2

6 0 0
                                    

Rea POV

Bus berwarna biru melaju meninggalkan halte setelah menurunkanku dan beberapa penumpang di sampingku. Seorang wanita cantik yang berpakaian kaku sedang menunggu bus sambil terbatuk-batuk di sebelahku, mungkin karena bus tadi menyemprotkan asap pekat. Hujan membuat orang-orang berdesakkan berteduh di halte, berusaha menyelamatkan pakaian rapinya dari titik-titik air yang jatuh.

Kubuka payung abu-abu yang sedari tadi ku pegang. Menyusuri jalan menuju tempat kerjaku di pagi hari sambil memperhatikan sekitar selalu menjadi hal yang menarik. Seringkali aku tersenyum melihat orang-orang yang teburu berjalan karena tak mau terlambat bekerja, melihat pohon-pohon yang setiap harinya menenggak racun dari asap kendaraan, melihat bagaimana lampu lalu lintas seolah lebih menarik daripada berbagi peduli untuk sekedar menegur anak kecil yang seharusnya sekolah, tapi malah berkeliaran mengamen dari mobil ke mobil. Melihat itu semua aku jadi berfikir, betapa banyak jaring laba-laba kesemrawutan di depan mataku.

Tinn.. Tin..! suara klakson mobil yang tak sabar membangunkanku dari lamunan. Aku melangkah lagi menuju tempat kerjaku. Sepertinya aku harus ikut terburu, karena waktu sudah berlari cepat dari hadapanku.

"Tak boleh! Kau tak boleh menaiki mobil ini!" aku mengalihkan pandangan pada seorang pria bertubuh tinggi kurus dengan kacamata di wajahnya, berteriak pada seorang wanita berambut hitam panjang di seberang jalan tak jauh dariku.

'Ahh, drama pagi hari' ucap fikirku

"Kau gila, Gi!" teriak sang wanita, "tak ada yang salah dengan mobil ini, semuanya akan baik-baik saja," kata wanita cantik bertubuh tinggi bak model itu sambil beranjak masuk ke sebuah mobil Chevrolet tua yang terparkir di depannya.

"Jangan Rom, 'itu' akan terjadi. Tolong percayalah padaku, Rom. Tinggalah sehari dua hari lagi di sini," si pria mencoba membujuk sang wanita dengan mengetuk kaca mobil, tapi si wanita mengacuhkan.

"Kau berlebihan, Gi," katanya lalu pergi begitu saja meninggalkan pria berkacamata itu di pinggir jalan. Terlihat raut cemas dan gelisah yang begitu kentara di wajah si pria berkaos hitam dan celana jeans biru tua.

Merasa ada yang memandangnya, pria itu mengalihkan matanya dan menatap lurus. Aku mengalihkan pandangan takut-takut, lalu melanjutkan langkah menuju bangunan kantorku. Tatapannya yang tadinya cemas berubah menjadi dingin dan mengerikan saat menatapku.

"Hai Re," sapa Nada sambil menepuk pundakku—dia menepuk terlalu keras, hingga membuatku terlonjak kaget—tepat selangkah setelah aku melintasi pintu lobi kantorku.

"Ya ampun Na, kau habis sarapan apa sih sampai terlalu bersemangat seperti ini?" kataku dan hanya ditanggapi dengan cengiran olehnya sambil menyeretku memasuki lift.

"Kau tahu Re?" kata Nada tiba-tiba

"Tidak," sahutku singkat sambil tetap menatap kedepan.

"Iih aku belum selesai berbicara. Kau tau pria yang tadi berteriak-teriak di sebrang jalan, kan? Kau tadi melihat kearahnya, kan?" sabungnya menggebu dan hanya kuangguki saja.

"Dia.. emm, orang tuanya adalah pemilik tanah yang di sewa oleh kantor kita ini loh, seorang pegawai di Divisi Legalitas mengatakannya padaku. Sebenarnya direktur utama berniat membeli lahan ini namun mereka tak mau menjualnya dengan harga berapapun. Dan kau tahu? tidak hanya tanah ini saja tapi tanah kantor multimedia dan hotel sebelah kanan kiri kantor ini juga milik mereka. Mereka adalah keluarga yang kaya raya sejak dulu.

Sayangnya orang tua pria itu meninggal secara tiba-tiba dan dalam keadaan tragis beberapa tahun lalu. Ayahnya meninggal di sebuah mobil yang jatuh ke jurang dalam perjalanan bisnisnya ke luar kota dan yang mengerikan, jasadnya tercabik-cabik hewan liar karena baru ditemukan empat hari kemudian. Lalu di tahun berikutnya Ibunya meninggal karena jatuh dari tangga lantai empat di sebuah bangunan dengan leher dan kaki yang patah. Ahh aku tak bisa membayangkannya, pasti itu menyakitkan sekali."

Kutukan MimpiWhere stories live. Discover now