delapan

28.3K 2.9K 120
                                    


Tak sampai lima belas menit akhirnya lampu kembali menyala. Situasi ruangan yang telah terang membuat Erik merasa lebih cemas dua kali lipat ketika beberapa petugas keamanan terlihat beberapa kali melewatinya yang bersembunyi di balik meja yang cukup besar. Untungnya para petugas keamanan itu tidak masuk ke dalam ruang jenazah Vina. Kalau seandainya itu terjadi, Erik tidak bisa membayangkan bagaimana nasibnya dan Widya jadinya.

Begitu dinihari Erik merasa sudah waktunya dia dan Widya meninggalkan tempat itu. Setelah melihat kondisinya sudah aman, dengan pelan tanpa menimbulkan suara Erik membuka pintu tempat dimana Widya berada.

Melihat ada yang membuka pintu, Arya yang sedari tadi bersembunyi di balik pilar terkejut ketika melihat seorang pria masuk ke dalam ruangan. Dalam hatinya bertanya-tanya maksud dari kedatangan pria yang terlihat kumal penampilannya tersebut.

Namun, semua pertanyaan itu sirna saat melihat pria bertampang lesu tersebut mendekati Widya, yang masih belum berhenti menangisi kematian putrinya. Arya melihat keduanya terlihat saling mengenal.

Mbak sudah waktunya kita pulang" walau berat, Erik terpaksa mengingatkan Widya untuk pulang. Mengingat jarum jam sudah menunjukkan angka di jam empat pagi. "Bentar lagi para penjaga akan datang." tambahnya memberi penjelasan. Dia tidak ingin mereka berdua tertangkap oleh para petugas keamanan.

Widya menarik nafas dalam-dalam. Dalam hatinya wanita itu mengakui kebenaran kata-kata yang disampaikan Erik. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, Widya harus segera meninggalkan tempat ini. Walaupun, dengan hati berat.

Tanpa bicara, Erik mengulurkan tangannya untuk menjadi pegangan bagi Widya yang terlihat goyah ketika berdiri. Dengan pelan keduanya pergi meninggalkan ruangan itu dengan perasaan sedih. Namun, hanya Widya yang hancur hatinya. Akhirnya dia harus meninggalkan putrinya itu untuk selamanya.

Tanpa keduanya ketahui, tak jauh dari mereka ada tatapan Arya yang juga menyimpan luka tak kalah dari Widya.

Sayangnya sampai kepergian mantan istrinya tersebut hilang di balik pintu, tak ada sedikitpun niat Arya menampakkan dirinya kehadapan Widya untuk meminta maaf karena telah memisahkan putrinya tersebut dengan ibu kandungnya.

***

Dari kejauhan di balik pohon besar, ditemani oleh Erik, Widya menyaksikan saat putrinya dimakamkan.
Miris sekali, disaat semua orang beramai-ramai menyaksikan acara pemakaman Vina, Widya yang merupakan ibu kandungnya, dilarang untuk mengantarkan putrinya itu ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Erik hanya bisa menarik nafas pelan, setiap kali melihat tetesan bening yang jatuh dari mata sembab Widya. Tak ada keberanian pria itu untuk menyuruh wanita yang telah menjadi penolong keluarganya tersebut untuk menghentikan tangisannya.

Dia mengerti. Tidak! lebih dari itu, Erik memahami kesedihan Widya. Sayangnya ia tak sanggup menolong wanita itu untuk membuatnya dapat menemui putrinya untuk terakhir kali dengan layak. Untuk pertamakalinya dalam hidupnya, Erik menyesali kemiskinannya.

Widya menyaksikan dengan jelas bagaimana prosesi pemakaman buah hatinya tersebut. Perasaan iri menyeruak di dadanya melihat bagaimana mantan suaminya itu dapat mengekpresikan kesedihannya atas kematian Vina. Disana Arya dapat bebas berteriak menjeritkan nama putrinya dengan pilu ketika peti mati Vina di jatuhkan ke dalam tanah, sedangkan dirinya hanya bisa diam-diam menangis sambil melihat dari kejauhan. Ada amarah yang membuatnya sesak melihat bagaimana banyaknya orang yang mencoba memberi penghiburan kepada mantan suaminya tersebut. Padahal ada dirinya yang lebih terluka. Yang seharusnya lebih dikasihani. Bukan Arya, pria yang memisahkan dirinya dengan Vina.

Untuk kesekian kalinya Arya selalu berhasil menghancurkannya.

Setelah menunggu lama bersembunyi di balik pohon, akhirnya usai sudah acara pemakaman Vina. Satu persatu orang-orang mulai meninggalkan pemakaman. Bahkan, Arya dan istrinya pun telah meninggalkan tempat tersebut dengan langkah gontai.

Saat itu malam hampir tiba. Awan gelap telah mulai menutupi terangnya langit. Keadaan di areal pemakaman sudah sangat sepi. Merasa sudah aman, dengan pelan Erik membantu Widya berjalan menuju gundukan tanah tempat putrinya disemayamkan.

Di sisa kekuatannya Widya berusaha untuk tidak membasahi makam putrinya dengan air matanya. Kali ini Widya tidak ingin menangis lagi. Cukup sudah! Widya ingin membiarkan putrinya itu pergi dengan tenang. Sedangkan Erik lebih memilih untuk menjauh membiarkan Widya sendiri.

Berdiri di samping kuburan Vina membuat Widya tak sanggup untuk menopang tubuhnya. Tanpa memedulikan pakaiannya, Widya memilih untuk duduk memeluk tanah kuburan putrinya tersebut. Dengan pelan dibaringkannya wajahnya ke tanah kuburan Vina. "Mama ikhlas melepasmu, sayang..." ucapnya pelan, "Mama pasti selalu merindukanmu," lanjutnya sambil mencoba tersenyum, walaupun lebih terlihat seperti tarikan bibir yang terluka.

"...Sampai jumpa. Tunggu mama disana."

Dan hanya desau angin dan pekatnya malam yang menjadi saksi ucapan salam perpisahan Widya dan Vina yang begitu singkat. Akhirnya, inilah akhir dari kisah ibu dan anak yang saling menyayangi tersebut.



Jembatan RasaWhere stories live. Discover now