TIGA PULUH DUA

1.2K 50 0
                                    


Hawa dingin menusuk kulit. Suhu udara pegunungan memang lebih rendah beberapa derajat Celcius di banding daerah lainnya. Di saat orang menarik selimut rapat ke tubuhnya, Ayu terjaga. Lingkaran di dinding menunjuk angka dua.

Ayu tersenyum melihat wajah Yudis yang begitu polos ketika terlelap. Tangannya menyapu lembut wajah yang kini telah halal baginya. Anak rambut yang menghalang mata di singkirkan. Mata yang tajam dengan bulu lentik menghiasi. Menggoda tangan Ayu sekedar mengelus lembut.

Yudis menggeliat. Ayu pura pura menutup mata. Aih, seperti bayi. Lucu. Kalau terjaga mengapa begitu menyebalkan dan pandai menggoda.

Ayu berlalu setelah menutup rapat selimut di raga suaminya. Membersihkan diri dan menghadap sang pencipta. Bersujud menghamba pada Tuhannya.

Larut dalam sujud dalam dan lama. Rembesan air bening perlahan jatuh. Terbayang perjalanan kisah indah yang hanya mampu gadis gunung itu rangkai dalam mimpi, hari ini menjadi nyata dan penuh bahagia. Maka nikmat mana lagi yang harus didustakannya.

"Nggak ngajak beli tiket ke surga sama-sama?"

Suara Yudis di kuping mengagetkan Ayu yang tengah tengadah. Lilitan tangan kekarnya membelit pinggang. Sehingga susah pergerakan. Hembusan napasnya yang panas di pipi membuatnya merona merah.

"Kakak kecapean mana tega Ayu bangunkan. Di sini dingin, Kak, ini masih jam tiga malam. Nanti kalau shalat wajib Ayu bangunkan."

"Shalat wajib kakak harus ke mesjid, berjamaah di sana. Tapi, kalau shalat sunah bisa bersamamu, sayang."

Kembali kecupan mendarat di pucuk kepala Ayu.

"Besok Ayu janji akan bangunkan kakak untuk shalat tahajud. Ayu janji."

Ayu tersenyum melihat bayi besarnya rebahan di pangkuannya. Masih juga merasa mimpi jika Yudistira Hadi Wijaya telah sah menjadi suaminya.

Dalam mimpi serta nyata semoga langgeng selamanya.

*****

Tungku perapian sudah menyala sejak pukul empat pagi. Ayu cekatan menghangatkan sisa makanan kenduri semalam. Nasi sudah tanak dan siap di angkat.

Yudistira dan bapak sudah kembali ke rumah setelah shalat subuh berjamaah. Bapak dan seluruh anggota keluarga seolah di komando meninggalkan dua sejoli di depan perapian. Mereka membiarkan keduanya asyik dalam dunia barunya.

"Wah apinya mati, tenang aku bisa nyalain Yu, santai saja."

Yudis berlagak bak pahlawan. Menggulung kemeja panjangnya serta memasang muka siap perang dan menerjang. Sabit melengkung indah di sudut bibir Ayu. Lucu.

Yudis mengambil potongan bambu panjang khusus untuk menyalakan api tungku. Di desa di sebut song-song. Meniup benda itu dengan sekuat tenaga. Bukan api yang menyala. Abu pembakaran kayu bakar beterbangan kemana-mana. Wajah, rambut dan tubuh Yudis memutih penuh abu semua.

Ayu terpingkal. Penampakan suaminya ibarat ubi Cilembu yang di bakar di benamkan di abu panas perapian. Tebal dengan abu. Membuat wajah tampan sang suami tampak lucu.

"Aih, bahagia melihatku menderita. Toge kamu." Yudis cemberut.

"Kakak lucu, pengen lihat seperti apa muka kamu?"

Ayu memberi cermin kecil yang tersimpan di meja. Yudis melotot, tak percaya. Wajah tampannya hilang sudah. Hanya wajah penuh abu yang nampak di sana. Seketika tawanya renyah. Lucu sendiri.

Ayu terharu melihatnya. Maaf kamu harus menikmati kesederhanaan kami. Harus sejenak meninggalkan fasilitas mewah di rumah megah. Menghabiskan malam di ranjang reyot dan tua. Menikmati hidangan alakadarnya. Tinggal di gubuk kami.

ANAK GUNUNGOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz