PROLOG

561K 20.2K 3.4K
                                    

Maap ya kalo kelamaan nunggu, sengaja di post pas malam tahun baru biar memorable gituh. hasek. ya udah langsung cuss aja baca.

SELAMAT DATANG DI CERITA GERI DAN DINDA! HAPPY READING. SEMOGA SUKA YA! XX.

PROLOG:


Masa Orientasi Sekolah baru saja usai. Tiga hari penuh drama yang mengerikan bagi seluruh anak kelas sepuluh di SMA Garuda karena kelakuan senior kadang semena-mena, mau minta tanda-tangan saja harus membelikan cokelat sepuluh ribu, harus menghitung jumlah ikan di kolam yang ada di tengah sekolah (sedangkan jumlah ikan di sana ada buanyak sekali, tidak terhitung oleh mata), atau parahnya dikerjai harus menyatakan cinta pada senior yang galak setengah mampus. Hari ini adalah hari penutupan, seluruh anak kelas 10 diwajibkan untuk berkumpul di lapangan untuk mengikuti upacara dihadiri oleh seluruh anggota OSIS, Kepala Sekolah, dan guru.

Tapi di antara padatnya lapangan, ada beberapa orang memilih kabur dan duduk di kantin bersama seniornya. Adalah Geri, bersama dengan kedua temannya: Aditya dan Budi yang sejak awal memutuskan untuk selalu bertiga karena berada di kelas yang sama serta memiliki satu visi-misi dalam karakter dan sikap.

"Kalau ketahuan sama guru, lo ya yang tanggung jawab," Aditya masih terlihat ragu-ragu, maklum saja dia masih baru soal madol dan segala jenis kenakalan yang dilakukan oleh anak SMA. Berbeda halnya dengan Geri, cowok itu malah duduk santai, sambil merokok dan satu kakinya naik ke atas kursi. Tidak canggung dan terintimidasi oleh anak-anak kelas tiga yang duduk di dekatnya.

"Tenang aja, ada Rio di sini, ya nggak?" Geri merangkul Rio akrab, mungkin itu pemandangan terlangka, Rio konon adalah senior kelas sebelas yang ditakuti di SMA Garuda justru bisa seakrab itu sama murid baru, padahal biasanya boro-boro. Apalagi sama murid baru berwajah ganteng dan memiliki faktor untuk menggeser elektabilitasnya sebagai pentolan. Pasalnya, Geri dulu adalah teman akrabnya waktu SMP. Mereka pernah satu kelas, sayangnya Geri tidak naik sekali dan harus ketinggalan kelas yang menyebabkan dirinya tertinggal jauh dibanding teman-temannya yang lain. Betul kata pepatah; nakal boleh, bego jangan. Tapi namanya juga Geri, dia bisa melanjutkan sekolah SMA saja sudah merupakan sebuah keajaiban dunia ke delapan.

"Yoi, tenang, bro," balas Rio.

"Jadi, gimana kabarnya Bu Ida?" tanya Rio. Bu Ida adalah kepala sekolah di SMP Maria Santa, sekolah mereka berdua.

"Makin galak dia, apalagi kalau liat gue, sensi, kayak mau makan orang."

Bukan tanpa alasan kenapa seorang kepala sekolah bisa membenci Geri. Semua itu berawal sewaktu Geri yang masih duduk di kelas delapan ingin mengikuti upacara bendera, di detik-detik kepala sekolah sedang menyampaikan amanatnya, Geri berisik dan sibuk tertawa terbahak-bahak dengan temannya. Hal yang memicu kekesalan Bu Ida, kontan saja Geri dipanggil untuk maju dan dipaksa memimpin membacakan doa, di hadapan para guru, Bu Ida, serta seluruh murid di SMP Maria Santa yang mayoritas beragama Kristen. Dengan percaya diri dan lantang, Geri membaca Al-Fatihah, lengkap dengan artinya. Kontan saja guru-guru langsung melotot, semenjak hari itu, dia resmi telah menandai diri sebagai seseorang yang bakal selalu bermasalah dengan Bu Ida.

"Betewe, itu anak kelas sepuluh juga, kan?" Rio menunjuk ke depan, pada tiga orang cewek yang duduk di seberang. Pakaian putih-abu-abu yang terlihat masih baru langsung bisa menunjukkan bahwa mereka masih kelas sepuluh. Namun, pakaiannya begitu mencolok. Sepatu pantofel hitam mengkilat, kaos kaki warna-warni, dan cekakak-cekikik dengan berisik.

"Oh itu mah namanya Dinda, queen bee dari geng The Satan," Budi menjawab sambil mengaduk es-tehnya yang kemanisan.

"Apaan itu?" Geri mengernyit, murni tidak pernah dengar nama itu sebelumnya.

"Dia satu SMP sama gue, punya geng namanya The Satan dan doi jadi ketuanya, suka bully orang, berteman pilih-pilih, pakaiannya selalu nyentrik, rok beberapa senti di atas lutut, pake softlens, lipstik, tapi selalu lolos dari teguran guru karena doi punya dekengan. Ada guru BK yang naksir sama dia." Budi menunjuk Dinda. "Yang itu orangnya, terus lulus dari SMP, mereka bubar karena udah pada beda SMA, di sebelahnya itu juga satu SMP sama gue. Namanya Jassy. Mereka punya kamus tersendiri, yang boleh bergabung cuma orang kaya. Maklum aja, bokapnya Dinda itu pejabat yang wajahnya sering mondar-mandir media massa. Terus gue perhatiin sih, mereka punya peraturan buat seragamin warna kaus kaki tiap harinya."

"Daleman mereka diseragamin juga nggak, ya?' komentar Rio polos kontan mengundang tawa dari Geri.

"Kayaknya sih sama, beli yang grosiran," Geri menjawab, masih dengan tertawa terbahak-bahak.

Cewek bernama Dinda itu mendongak, merasa dirinya sedang ditertawakan. Dia langsung menatap ke sumber suara dengan alis terangkat. Pandangannya bertemu dengan Geri dalam satu garis lurus. Ketahuan sedang menertawakan, Geri bukannya diam, malah makin tertawa menjadi-jadi, kali ini sampai bahunya bergoncang dan satu tangannya menahan perut.

Dinda berdiri dan mendekati posisi duduk Geri beserta kawan-kawannya. "Kenapa ngeliatin gue segitunya? Lo bukan tipe gue," katanya to-the-point.

Geri mengedikkan bahu, tertawa lagi.

"Lo ngetawain gue?"

"Iya. Kenapa? Ada masalah?"

"Gue nggak suka."

"Ketawa itu ibadah."

"Nggak suka lo ngetawain gue, apanya yang lucu?"

Geri melirik teman-temannya, tapi mereka berdua justru buang muka, berpura-pura tidak peduli.

"Gue tanya, apa yang lucu?"

"Lo sama geng lo, bikin gue sakit mata," jawab Geri lugas, singkat, dan padat.

Mendengar jawaban itu, Dinda merebut es teh yang sedang diaduk oleh Budi dan spontan menyiram Geri. Baju cowok itu langsung basah kuyub. Suasana kantin mendadak hening. Semua orang menatap ke sumber perhatian. Dinda menyeringai puas dan mengibaskan tangannya yang terkena sedikit air ke depan wajah Geri. Cewek itu kembali ke teman-temannya tanpa menunjukkan ekspresi berdosa sedikit pun.

"Anjing." Geri bersiap untuk berdiri, tapi Aditya dan Budi menahan tangannya. Tidak mau urusan jadi panjang dan makin berabe.

"Udah, biarin aja. Banci kalau lo lawan cewek, nggak sepadan, bro." Rio mengusap punggung Geri supaya tenang.

"Cocok sama nama geng-nya, The Satan, sekarang tahu kan kenapa mereka menamakan diri dengan nama itu? Kelakuannya mirip-miriplah," sebetulnya Budi sedang berusaha membanyol dan menghibur, tapi Geri masih menatap Dinda dengan ekspresi wajah dingin. Cowok itu diam, rahangnya mengeras, sementara tangan kanannya terkepal menahan emosi, dan akan mengingat kejadian itu selama dia bersekolah di SMA Garuda; disiram seorang cewek di depan banyak orang.


A/N:

Gimanaaaa prolognyaaa? 

Penasaran?

Ah yang bener?

Masa?

Ya udah komen yang rame, tag teman-teman kalian biar ikutan baca di kolom ini. Jangan lupa promo dan share, thank you.

q mau tidur dulu, ngantuks. babay. luv. 

KISAH UNTUK GERITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang