3.

198K 10.7K 1.3K
                                    


3.


"Selamat pagi, Pemirsa. Kelanjutan dari kasus korupsi dana proyek Jembatan Siliwangi yang dilakukan oleh Bapak Setyo terus berjalan, hari ini KPK telah meningkatkan status pemeriksaan dan menetapkan sebagai tersangka. Setyo Wijayakesuma disangkakan pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP."

Dinda mematikan televisi-nya sewaktu mendengar berita itu. Dia mengerjapkan kelopak mata. Cahaya matahari yang menyelinap masuk memalu iventilasi jendela kamar memaksanya untuk bangun. Gadis itu duduk di atas ranjangnya yang berantakan, baju bertaburan di mana-mana, seluruh isi lemarinya nyaris keluar. Dia mengerjapkan mata beberapa kali, masih berharap bahwa ini adalah mimpi. Dinda mencubit dirinya sendiri dan memekik kesakitan sambil mengusap lengannya yang terasa nyeri. Tidak ada pembantu yang siap siaga membangunkannya. Tidak ada susu yang disediakan di atas nakas. Cewek itu bangkit dari ranjang, kakinya menyentuh marmer yang terasa dingin.

"Bi, Bi Umnah," panggilnya setengah berteriak, tapi tidak ada sahutan.

Dia keluar dari kamar dan berjalan menuju ke lantai bawah. Ada ibunya, Laras, duduk di kursi, dengan beberapa koper berderet. Bi Umnah, supirnya dan seluruh pembantu rumah tangganya duduk bersila di lantai sambil menangis.

"Kenapa, Ma?" teriaknya, pada Laras yang kini sibuk memasukkan barang-barang ke dalam koper. "Kita mau ke mana?'

"Pergi, kita cari kontrakan baru, rumah ini akan segera disita."

Dinda menggeleng. "Nggak, aku nggak mau pergi."

"Dinda!"

"Aku nggak mau."

"Rumah ini sudah bukan milik kita lagi."

"Aku. Nggak. Mau." Sekali lagi Dinda mengatakan dengan penuh penekanan, sambil menahan air mata supaya tidak keluar. Dia tidak mau pergi dari rumah yang telah menemaninya sejak lahir.

"Jangan manja! Kita udah nggak punya apa-apa lagi, kamu harus paham itu!" Seumur hidupnya, Dinda hanya pernah mendengar ibunya semarah itu sewaktu Dinda SD karena dia tidak mau berangkat sekolah. "Sekarang, kamu cepat ke kamar, mandi, dan kita siap-siap untuk pergi."

Dinda berbalik, berlari ke lantai dua menuju ke kamarnya, mengunci pintu dan menangis sejadi-jadinya hingga sesenggukan, kerongkongannya sakit dan kelopak matanya sembab. Ternyata meskipun dia berdoa supaya ini adalah mimpi, doanya tetap tidak dikabulkan. Ini kenyataan paling pahit yang harus dia terima. Dinda yang kehidupannya diidam-idamkan oleh remaja pada umumnya, berubah secepat kedipan mata. Padahal kemarin dia masih sempat bersenang-senang di klub malam, tertawa cekikikan, menikmati kehidupan. Cewek itu melihat lemarinya, bahkan tas dan sepatu mahal yang selalu dia banggakan, pamerkan ke teman-teman karena langka itu sudah tidak ada. Dia bergegas mengambil ponselnya di atas ranjang, ada banyak panggilan tidak terjawab dan BBM dari teman-temannya.

Jassy: Din, lo nggak apa-apa, kan? Gue nonton berita tentang keluarga lo tadi pagi, itu cuma rumor, kan?

Dinda memilih untuk menonaktifkan ponselnya. Perasaannya masih remuk, dan dia belum memiliki kekuatan untuk menceritakan apa yang terjadi saat ini ke teman-temannya.

Hampir tiga jam dia bergulat di dalam kamar, berat rasanya meninggalkan kamar pribadinya. Terlebih lagi, dia tidak mau kehilangan seluruh barang-barangnya. Setelah mandi dan berganti baju, dia kembali keluar. Ikut sarapan dengan seluruh pembantunya untuk terakhir kali dengan roti tawar yang tersisa di atas meja. "Bi Umnah, Pak Gun sama mbak-mbak yang lain mau pamit, Non, mau pulang kampung," Bi Umnah angkat suara, bibirnya bergetar dan matanya memerah. "Maaf ya kalau selama ini Bibi ada salah."

KISAH UNTUK GERIWhere stories live. Discover now