9.

144K 10.1K 2.2K
                                    

Hampir beberapa jam mereka berdua ditahan di ruang BK, dengan orangtua Rio dipanggil untuk menghadap Kepala Sekolah. Rio pun mengakui bahwa dirinya yang mengambil foto itu dari ponsel Dinda dan menyebarkannya di papan pengumuman. Tadinya, Rio hanya mendapat surat pelanggaran dan skors beberapa hari, tapi tiba-tiba saja dia melakukan perlawanan dengan nyaris meninju Kepala Sekolah yang membuatnya detik itu juga mendapat hukuman untuk dikeluarkan dari sekolah.

Beberapa orang yang mengintip melalui jendela hanya bisa berdecak dan geleng-geleng kepala melihat kelakuan Rio.

"Gila tuh Bang Rio, gue kira dia kayaknya memang sengaja biar dikeluarin sekalina," komentar Budi sembari mengintip melalui celah jendela yang transparan.

"Bisa jadi, ya," Aditya menyetujui.

Sampai Rio keluar dari BK, tidak ada tanda-tanda bahwa dia akan meminta maaf ke Dinda, tapi risiko yang didapatnya memang telah setimpal. "Gue minta maaf ke lo, karena lo teman gue," kata Rio saat berhadapan dengan Geri, lalu dia berbisik, "gue titip sekolah, kalau ada yang berani ngerecokin, sikat aja."

Geri diam, entah harus bagaimana menyikapi itu.

"Pamit, bro."

Pindahnya Rio berhasil mengangkat nama Geri menjadi satu-satunya pentolan di SMA Garuda. Geri juga tidak menyangka mengapa dia bisa lepas kontrol, menghantam temannya hanya karena membela seorang Dinda. Seharusnya dia senang melihat Dinda dipermalukan oleh banyak orang, iya, seharusnya begitu.

Cowok itu kembali ke kantin yang sudah sepi. Tersisa pedagang sedang membereskan piring-piring bekas makanan para siswa. "Muka lo memar," Geri menoleh dan melihat Dinda duduk di sebelahnya sambil memegang es batu yang dibalut dengan kain lap hasil pinjaman Bi Mur (penjual gorengan di kantin).

Tetapi, Geri tetap diam. "Shit, sakit, bego!" Geri mengerang sewaktu dinginnya es merayapi kulitnya, membuat memarnya berdenyut nyeri. "Pelan-pelan, ini muka bukan meja," bentaknya kasar.

"Iya, maaf." Dinda mengerucutkan bibir. "Masih sakit nggak?"

"Ya iyalah, pake nanya lagi."

"Hm, jadi ... Rio pindah sekolah ya?"

"Menurut lo?"

"Tapi dia pantas sih dapet hal itu, dan maaf ya, gara-gara gue, lo jadi berantem sama Rio. Sebetulnya lo nggak perlu ngelakuin itu cuma buat belain gue."

"Bisa diem nggak? Gue lagi males diajak ngobrol, lo liat kan tadi Rio babak-belur sama gue karena udah buat gue marah, jangan sampai lo jadi ikutan ya." Setelah mendapat ancaman itu, Dinda memilih untuk bungkam seribu bahasa. Dia memokuskan seluruh perhatiannya pada memar di wajah Geri, cewek itu mendekatkan wajahnya, supaya bisa melihat lebih teliti.

Mata Geri akhirnya tertuju ikut menjelajahi wajah Dinda. Sepasang alis hitam yang membingkai mata cokelatnya dengan sempurna, pantas ada sedikit perbedaan, matanya yang tidak dilapisi softlens. Sebetulnya Dinda mempunyai mata indah, tidak perlu memakai barang artifisial untuk membuatnya lebih menawan. Pandangan Geri bergerak menuju ke hidung Dinda, dan jatuh pada selapis bibir pink—ah! "Nggak!" tiba-tiba dia memekik.

"Ha? Nggak apa?" Dinda mengernyit, "gue nggak ngomong apa-apa, sumpah."

"Maksud gue, udah," dia segera meralat. "Udah, minggir. Gue mau balik ke kelas." Tangannya mendorong tubuh Dinda.

"Eh tunggu," Dinda memasukkan tangannya ke dalam saku rok, mengeluarkan pisang. "Buat lo."

"Ngapain lo ngasih gue pisang? Pisang kok makan pisang."

KISAH UNTUK GERIWhere stories live. Discover now