Part 2 - The Spilled Coffee

18.1K 2.4K 54
                                    


Aku nggak ingat kapan terakhir kalinya bersikap bodoh kayak barusan. Nggak bisa bergerak dari tempatku berdiri sampai si cowok yang seperti Greek God itu benar-benar menghilang dari pandangan.

WELL, OKAAAYYY... aku emang sering banget bertindak bodoh, tapi nggak pernah ada yang sebodoh tadi. Nggak meneteskan air liur aja udah untung. Eh, bener kan, aku nggak sampai drooling? Tiba-tiba aku merasa panik.

"Ini lo yang numpahin, Vix?" tiba-tiba Satrio sudah berada di depanku dengan wajah menyelidik.

Aku, mungkin masih dengan tatapan dreamy, menoleh ke arah Satrio. "Hmmm? Kenapa, Yo?"

Tatapan Satrio semakin tajam, "Yang bener aja, Vix?"

Aku memandangnya dengan nggak ngerti. "Yang bener aja apa, Yo?"

Ia mencibir lalu meninggalkanku masuk ke dalam pantry. Nggak lama kemudian ia muncul lagi sambil membawa kain pel dan tanpa banyak berkata-kata langsung membersihkan tumpahan kopiku yang berceceran di lantai.

Aku jadi merasa bersalah. "Maaf ya, Yo." Tapi selain itu nggak melakukan apa-apa selain berdiri dengan canggung.

"Perlu gue bantuin ngepel nggak?" ini saking nggak enaknya sama Satrio,

Aku bisa mendengar ia mendengus sebal. "Iya, nggak apa-apa. Santai." Namun nada suaranya nggak terdengar santai sama sekali. Ia lalu melanjutkan sambil tetap membersihkan lantai. "Lo bukan orang pertama yang melakukan tindakan bodoh kayak gini."

Setelah lantai bersih, ia kembali masuk untuk meletakkan kain pelnya.

"HAH? Maksudnya?" aku bertanya balik karena nggak mengerti maksud dari pernyataan Satrio barusan.

Ketika dia muncul kembali, aku mengulang pertanyaanku. Kali ini dengan nada yang agak pushy. "Maksud lo gue bukan orang pertama yang numpahin kopi ke lantai dengan nggak sengaja?"

Satrio mengangkat bahu dan menjawab tanpa ekspresi. "Bukan." Katanya. "Maksud gue, lo bukan orang pertama yang melakukan tindakan bodoh di depan cowok tadi."

Tiba-tiba aku langsung merasa adrenalinku meningkat dan otakku dipenuhi berbagai macam pertanyaan yang ingin aku lontarkan semuanya sekaligus ke Satrio, seperti siapa nama lengkapnya, kerja di mana, udah nikah belum, kalau belum punya pacar nggak, kalau nggak punya, tipe ceweknya yang kayak gimana. Tapi sayangnya mulutku nggak bisa berbicara secepat otakku berpikir. Maka yang pertama kutanyakan adalah, "LO TAU SIAPA DIA BARUSAN, YO??"

Errr, tapi kok pertanyaanku barusan nadanya terdengar seperti orang yang ngajak berantem ya? Well, harusnya sih Satrio ngerti kalau itu adalah nada excited.

Satrio memandangku seolah-olah aku ini gila atau apa. "Ya iyalah tau. Dia hampir tiap hari beli kopi."

"Siapa Yo, SIAPAAAA..??"

"Nah. Sekarang lo bersikap kayak cewek-cewek lain, deh."

"HAH? MAKSUDNYA?? Maksud lo udah banyak cewek lain yang histeris kayak gue?"

"Yah menurut looo?" lagi-lagi Satrio mencibir. "Kalau lo orang pertama yang kayak gini, reaksi gue nggak akan sebosan barusan kali."

HOMAIGATTT.

Jadi aku bukanlah orang pertama yang menemukan si Greek God? Oh well, mengingat setiap manusia punya mata, aku bisa berharap apa sih?

"Siapa sih dia, Yo? Gue sampe speechless nih."

Satrio tertawa. "Sumpah Vix, dari semua orang yang jadi langganan disini, gue paling nggak bisa ngebayangin lo jadi kayak barusan. Dia nggak seganteng itu kali."

