Part 4

568 61 0
                                    

Tiga hari berlalu. Aku belum juga melihat Jungkook hadir di kelas. Aku begitu gelisah. Aku sangat ingin melihatnya.

***

Keesokan pagi, seperti biasa aku selalu datang lebih awal dari yang lainnya. Aku berjalan memasuki ruangan kelas, berharap hari ini melihat Jungkook hadir di kelas.

Saat aku memasuki kelas..

"Sora.."

Suara itu, pikirku. Aku menoleh ke suduk kelas. Jungkook. Ia berdiri dan berjalan cepat ke arahku. Sedetik kemudian, aku sudah berada dalam pelukannya. Aku sempat bingung dan terkejut, tapi aku senang bisa melihatnya.

"Senang bisa melihat kamu."

Ia diam untuk beberapa saat.
"Aku takut.." ucapnya.
"Sora, aku sangat takut. Aku tidak suka berada di rumah sakit. Aku takut saat mataku terpejam, aku tidak dapat membukanya lagi. Aku takut.. takut tidak bisa melihatmu lagi!"

Aku merasakan air menembus lengan bajuku.

"Jungkook.. jangan menangis. Tangisanmu terasa menyayat hati.."

"Maaf. Tapi aku benar-benar takut. Sangat takut, Ra! Aku takut menjalani hari demi hari."

Jungkook melepas pelukannya. Kutatap wajahnya yang memancarkan kesedihan dan ketakutan yang amat jelas.

Aku mengajukan protes kepada Tuhan, "Tuhan, kenapa cobaan seberat ini harus kau berikan padanya? Dia masih sangat muda. Tidak bisakah kau biarkan dia hidup lebih lama, setidaknya untuk menjalani masa remaja bersama teman-temannya. Tuhan, kenapa tidak kau berikan saja penyakit ini pada orang-orang yang berhati dengki dan kepada para penjahat yang tak beradab di negeri ini?! Kenapa harus pada Jungkook.."

Kuambil sehelai tisu dari saku rokku, dan menyeka air matanya. Kuajak ia duduk.

"Jungkook, tolong jangan menangis terus."

"Aku sangat cengeng, ya? Padahal aku laki-laki, tapi cengeng setengah mati.. Tapi, bukannya aku memang sudah setengah mati?.."

"Bukan?! Bukan itu maksudku?! Andai kata aku di posisi kau, mungkin aku pun akan berlaku demikian, menangis dan menangis. Dan mungkin akan lebih dari ini. Aku mungkin akan mengurung diri, menjauh dari orang-orang di sekitarku. Memberontak pada Tuhan. Menyesali kenapa aku harus hidup kalau akan berakhir seperti ini. Dan mungkin aku akan mencari jalan mempercepat proses kematianmu.
Tapi.. Tapi kau berbeda. Kalau boleh jujur, aku sangat kagum padamu.. Aku kagum pada keberanianmu, meski sebenarnya kamu takut.
Banyak orang, ketika mengetahui hidupnya tidak akan lama lagi, mereka akan benar-benar menikmatinya namun dengan cara yang salah. Tapi kamu berbeda, sangat berbeda.."

Ia diam. Matanya menatapku.
“Tapi.. kamu tahu, beberapa hari yang lalu, akhirnya pikiranku terbuka.. Aku menyerah pada buku kehidupan yang ada di tangan Tuhan. Tapi bukan berarti aku merasa kalah. Aku akan tetap tersenyum, menikmati sisa hidupku. Meski sebenarnya tidak mudah untuk menjalaninya tanpa ari mata.
Tapi air mata menandakan kalau aku hanya manusia biasa, yang punya rasa takut terhadap kata ‘kematian’.” Jeda sesaat.

"Aku berpikir, mungkin ini semua sudah dicatatkan menjadi jalan kehidupanku.. Inilah novel kisah kehidupanku yang sudah diselesaikan Tuhan setiap babnya. Sekarang mungkin ia sedang membacanya ulang, untuk memberi sedikit pengeditan, dan mungkin sekarang ia sedang membaca bab-bab terakhir dari novel-nya. Dan bab itulah yang tengah kujalani saat ini. Dan sekarang, aku hanya bisa menanti kata The End dari novel itu."

(Ucapannya sangat dewasa.. Aku percaya, dia pasti kuat!..) Aku benar-benar menyukainya.

"Dan satu lagi, Ra! Awalnya aku juga tak sebaik yang ada di pikiranmu? Sejujurnya beberapa hari yang lalu aku berpikir untuk mengakhiri hidupku. Tapi, ada sesuatu yang menahanku.. Tepatnya ada seseorang yang membuatku tak mampu melakukannya.."

"Benarkah?! Boleh aku mengetahuinya?" Aku senang mengetahui ada orang yang membuatnya termotivasi. Aku senang, meski nanti orang itu bukan aku.

---

Maaf yaa kalau kepanjangan huhu :)

Next?

The End ✔Where stories live. Discover now