(13) Summer Rain

135 22 0
                                    

“Keharuman cuaca yang kering dan hangat, tercampur dengan suasana sendu ketika hujan turun.
Kendati ini musim panas, tetapi hujan tetap hadir. Dan dalam kesunyiannya aku terus berharap, bahwa seluruh perasaanku tidak akan berubah menjadi hujan di musim panas, yang pergi setelah puas terjun bebas.”

****

Saat aku memasuki kelas setelah istirahat kedua, aku tidak terkejut mendapati Jeno sudah berada di dalam kelas terlebih dahulu. Tentu dengan senyum Annabelle yang dia pamerkan padaku. Aku mencoba tidak memperdulikannya, dan hanya duduk diam dengan menyangga dagu.

Sepanjang pagi aku mencoba untuk tidak memperdulikannya, walaupun dia mencoba mengajakku bicara berkali-kali.

“Honey.”

“Nggak sudah sok akrab.”

“Cieee, yang kemarin ngambek.”

Urat emosiku seakan kembali tersulut. Entah mengapa jika aku berada di dekatnya, aku akan selalu mengernyit dan cemberut. Rasanya dia seperti samsak tinju, di mana aku melihatnya, rasanya ingin memukulnya.

“Kenapa kamu ngasih aku makanan? Emang kamu kira aku pengemis? Atau kamu mau pamer harta?” walaupun sebenarnya aku senang diberikan makanan gratis.

“Aku bisa ngasih satu kardus. Kalo kamu mau,” oke, aku akan segera mencekiknya.

Entah dia bermaksud baik atau buruk, dia tetap saja menyebalkan. Mungkin karena aku tidak pernah menyukainya, jadi apapun yang dia lakukan rasanya tetap saja jelek. Walaupun setidaknya rasa benciku memiliki alasan.

“Kamu mau susu? Aku baru beli tadi.”

Dia menyodorkanku sekotak susu coklat dan kulihat dia juga memegang satu susu lain rasa strawberry di tangannya.

“Kamu kira aku kucing. Dikasih susu terus,” aku bersungut-sungut sambil menatap sekotak susu coklat di hadapanku.

“Jangan salah. Susu itu sehat! Banyak protein sama kalsium. Cocok untuk kamu, biar kamu jadi gemuk, nggak kurus lagi,” apa dia menghinaku?

“Nggak usah minum susu juga, udah sehat,” aku bergumam pelan.

Kulirik dia, tampak terlihat alisnya yang mengernyit, “Kamu nggak suka susu?” tanyanya padaku.

“Aku lebih suka duit.”

“Memang cita-citamu apa?”

“Apa urusanmu?”

“Nggak sih ... aku cuma mikir. Cita-citamu pasti pengen dapet kerjaan yang bisa ngehasilin banyak duit,” tentu saja begitu. Tidak ada orang yang ingin mendapat gaji sedikit.

“Nggak juga tuh. Cita-citaku pengen jadi psikologi atau penulis. Tapi ayah punya ternak kambing dan katanya nanti aku juga harus ngurusin ternaknya itu. Padahal aku nggak suka jadi peternak atau petani.”

“Oh, itu gampang. Kamu kerja aja, jadi psikologi. Biar ternak ayahmu aku yang ngurusin, gimana?”

Mendadak kedua mataku terbuka lebar. Tanganku yang menyangga dagu terkulai di atas meja. Dia tersenyum padaku sembari menaik turunkan alisnya beberapa kali.

Apa dia serius?

Aku rasa dia sudah gila.

Apakah dia sadar? Artinya dia tengah membicarakan warisan. Jika dia ingin mengurus ternak ayahku maka dia harus menikahiku.

Oke, dia menggombal.

Kubuang tatapanku ke arah lain. Melihat pintu kelas yang terbuka lebar, menampilkan lorong kelas dan lapangan sekolah yang luas. Beberapa murid akan berlalu-lalang kemudian suasana akan berubah menjadi lebih sepi saat bel sudah berbunyi.

R136a1 Beautiful Of You're [NCT × TXT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang