SATU

5.2K 147 10
                                    

Mendung menyelimuti siang itu, kilat tampak berkejaran di langit. Gemuruh suara Guntur juga saling bersahutan. Pertanda hujan akan menyapa dengan derasnya.

Seorang gadis kecil menyendiri. Semua temannya tampak asyik bermain permainan kampung. Ada yang bermain bola bekel, gundu, lompat tali, atau bermain kejar-kejaran. Tidak dengan gadis itu. Hanya asyik bercengkrama dengan teman bisunya.

Gadis kecil itu punya dunianya sendiri. Hanya asyik membaca buku perpustakaan yang di bagikan gurunya. Buku pemberian dari pemerintah untuk bacaan murid murid sekolah dasar seluruh Indonesia. Buku lusuh yang menjadi harta karun turun temurun dari generasi sebelumnya.

Semua temannya sudah tahu hobinya. Tak ada satupun yang mengganggu dan mengajaknya untuk bermain. Semua sudah tahu jika diajak serta jawabannya pasti tidak. Anak itu akan lebih memilih teman bisunya.

Menyendiri dan berteman sepi. Berselancar di dunia bisu tanpa tepi. Menjelajah dunia tanpa beranjak kemana-mana. Imajinasi liar dan angannya tanpa henti berkelana menjelajahi segala penjuru dunia dan membuka cakrawala ilmu tanpa batas.

Bu Tias. Seorang perempuan tenaga pengajar dari kota. Pemilik badan tambun nan ramah dan begitu dicinta semua anak muridnya.

Seorang ibu beranak dua yang mendedikasikan diri di desa terpencil yang tak terjamah riuhnya kendaraan dan modernisasi pembangunan. Rela menempuh perjalanan berjam lamanya pulang dan pergi demi bakti pada Pertiwi.

Perempuan lulusan SPG itu mengemban tugas mulia dengan semangat dan cita-cita ingin merubah nasib anak bangsa yang banyak sekali membuatnya meneteskan air mata. Terutama nasib kaumnya. Perempuan.

Bu Tias hanya tersenyum melihat tingkah polah anak didiknya tak ada takut dengan gelegar petir yang bisa saja menyambar. Bagi anak-anak petir bagaikan alunan simponi yang mengiring keceriaan. Mereka asyik tanpa terusik. Bermain dengan dunia kecil mereka yang indah. Berkejaran berpayung awan yang menghitam tanpa sedikitpun ketakutan. Matanya kemudian tertegun melihat Ayu Lestari, gadis kecil penyendiri yang asyik dengan bacaannya.

Pantas pintar, ilmu pengetahuan serta wawasannya luas. Sangat berbeda dengan anak lainnya. Rasanya hanya Ayu yang selalu antusias dan asyik dengan buku di banding yang lainnya.

Perlahan Bu Tias mendekati Ayu.

"Hebat kamu, Yu, gemar sekali membaca. Pantas jika di pencil ( Di tes siapa cepat menjawab pertanyaan guru ) kamu selalu nomor satu menjawab."

"Ya, Bu, saya sangat suka membaca. Saya bisa jalan-jalan tanpa mengeluarkan uang. Saya suka semua bacaan di perpustakaan," jawabnya polos.

Bu Tias tersenyum. Ya, jalan-jalan tanpa harus memikirkan biaya. Berfantasi pergi kedalam cerita hingga merasa berada dalam tempat yang sedang dibaca. Gadis lugu yang hanya bisa berkhayal jalan-jalan ke belahan dunia lain. Tak mungkin terwujud karena adat melarang setiap perempuan bisa melanglang buana menjelajah dunia.

Stigma yang ada mengatakan jika dunia perempuan hanya sebatas dapur, kasur, serta sumur. Perempuan tak boleh pintar cukup piawai bergelut dengan pekerjaan rumah dan menjadi pengabdi setia suami di pembaringan.