Aku mengibaskan tangan di depan wajahnya sambil mencibir, "Ah, itu sih lo aja jealous sama dia. Kompetisi di antara pria—"

Lagi-lagi Satrio tertawa. Ia kemudian menyela kata-kataku. "Namanya Ilham. Kantornya di PetroWorld. Itu pun gue tau karena liat ID Card-nya tiap kali dia pesan kopi."

"Oh berarti bener ya."

"Bener apanya?"

"Oh nggak." Aku tersenyum. "Tadi ada yang manggil dia 'Ilham' makanya gue menduga itu namanya."

"Ya menurut lo, Vix?" Satrio melemparkan pandangan nista. "Kalau dia noleh waktu dipanggil, ya itu pasti namanya kali."

Tapi aku mengabaikan nada sinis di kata-kata Satrio barusan. Well, suasana indah karena nasib baik bisa bertemu cowok macam Ilham-si-jas-abu-abu-dengan-dada-bidang nggak boleh dikacaukan dengan hal-hal negatif macam pernyataan Satrio barusan. "Terus-terus, Yo? Apa lagi infonya? Dia sering kesini ya? Tiap hari? Tiap jam berapa? Eh, dia kerja di PetroWorld lantai berapa?"

Kalau di komik-komik, aku bisa membayangkan pasti saat ini kepala Satrio kayak dipukul pakai palu godam dan di wajahnya ada tetesan air keringat yang menutupi hampir seluruh muka. Heheheh. Sorry, but I can't help.

"Lo kepo amat sih, Vix."

"Ini bukan kepo." Aku langsung menyanggah. "Ini gue lagi riset."

Satrio memutar bola matanya seolah berkata 'yeah-whatever-you-say-but-I-don't-buy-it'.Ia lalu menatapku dengan serius dan berbisik. "Yang gue tau, namanya Ilham, sukanya caramel macchiato panas, datang kesini nggak tentu jam berapa. For everything else, there's Google."

Aku langsung melotot. "Mana bisa nge-googling hanya dengan informasi sesedikit itu?? Nama panjangnya siapa?"

Satrio berlalu dari hadapanku dan menjawab dengan nggak peduli. "Mana gue tau. Banyak hal yang lebih penting untuk gue ketahui dari pada ngapalin nama panjang orang."

Aku mengikutinya ketika ia berjalan menuju pintu masuk. "Eh Yo, seriusan nih. Kalau dia kesini lagi tolong dong lo perhatiin deh nama panjang di ID Card-nya, terus kalau bisa lo singgung-singgung soal gue, ya. Apa kek gitu. Bilang gue cantik atau apa."

Okay, kini Satrio nggak lagi memandangku seolah-olah aku gila, tapi kayaknya dia udah yakin bahwa aku ini memang gila. Ia memijit keningnya yang aku tahu sebenernya nggak apa-apa. Dia hanya berlebihan aja. "Karma macam apa yang membuat gue punya pelanggan kayak elo, Vix..."

"Bukannya punya pelanggan macam gue gini justru berkah, Yo? Kan bikin hidup lo jadi berwarna. Hehehe." Aku memamerkan senyuman lebar lalu secepat kilat aku mengubah ekspresi. "Ayolah. Demi 'riset' gue." Aku mengedipkan mata dengan nada merayu.

Satrio mencibir.

Aku masih memasang ekspresi yang sama. It's about time. Pasti dia akan kasihan kok.

Akhirnya setelah beberapa saat, "Iya. Iya." Satrio menyerah. "Nama panjangnya aja, kan?"

See? Bener kan?

"Weits, masa itu doang?" aku kembali nyengir. "Tanggung ah. Singgung-singgung dikit lah tentang gue. Terus cari info yang lebih dalam dong tentang dia."

"Seperti?" Satrio mengangkat alisnya.

Aku mengangkat bahu. "Yah seperti—" aku menambah lebar senyuman. "—informasi apakah dia udah punya pacar atau belum."

"Oh." Satrio menampakkan ekspresi nggak tertarik. "Menurut lo mungkin nggak cowok kayak gitu nggak punya cewek?"

Eh?

Hmmm.

Iya juga sih.

"Nah," Satrio kini tersenyum seolah-olah senang membuatku tersadar. "Lagi pula gue beberapa kali ngeliat ada cewek yang sering nunggu dia disini kalau sore. Terus mereka pulang bareng."

"Pacarnya?" aku langsung merasa hopeless.

Satrio mengangkat bahu. "Bisa jadi."

Errghh. Eligible guy, Y U NO AVAILABLE??

Meet CuteWhere stories live. Discover now