DUA BELAS

1.2K 68 3
                                    

Malam sudah larut. Bagas gelisah. Matanya tak bisa di pejamkan. Masih terngiang kata-kata sahabatnya tadi siang. Tatapan mereka seolah mengejeknya. Memang salah begitu menyepelekan penampilan fisik dan pakaian Ayu. Sehingga memandang rendah intelektualitas gadis gunung itu.

Bagas tak pernah menyangka kualitas otak begitu brilian. Gadis pendiam bisa beretorika luar biasa. Tangan begitu lihai berperan ketika mulut beraksi. Matanya hidup dan berapi-api.

Pakaian begitu sederhana malah cenderung nggak up to date. Lebih pantas di pakai emak-emak daripada anak muda. Kulit wajah dan tangannya menghitam terkena sinar matahari. Lumayan manis di banding yang lain. Bagas tak menampikkan itu. Jika kayu Ayu umpama bongkahan belum di ampelas dan di pernis, masih alami. Polesan sedikit saja maka eksotiknya akan keluar.

Orangnya sangat pendiam. Tapi, apa salah penglihatan, jika tadi berkoar-koar penuh energi. Sungguh tak salah banyak rekannya begitu mengagumi. Apa salah gadis itu jika hati tak suka. Ah, mengapa selalu juga memikirkan gadis itu. Jidatnya akhirnya jadi sasaran tepokan.

"Aduh, sakit," rintihnya.

"Kenapa lu, Gas?" tanya Panji yang terjaga mendengar suara Bagas.

"Nyamuk nih, gila jidat gua jadi sasaran. Di tepok kekencangan jadi sakit," jawabnya nyengir kuda.

Andai Yudis tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pasti jadi bahan sasaran ejekan.

"Kirain apaan, udah malem tidur yuk besok kita mudik dulu," ajak Panji.

Bagas mengangguk. Gadis gunung, ini gara-gara Elu. Ih pergi ngapa jangan datang di mata gua Mulu, usirnya. Bayangan Ayu hadir seolah mencibir. Mengolok-olok dirinya.

                             *****

Pagi itu nasib apek menimpa Ayu. Mobil yang ditumpangi mogok di tengah jalan. Uang ongkos tetap harus di bayar. Tega pak supir, gerutu Ayu. Merogoh kantong bajunya. Alamat nggak ada jatah uang jajan. Uang sisa hanya cukup untuk ongkos sekarang dan untuk pulang.

Ayu akhirnya sampai ke sekolah meski kesiangan. Muka kang Ismail sudah tak segarang dulu lagi. Entah ada instruksi dari Pak Ajid atau sudah bosan memberikan hukuman. Ayu hanya menulis di buku agenda dan melenggang masuk tanpa jalan bebek lagi.

Langkah Ayu masuk kelas terhenti di tengah jalan. Seruan gennya untuk masuk perpustakaan membelokkan langkahnya. Pelajaran kosong. Gurunya tak masuk hari ini

Ruang perpustakaan yang biasanya seram bagi setiap pelajar tidak bagi siswa di sekolah Ayu. Ruangannya memang sepi. Hanya saja di sana juga di sediakan makanan untuk menemani siswa ketika membaca. Selain mencari pengetahuan juga mencari makanan.

Ayu hanya diam melihat sahabatnya menikmati jajanan. Tangannya merogoh saku. Tinggal selembar uang di sana. Mana cukup buat jajan.

"Kenapa tidak jajan, Ayu?" tanya Thien

"Sedang asyik membaca, nanti saja." jawab Ayu dengan tersenyum hambar. Padahal gorengan berbumbu  saos yang di pegang Thien begitu menggoda. Hanya bisa mengurut dada.

Di tunjukannya buku karya Buya Hamka di tangan. Padahal ludahnya berkali-kali di telan. Perut juga keroncongan, tadi Emak repot membantu yang hajatan tak sempat membuatkan bekal. Nurasiah melihat mimik Ayu. Kasihan kau, Yu.

"Hari ini hari istimewaku. Kalian akan aku traktir. Ayo Ayu ambil semau kamu. Kalian juga itu juga kalau perut kalian muat. Sepertinya kelaparan semua. Eits, hanya sekarang yang masuk hitungan loh. Itu yang masuk perut bayar sendiri." Nurasiah Jamilah si anak bos terkekeh.

Nur tahu alasan Ayu tak jajan. Perut ayu sudah terdengar bunyi sedari tadi. Nur duduk di dekatnya juga melihat Ayu yang sesekali menelan ludah melihat yang lain asyik makan.

ANAK GUNUNGDonde viven las historias. Descúbrelo ahora