Bu Tias menghela napas. Berat beban memikirkan demikian. Akankah ada seorang Srikandi didikannya yang akan melabrak tradisi? Gigih memperjuangkan haknya dan menjadi pembela kaumnya. Menjadi pionir perubahan dari desa terpencil dan terisolir ini.

"Sekarang sudah catur wulan ketiga kelas enam loh, kemana kamu ingin melanjutkan sekolah? Ibu rasa kamu bisa sekolah di sekolah pavorit di kota loh, Yu. Ayu anak pintar nilai akademik pasti bisa mengantar Ayu lulus tes di kota." 

Ibu Umar Bakrie itu mengelus pucuk kepala gadis berseragam putih abu yang berbaju lusuh hingga warna putih itu nampak malah berwarna merah kekuningan. 

Siapa yang tak mengakui kemampuan akademik seorang Ayu Lestari. Semua juga tahu posisi pertama tak pernah lepas dari genggamannya. Pantas jika Bu Tias berharap gadis kecil itu bisa bersekolah di kota. Menjadi gadis pertama yang akan berwisuda berpakaian toga.

"Saya mungkin hanya jadi kuli di kota, Bu, Bapak bilang tak usah meneruskan sekolah," jawab Ayu dengan raut muka yang mendung.

"Ya Allah, jangan atuh, sayang, anak sepintar kamu tidak melanjutkan pendidikan." Nada kecewa tergambar dari nada suara Bu Tias.

Tuhan jangan sampai nasib Ayu seperti nasib kebanyakan penduduk desa ini, hanya menjadi babu atau pelayan warung makan atau menikah dalam usia belia. Pinta Bu Tias di hati.

Wajah Ayu kian mendung mengenang nasibnya. Berkali merengek meminta melanjutkan pendidikan. Bapak selalu menjawab tidak. Untuk apa, perempuan hanya harus pintar memasak, mencuci dan melayani suami. Bukan sekolah yang tinggi. Itu selalu jawabannya. Malah emak membumbui dengan nasib anak tetangga yang sekolah tapi kandas karena hamil di luar nikah. Lah, buat apa sekolah? Pengen punya anak mah tinggal nikah. Ya Allah. Rasanya tak mungkin bisa melanjutkan mimpi.

Pelajaran masih lanjut meski di luar kelas hujan turun dengan derasnya. Petir dan gemuruh terdengar dari kejauhan. Ayu sudah tak lagi bisa konsentrasi dengan pelajaran. Angan membayangkan masa depan suram.

Teng ... teng ... teng ....

Suara besi bundar pengganti alarm sekolah di tabuh pak Supriatna, sang penjaga sekolah. Tanda pelajaran telah usai. Anak-anak berhamburan keluar kelas dengan riang. Bagi mereka pulang di bawah guyuran hujan begitu menyenangkan. Tiada rasa takut akan kilat cahaya petir yang menyambar.

Hujan masih mengguyur dengan derasnya. Ayu melepas bajunya dan menyisakan kaos dalam dan celana pendek. Ayu memasukannya kedalam tas kemudian membungkusnya dengan kantong kresek besar. Bajunya hanya sepasang yang di miliki. Jika kebasahan besok mau memakai apa. Setelah di rasa rapi, Ayu mulai berjalan.

Diantara titik air hujan Ayu menangis. Ingin menjerit meratapi nasibnya. Haruskah bernasib sama dengan yang lain? Hanya cukup sekolah tingkat dasar. Padahal Ayu menggantung tinggi harapan ingin menjadi seorang tenaga pengajar seperti Bu Tias.

Harapan mungkin tinggal harapan. Air mata menetes beserta air hujan yang setitik demi setitik membasahi tubuhnya yang kuyup. Semoga ada keajaiban hingga mimpi akan menjadi nyata. Semoga itu bisa.

TBC

ANAK GUNUNGWhere stories live. Discover now