BAB 7

832 119 72
                                    

Air matamu adalah neraka paling nyata bagiku, kesedihanmu adalah jalan yang beralaskan duri-duri kepedihan. Daripada melihatmu bersedih, aku lebih memilih semesta menghakimiku asal tidak kau yang terluka.

(*)

Bayang-bayang diri semakin meredup seiring dengan senja yang kian menyapa. Teriknya siang hari telah mengantarkan jiwa-jiwa yang penuh lelah dari segala keluh kesah pada hangatnya siluet terbalut malam penuh temaram. Dalam hatinya masih mengalir deras arus luka yang belum kunjung reda. Seperti tercipta telaga kesedihan dalam rongga-rongga dada yang membuat udara terhirup tidak berjalan dengan semestinya; sesak yang terlanjur mengerak. Sekuat apa pun Shysi berusaha menolak ingatannya, poster wajah seorang ayah yang tega mengkhianati keluarganya begitu terbayang-bayang dalam pikirannya. Seakan tiada lagi ingatan yang mampir di ilusinya untuk terpikirkan, seluruh luka yang sedang ia rasakan menghabiskan segala ruang pada ilusinya.

Sore itu Shysi menyusuri setiap jalanan yang tidak tahu ke mana arah tuju kaki dilangkahkan. Ia memilih untuk tidak pulang ke rumah, melainkan mencari ketenangan untuk perasaannya. Di sudut kota ia berjalan begitu pelan sembari merasakan dinginnya cuaca sore itu. Dilihatnya awan yang sudah tampak begitu muram, tetapi langkahnya malah semakin diperlambat. Ia tidak tahu di mana tempat yang mampu menenangkan perasaannya yang sedari terus berkecamuk tak menentu.

Setelah sekian lama ia berjalan, di ujung dekat lampu lalu lintas dilihatnya sebuah warung kecil yang tampak begitu sederhana. Ia memutuskan untuk mempercepat langkahnya sebelum hujan turun membasahinya. Namun, belum sampai masuk ke warung kecil itu, ia melihat di seberang jalan sana ada sebuah tempat yang bernamakan, "Cafe Book," tempat yang belum pernah ia kunjungi. Sejurus kemudian, ia memutar arah langkahnya menuju cafe itu. Dibukanya pintu cafe itu dan baru satu langkah ia pijakan di dalamnya, entah mengapa auranya terasa begitu berbeda. Meski Shysi seringkali mengunjungi cafe maupun rumah makan yang ada di kota ini, tetapi ini adalah kali pertama ia merasakan udara yang begitu nyaman di dalamnya.

Cafe itu terdiri dari beberapa ruangan untuk ditempati. Shysi mengambil tempat di ujung ruang sebelah kanan. Namun, saat Shysi bergegas memasuki ruangan kecil itu, dilihatnya ada satu ruangan khusus berisikan buku-buku, mungkin lebih tepatnya itu adalah perpustakaan. Sejalan dengan nama tempatnya, "Cafe Book," selain menyuguhkan berbagai macam makanan dan minuman, cafe itu menyediakan perpustakaan di dalamnya. Dan hebatnya lagi semua buku bacaan ada di sana, di mulai dari buku yang usia pembacanya 7 tahun sampai usia kakek nenek pun ada di sana. Luar biasa bukan?

Ia kemudian menghentikan langkahnya untuk menuju ruang kecil yang berada di sudut cafe, lalu secepat kilat ia menyusuri setiap rak buku itu. Betapa tidak? Baginya, buku adalah teman paling setia untuk mencurahkan segala rasa. Bahkan, terkadang ia sampai lupa waktu hanya karena terlalu asyik membaca buku. Seperti biasa, buku yang bernada cerita cinta selalu menjadi target utama untuk ia tuntas habis isinya.

"IN LOVE NIA? Sepertinya menarik," diambilnya buku itu, yang bertempat di rak buku paling pojok.

Sembari kembali menuju ruang kecil yang sebelumnya akan ia tempati, di pinggir pintu sebelah kanan terdapat satu kotak surat yang di luarnya bernamakan, "Satu harapan untuk hari ini" tanpa berlama-lama di pintu itu, Shysi langsung mengambil satu surat kecil yang berisikan satu kutipan, namun ia tidak membacanya langsung, melainkan melanjutkan langkahnya menuju ruang kecil itu terlebih dulu.

"Kenapa aku baru tahu kalau di kota ini ada cafe sebagus ini?" Ia meletakan tas sekolahnya di sebelah kiri tangannya dan langsung merebahkan diri di kursi yang cukup panjang dalam ruangan itu. "Jangan pernah merasa menjadi orang yang paling tersakiti, sebab di luar sana kau akan mendapati betapa banyaknya orang yang lebih tersakiti dari padamu. Air matamu adalah neraka paling nyata bagiku, kesedihanmu adalah jalan yang beralaskan duri-duri kepedihan. Daripada melihatmu bersedih, aku lebih memilih semesta memghakimiku asal tidak kau yang terluka. Tersenyumlah!" Dibacanya surat kecil yang berisi kutipan sederhana, namun sungguh, kata-kata itu seperti memiliki nyawa yang membuat Shysi kembali mempunyai harapan.

Shy & NafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang