Bab 5. Manekin

132 12 3
                                    

Pukul 12.45, sekolah mulai sunyi. Guru-guru kelas sepuluh dan sebelas mengakhiri jam mengajar lebih cepat. Sekarang Alfa dan Mada sedang menunggu datangnya bus transjakarta tujuan Kampung Melayu – Senen. Sepanjang menit berlalu, Mada masih saja mengabaikan Alfa. Biasanya pemuda itu selalu bertingkah aneh tiap bersama si gadis berlesung pipi. Kadang ia curhat sejad-jadinya, atau jahil separah-parahnya. Namun, jangankan untuk jahil bahkan kali ini tak ada curhat-curhat colongan darinya. Mulut pemuda itu diam seribu bahasa sembari memasang wajah datarnya. Mungkin Mada sedang belajar bahasa kalbu. Siapa yang tahu? Pikir Alfa.

Apa pun yang sedang dipikirkan Mada, Alfa hanya mengangkat bahu dan mengira pemuda itu sedang patah hati sepatah-patahnya. Sampai ia tak membagi apa pun kali ini. Mungkin. Masa bodo sih, toh itu hak pribadinya.

Lima menit kemudian bus tiba. Kedua remaja itu menaiki bus dan memilih kursi barisan ketiga sebelah kiri. Di jam-jam sekarang ini, bus transjakarta paling pas dinaiki oleh para pecinta sunyi. Lengang jalan raya dan ruang kosong dari banyaknya kursi, berhasil membuat Alfa beberapa kali menguap dan mengerjapkan mata karena rasa kantuk. Namun, lagi-lagi tidak dengan pemuda di sampingnya.

When I look into your eyes

It's like watching the night skies

Or a beutiful sunrise

There's so much they hold

Jason Mraz, gumam Alfa dalam hati. Gadis itu teringat pada kenangan malam itu. Elian berdiri di atas panggung, mengenakan kaos polo berkerah warna kelabu dan celana jins dongker. Perlahan memetik snar gitar, pemuda itu menyanyikan lagu berjudul I won't give up. Kemudian mengatakan cinta padanya. Pernyataan cinta ketiga kali yang berakhir di-iya-kan oleh gadis itu. Rasa sesak menguap dalam dadanya. Alfa tersenyum getir saat teringat wanita yang menjawab panggilan selulernya untuk Elian tadi malam.

Hah....

Membiarkan Mada bisu begitu membuat Alfa kalang kabut. Sebanyak apa pun ia merutuki 'masa bodo' pada tingkah bocah itu, tetap saja Alfa tidak tahan jika harus berlama-lama seperti ini. Kekanakan Mada memang luar biasa menyebalkan. Siapa sih yang bakal tahu apa yang dia pikirkan kalau dia gak mau cerita? Gumam Alfa.

Bugh!

Pemuda itu menoleh bersama wajah datarnya. Memandang Alfa sekejap lalu mengalihkan kembali pandangannya.

What the fuc*!

Alfa mengulangi pukulannya. Bugh! Bugh!

Sepertinya komik di tangannya kali ini tidak cukup kuat menyakiti bahu Mada. Seberapa kali pun ia memukul, pemuda itu tetap saja diam.

"Mada! Kamu kenapa sih? Gak jelas banget tahu gak?"

Cerocosan Alfa tetap tak membuahkan hasil. Sial! Ini dampak cuekin Abam dua hari yang lalu kayaknya. Masa iya sih aku kena karma? Gumam gadis itu dalam hati. Kini gantian, Mada merutuki hatinya 'masa bodo' pada tingkah Alfa yang tampak frustasi diabaikan olehnya.

"Yaudah kalau gak mau ngomong apa-apa, aku duluan turun di sini," ucap gadis itu berdiri dari kursinya. "Misi aku mau lewat."

Mada membiarkan gadis itu melewatinya dan turun di Halte Palem Putih. Seberapa kesalnya Mada? Coba bayangkan, selama ini Mada selalu menjadi satu-satunya buat gadis itu. ia sendiri yang mengakuinya. Tidak ada yang bisa menggantikan pemuda itu bahkan menyamai keberadaannya dalam kehidupan si gadis. Namun saat dirinya sakit, Alfa justru tetap latihan dengan pemuda lain. Belum lagi Sabtu kemarin gadis berlesung pipi itu latihan dengan si kembar tanpa pemberitahuan apa pun padanya. Memang Mada hanyalah temannya sejak sekolah dasar, ia sendiri juga tak tahu bagaimana hatinya bekerja sampai rasa kesal membuat ia ingin mengabaikan gadis itu.

PERLINA [COMPLETE]Where stories live. Discover now