

Abinya mengaja bicara siapa? Apa yang audah berakhir? Batin Maria mulai berteriak.

Maria berjalan pelan sekali. Berharap kekuatan itu terus datang. Perlahan, dia mulai bisa melihat sebentuk kaki yang tertutup selimut. Dia dekati lagi dan akhirnya dia bisa menemukan semua pemandangan itu. Pemandangan yang sudah dia duga namun tak berani ia tebak. Abangnya tertidur pulas dengan wajah cerah dan tersenyum. Ada tali yang mengikat rahangnya. Kemudian Maria berbisik,

"Abang, maria pulang. Lihatlah diriku, bang. Bangun, bicaralah."
Bisikannya itu meluruhkan semua air mata yang melihat.

Maria peluk erat-erat jasad abangnya itu. Sebisa mungkin ia tidak meneteskan air matanya di kulit.

Dan maria akan ikhlas menerima kepergian Abangnya tercinta.

Selamat jalan bang, abang harus berjanji. Berjanji kita akan bertemu lagi. Carilah tempat yang indah untuk kita semua bertemu. Berjanjilah.

To be continue

Menggapai Surga Bersamamu (ON GOING)Where stories live. Discover now