12. Elizabeth Mendapat Malu

203 13 5
                                    

"Aku dikeluarkan dari kelas, Rita, tetapi percayalah, ini bukan karena kesalahanku," kata Elizabeth.
"Jangan sampai terulang lagi, Elizabeth," kata Rita. "Kau seorang Pengawas, harus memberi contoh yang baik. Aku kecewa sekali dengan apa saja yang kudengar tentang dirimu dan anak-anak kelas satu di semester ini."
Rita melanjutkan perjalanan, meninggalkan Elizabeth termenung, memikirkan apa gerangan yang diketahui oleh Rita. Tiba-tiba saja ia merasa sangat sedih dan kecewa. "Aku berharap semester ini akan sangat menyenangkan bagiku," pikirnya, "dan ternyata segalanya tak keruan!"

Di akhir jam pelajaran ia dipanggil masuk, dan Nona Ranger mengucapkan beberapa perkataan keras padanya. Elizabeth tahu tak ada gunanya mengatakan bahwa buku-bukunya jatuh atas kehendak mereka sendiri. Karenanya ia diam saja.

Muslihat berikutnya yang dipikirkan oleh Julian sangatlah luar biasa. Ia menyeringai kegirangan sewaktu ia memperoleh ilham untuk itu. Ia pergi ke labotatorium, tempat anak-anak melakukan berbagai percobaan ilmiah. Ia mencampur beberapa bahan kimia, dan membuatnya menjadi beberapa butiran kecil, disimpannya di dalam sebuah kotak. Kemudian sebelum jam pelajaran sore dimulai, ia memasuki ruang kelas yang kosong, menyingkirkan meja Elizabeth dan menaruh sebuah meja besar di tempatnya. Di atas meja itu ditaruhnya sebuah kursi, dan dengan berdiri di kursi tersebut ia bisa mencapai langit-langit. Dengan cepat diaturnya butir-butir yang dibuatnya tadi di langit-langit dan disemprotnya dengan suatu cairan yang baunya aneh. Cairan itu akan membuat butir-butir tadi lambat laun meletus dan meneteskan butiran besar air yang jatuh langsung ke bawah.
"Pasti hebat jadinya nanti," pikir Julian melompat turun dari kursi. Dikembalikannya kursinya, dikembalikannya meja besar tadi. Dan diletakannya meja Elizabeth tepat berada di bawah butir-butir di bawah langit-langit tadi. Butir-butir tadi tak tampak, putih bagaikan langit-langitnya.

Sore itu Mam'zelle mengajar Bahasa Perancis. Elizabeth dan kawan-kawannya diberi tugas untuk mempelajari kata kerja dan menghapalkan sebuah sajak. Mam'zelle akan mendengarkan mereka menghapal di depan kelas nanti. Semua berlatih menghapal sampai saat pelajaran akan mulai. Terdengar Mam'zelle datang. Elizabeth bangkit dari kursinya untuk membukakan pintu.
Mam'zelle sedang senang hatinya. Anak-anak gembira melihat ini. Nona Ranger tidak akan marah bila tidak ada alasan yang kuat untuk itu, tetapi Mam'zelle sering marah tanpa sebab apa-apa. Tapi kali ini agaknya ia sedang tidak pemarah.
"Sore ini kita akan belajar baik-baik," kata Mam'zelle dengan wajah berseri-seri. "Kalian harus mengucapkan semua hapalan tanpa kesalahan sedikit pun, sehingga aku tak perlu marah."
Tak ada yang menyahut. Mereka semua berharap agar tak ada yang berbuat salah. Seorang saja berbuat salah, seluruh kelas bisa kena marah. Memang sulit. Hampir tak pernah ada jam pelajaran bahasa Perancis tanpa seorang murid berbuat salah.

Julian telah bersiap-siap untuk pelajaran sore itu. Ia menggunakan otaknya sebaik mungkin. Semua kata kerja meluncur dari mulutnya dengan lancar dan tanpa kesalahan. Ia berbicara dengan Mam'zelle mempergunakan bahasa Perancis yang tanpa cacat. Dan Mam'zelle makin berseri-seri wajahnya, berseru gembira, "Ah, kau ini, Julian! Selalu kau pura-pura bodoh, tetapi sesungguhnya kau amat pintar! Kini coba ucapkan sajakmu. Ucapkan sajak yang bagus untukku, Julian."
Julian mulai mengucapkan sajaknya. Lancar dan bagus sekali ucapannya. Tetapi, baru saja mulai, sesuatu mengganggunya. Elizabeth.

