Dua puluh satu

22.9K 2.4K 183
                                    

"Mas Erik," Widya mencoba memastikan bahwa pendengarannya tidak salah.

"Iya, mbak. Saya Erik, anaknya Bu Sumarni." Ucap Erik semakin memperjelas.

Mengetahui bahwa saat ini yang sedang menelponnya adalah Erik, pria baik yang dulu sering membantunya, membuat wajah Widya berganti sumringah. Hilang sudah rasa sakit di kepalanya. "Apa kabar, Mas? Bagaimana kabar Bapak, Ibu, sama Lita?" Tanya Widya antusias. Selama tiga bulan ini ia sama sekali tidak bisa menghubungi atau menemui keluarga tersebut. Rencananya begitu ia keluar dari rumah itu, Widya akan berkunjung menemui mereka, namun ternyata Erik sudah lebih dulu menghubunginya.

"Saya dan keluarga baik-baik saja. Kabar Mbak Widya bagaimana?"

"Saya juga baik-baik saja, Mas."

"Syukurlah kalau begitu."

Keduanya kembali hening. Baik Erik ataupun Widya bingung mau bicara apalagi. Tapi untuk memutuskan pembicaraan itu ada rasa tak rela di hati mereka.

"Mbak, saya udah dapat pekerjaan." Akhirnya Erik buka suara memecah keheningan di antara mereka.

"Syukurlah kalau begitu, Mas." Ucap Widya ikut senang. "Kalau boleh tahu pekerjaan apa, Mas?" Lanjutnya penasaran.

"Saya diterima di kantor pajak, Mbak."

"Bagus dong, Mas. Selamat ya Mas, saya ikut senang mendengarnya." Ucap Widya tulus dari lubuk hatinya.

"Terima kasih, Mbak."

Hening kembali.

"Mbak Widya ada waktu nggak, kalau saya ajak keluar jalan-jalan." Ada gugup dalam nada suara Erik.
"Saya mau gantian traktir mbak. Jangan takut, kali ini tidak makanan di pinggir jalan, mbak. Apalagi gorengan sama es dawet." Ucap Erik cepat disertai kekehan kecil. Ia tidak ingin mantan tetangganya itu menolak ajakannya karena khawatir ia akan membawa ke makanan di pinggir jalan.

Widya tertawa pelan mendengar ucapan Erik. Padahal ia tak masalah kemana Erik mengajaknya untuk makan. "Tapi saya cuma suka gorengan sama es dawet di pinggir jalan. Bagaimana itu, Mas?" Canda Widya. Perlahan kekakuan di antara mereka mulai mencair.

"Jangan dong, Mbak. Sekali-kali kita coba makanan lain. Biar bisa kita pamerin sama orang. Masa orang aja yang pamer sama kita selama ini."

"Ada-ada saja Mas Erik ini." Kekeh Widya geli.

"Jadi, bisakan Mbak kalau saya ajak jalan-jalan akhir pekan nanti?" Ragu-ragu Erik ingin memastikan bahwa ajakannya barusan tidak ditolak oleh Widya.

Widya berpikir sebentar. Ia pikir tidak ada salahnya untuk menerima ajakan Erik. Lagipula dia bisa menggunakan waktu cutinya kali ini. "Bisa, Mas. Tapi saya kabarin ya nanti waktunya kapan?" Posisinya sebagai pelayan tidak memungkinkan Widya keluar masuk rumah sesuka hatinya. Ada izin yang harus didapatnya.

Mendengar Widya tidak menolak ajakannya, membuat Erik senang bukan main. "Tentu saja, Mbak. Mbak bisa hubungin saya untuk beritahukan kapan bisanya. Ini nomor saya, tolong disimpan ya, Mbak,"

"Oke, Mas. Pasti saya akan kabari Mas Erik nanti." Janji Widya. "Kirim salam sama keluarga semua ya, Mas,"

"Iya, Mbak. Pasti akan saya sampaikan. Sampai jumpa akhir pekan nanti ya, Mbak." Ucap Erik sebelum mengakhiri pembicaraan mereka berdua. Tak sabar rasanya pria itu untuk menunggu akhir pekan agar dapat bertemu dengan wanita yang terus memenuhi pikirannya selama tiga bulan terakhir ini.

***

Sayangnya tak semua yang direncanakan manusia dapat terlaksanakan. Akhir pekan yang dijanjikan, terpaksa harus batal.

Jembatan RasaWhere stories live. Discover now