16. Epilog : Yang Terlewat Untuk Diucapkan

587 125 19
                                    

Tiga bulan berlalu setelah Jinyoung meninggalkan jabatan besarnya. Semua orang sudah tau. Hyunjin kini menggantikan Ayahnya, menjadi Tuan Besar Bagaskara dan Jeongin menjadi Lady yang sama baiknya dengan Jinyoung.

Ingat kalian dengan kesepakatan antara Hyunjin dan Guanlin bertahun-tahun silam, saat sang ibu pergi dari rumah. Hari itu, hari dimana Hyunjin paham sesuatu.

.

Mamamu benar-benar pergi dari rumah, ya?”

“Ayah si, mengajak Fata bertengkar terus.”

Hyunjin tampak marah pada Ayahnya. Kini mereka duduk berdua di ruang makan. Sedang sarapan yang disiapkan oleh Jinyoung sebelum ia pergi selama seminggu dari rumah. Guanlin menikmati makanannya dengan tenang, yang jujur membuat Hyunjin kebingungan.

“Ayah,” panggil bocah berusia 17 tahun itu.

“Heum?”

“Sebenarnya bagaimana perasaan Ayah pada Mama? Apakah Ayah benar-benar tak mencintai Mama?”

Guanlin memandang mata Hyunjin tepat. Ia mengulas sebuah senyum disana. Membiarkan anaknya itu merasa kesal karena pertanyaannya tak kunjung dijawab. Melihat Hyunjin merajuk adalah salah satu kesukaan Guanlin.

“Ayah, Fata bisa membalikkan meja lo kalau Ayah tak menjawab.”

Kan, anaknya itu sama imutnya dengan Jinyoung saat mengambek seperti ini. Hanya saja, Hyunjin lebih berani. Sedang Jinyoung hanya mengerucutkan bibirnya. Didikan Jinyoung memang luar biasa ya.

“Apakah Ayah menyayangi—ah, mencintai Mama?”

“Menurutmu selama 17 tahun menikah ini, Ayah tak jatuh cinta pada Mamamu? Ada beribu-ribu alasan Ayah untuk jatuh cinta pada Mamamu itu. Dan, Ayah sudah jatuh cinta terlalu dalam pada Mamamu.”

Hyunjin diam saja, membiarkan Ayahnya itu berbicara lagi.

“Jika kau bertanya kapan Ayah jatuh cinta pada Mamamu. Itu sudah lama sekali, jauh sebelum kau lahir. Hari dimana kau masih berada di dalam rengkuhan perut Mamamu, hanya tau menendang perut Mamamu saja. Bahkan sebelum kau lahir, Ayah sudah jatuh cinta pada Mamamu. Katakanlah Ayah adalah pria bodoh yang tak berani mengatakan bahwa Ayah jatuh cinta pada Mamamu, namun ada banyak hal yang menganggu, El. Dan Ayah tak bisa memberitau padamu.”

Satu kata yang berdengung di kepala Hyunjin, Ayahnya ini benar-benar sesuatu.

“Baiklah, Ayah, mari membuat kesepakatan dengan Fata.”

“Heum?”

“Mari diantara kita berdua tak ada yang pernah lagi membuat Mama menangis. Toh, kita sama-sama jatuh cinta pada Mama.”

Guanlin tersenyum. Mengusak rambut lebat anaknya. “Ayah berjanji.”

.

Selama tiga bulan juga, Guanlin hanya menghabiskan waktunya di paviliun tidak berniat kemanapun. Menikmati kesendiriannya saja. Pria itu ditemani oleh sebuah buku dimana menumpahkan segala pikirannya disana.

Buku yang berisi segala perasaannya pada sang wanita yang hebat. Wanita yang tak akan pernah berhasil digantikan oleh siapapun.

“Kev,” panggil Guanlin pada salah satu ajudan yang menjaganya.

“Iya, Tuan?”

“Berikan surat ini kepada kantor koran.”

“Baik, Tuan.”

.

Jinyoung sedang menikmati impiannya. Ia memang tak bisa menjadi seorang dokter anak, namun orang tuanya benar-benar meninggalkan sebuah rumah sakit besar untuknya. Perusahaan Ayahnya itu kini dijadikan sebuah rumah sakit atas nama Jinyoung. Dimana Jinyoung menghabiskan hari-harinya selain rumah orang tuanya.

Jisung tersenyum saat melihat Jinyoung baru saja pulang dari rumah sakit.

“Aku akan menyiapkan teh, Ai. Duduklah dan istirahat. Aku akan cepat.”

Jisung mengerling dan langsung menuju dapur. Menyiapkan teh seperti yang ia janjikan.

Wanita itu kini tak lagi mengingat rambutnya. Dibiarkan rambut panjangnya terurai, rambut yang sangat disukai Hyunjinnya. Tidak lagi mengenakan baju formal. Jinyoung bebas menggunakan baju apapun yang ia mau. Bebas—walaupun tak sepenuhnya bebas.

Mata Jinyoung teralihkan oleh puisi di koran yang tengah terbuka didepannya. Sebenarnya ia tak akan setertarik itu jika saja nama penulis puisi itu tidak ia kenal. Nama itu adalah nama penanya. Tunggu, sejak kapan ia menulis puisi untuk koran harian ini.

Selama ini hanya ada sedikit orang yang tau nama penanya. Kedua orang tuanya dan—


Aku Ingin Mengatakan

Aku ingin mengatakan padamu
Perasaan terdalamku yang selalu tertutup
Semoga rangkaian kata ini tepat memanggil namamu

Aku ingin mengatakan aku mencintaimu
Namun aku takut kau membenciku

Aku ingin mengatakan aku menyayangimu
Namun aku takut kau menjauhiku

Aku ingin mengatakan aku merindukanmu
Namun aku takut kau pergi dariku

Aku merindukanmu…
Dan kembalilah padaku.


Wanita itu kini berada di halaman depan rumahnya setelah membaca puisi itu. Jinyoung hanya terdiam. Membeku di tempatnya. Membiarkan rambutnya terbang ditiup oleh angin musim panas yang akan tiba.

“Angin musim semi telah berlalu, mari kita bertemu lagi. Sebagai sosok yang berbeda."

.

· m y l a d y ·Место, где живут истории. Откройте их для себя