Saat itu Elizabeth sedang menunduk, mempelajari buku bahasa Perancisnya. Tiba-tiba saja setetes besar air jatuh di kepalanya. Elizabeth terkejut. Tak terasa berseru kecil dan mengusap kepalanya. Kepalanya basah!
"Kenapa, Elizabeth?" tanya Mam'zelle tak sabar.
"Setetes air jatuh di kepalaku," kata Elizabeth kebingungan. Ia melihat ke langit-langit. Tetapi tak melihat apa-apa di sana.
"Nakal sekali kau, Elizabeth," kata Mam'zelle. "Kukira aku akan percaya pada kata-katamu itu?"
"Tetapi benar-benar setetes air jatuh ke kepalaku," kata Elizabeth. "Aku merasakannya."
Jenny dan Robert menahan tawa. Mereka mengira Elizabeth berpura-pura untuk memancing kelucuan. Mam'zelle mengetuk meja dengan keras.
"Diam!" katanya. "Julian, lanjutkan hapalanmu. Mulailah dari depan kembali."
Julian mulai lagi, yakin bahwa sebentar lagi setetes air akan jatuh kembali ke kepala Elizabeth. Ia hampir tak bisa menahan tawa.
"Oh, oh!" seru Elizabeth tiba-tiba. Dua tetes besar telah jatuh ke kepalanya. Elizabeth tak tahu harus berbuat apa. Diusapnya kepalanya.
"Elizabeth! Sekali lagi kau mengganggu!" seru Mam'zelle. "Apakah kau ingin merusak jerih payah Julian? Kenapa lagi sekarang? Jangan berkata bahwa hujan turun di kepalamu!"
"Tetapi, Mam'zelle, memang ada air menetes di kepalaku!" kata Elizabeth. Tangan yang meraba kepalanya merasa bahwa kepala itu basah. Anak-anak tertawa terbahak-bahak. Mam'zelle jadi sangat marah.
"Semua diam!" hardiknya. "Aku tak mau ribut begini di kelasku. Elizabeth, aku sungguh heran padamu. Seorang Pengawas mestinya tidak berbuat seperti itu!"
'Tetapi, Mam'zelle, benar-benar ada air menetes dari atas," kata Elizabeth. Dan setetes air menetes lagi. Elizabeth sampai melompat karena terkejut, dan memandang ke langit-langit.
"Ah. Kau melihat ke langit-langit seolah itu langit betul, eh? Kaupikir hari hujan, eh? Kaupikir kau bisa menipuku?" Mam'zelle benar-benar marah. Semua anak kini memperhatikan dengan berdebar-debar. Bila marah Mam'zelle selalu melakukan gerakan yang lucu.
"Bolehkah aku pindah tempat?" tanya Elizabeth putus asa, "Selalu ada saja yang jatuh dari ataa sana. Aku tak mau ketetesan lagi!"
"Kau boleh duduk di luar sana," kata Mam'zelle tegas. "Ini lelucon paling tolol yang pernah kudengar. Pasti sebentar lagi kau akan bertanya apakah kau boleh duduk di situ dengan membawa payung."
Seisi kelas tak tahan untuk tidak tertawa. Mereka terpingkal-pingkal membayangkan Elizabeth duduk dengan memakai payung. Tetapi Mam'zelle tidak bermaksud melucu. Dengan marah ia memukul-mukul meja.
"Diam! Aku tidak melucu! Aku sangat marah! Elizabeth, keluarlah dari kelas!"
"Oh, maaf, Mam'zelle, harap aku tidak dikeluarkan," pinta Elizabeth. "Aku tak akan mengganggu lagi. Tetapi percayalah bahwa tadi memang ada air menetes di kepalaku."
Setetes air jatuh lagi di kepalanya. Tetapi kali ini ia diam saja. Ia tak mau Mam'zelle kehabisan kesabaran dan mengeluarkannya dari kelas. Dua kali dikeluarkan sudah keterlaluan! Biarlah ia basah kuyup asal tidak dikeluarkan.
Tetapi tidak ada lagi tetesan air. Dan segera rambut Elizabeth kering kembali. Tak ada bekas basah sama sekali. Ia pun mendapat giliran untuk menghapal kata kerja dan sajak, serta diperkenankan untuk duduk terus di dalam kelas.

Selesai pelajaran bahasa Perancis, anak-anak datang mengerumuninya, memandangnya kagum, "Elizabeth! Berani betul kau berbuat seperti itu tadi! Coba kulihat kepalamu."
Tetapi sekarang rambut Elizabeth sudah kering, dan tak seorang pun percaya pada Elizabeth saat ia mengatakan berulang-ulang bahwa tadi memang ada tetesan air jatuh ke kepalanya. Mereka memeriksa kepala Elizabeth. Sama sekali tidak basah. Mereka jadi kurang senang.
"Mengapa kau bersikeras mengatakan begitu pada kami? Toh kami tak akan mengadukanmu," kata Harry. "Sesungguhnyalah leluconmu tadi sangat lucu. Untuk apa tidak kauakui?"
"Tetapi itu tadi bukan lelucon," bantah Elizabeth. "Benar-benar terjadi!"

Anak-anak pergi meninggalkannya. Mereka tak senang Elizabeth tak mau berterus terang pada mereka.
"Ia berdusta," kata Arabella pada Rosemary. "Sungguh-sungguh aku tak mengerti, bagaimana anak seperti itu bisa jadi Pengawas."
Beberapa orang setuju dengan pendapat Arabella. Mereka semua senang Elizabeth membuat lelucon di kelas, tetapi mereka kecewa Elizabeth tak mau berterus terang.

Nona Ranger mendengar ceritera tentang itu dari Mam'zelle saat guru-guru berkumpul di ruang istirahat. "Sungguh tidak seperti biasanya Elizabeth berbuat setolol itu," kata Mam'zelle mengakhiri ceriteranya.
Nona Ranger tampak sangat heran. "Aku tak mengerti tingkah Elizabeth," katanya. "Akhir-akhir ini memang luar biasa tingkah lakunya. Ia juga melakukan lelucon tolol di kelasku, mendorong buku-bukunya sehingga jatuh berulang kali."
"Tadinya kupikir ia baik sekali jadi Pengawas," kata Mam'zelle. "Aku sungguh kecewa pada Elizabeth."

Sementara itu Arabella selalu menjelek-jelekkan Elizabeth pada setiap kesempatan. Dan banyak anak yang mulai percaya kata-katanya. Arabella memang sangat pandai berbicara.
"Tentu saja, aku juga senang akan lelucon," kata Arabella, "dan sungguh menyenangkan untuk berbuat lucu dalam sebuah pelajaran yang membosankan. Tetapi kurasa tak pantas seorang Pengawas berbuat seperti itu. Maksudku kita-kita ini memang wajar bila bersikap sedikit ugal-ugalan, tetapi seorang Pengawas tentunya tak pantas, bukan? Seorang Pengawas harus bisa memberi contoh baik. Kalau tidak, untuk apa dia dijadikan Pengawas?"
"Dua semester yang lalu ia dijuluki Gadis Paling Badung di Sekolah, bukan?" sambung Martin. "Mungkin memang itulah sifat aslinya, dan sulit untuk ditinggalkannya. Kukira salah sekali menjadikannya seorang Pengawas. Ia tak pantas jadi Pengawas!"

 Ia tak pantas jadi Pengawas!"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Coba saja. Ia menyebarkan desas-desus yang begitu keji tentang Julian," kata Arabella lagi. "Mestinya seorang Pengawaslah yang mematikan desas-desus. Tetapi ini malah dia yang mulai. Yah. Seperti kukatakan berulang-ulang, aku sama sekali tak bisa mengerti mengapa Elizabeth diangkat menjadi Pengawas."
"Aku yakin ia tak bisa bertahan lama sebagai Pengawas," kata Martin. "Kukira tak boleh kita diam-diam saja punya Pengawas yang bertingkah seperti dia. Bagaimana kita bisa menghormatinya, bagaimana kita bisa meminta nasihat padanya, kalau dia sendiri bertingkah seperti itu? Ia harus diturunkan dari jabatannya sebagai Pengawas!"

Kasihan sekali Elizabeth. Ia tahu teman-teman sekelasnya semua berbisik-bisik tentang dirinya. Dan ia tak bisa berbuat apa-apa untuk melawan itu semua.

SI BADUNG JADI PENGAWAS (THE NAUGHTIEST GIRL IS A MONITOR) 1945 By Enid BlytonWhere stories live. Discover now