Dua

82 13 2
                                    

Atthaya Cristalin Satyayuga sedang menghadiri arisan ketika ia memutuskan menelepon anak semata wayangnya itu. Mendapati dirinya sedikit terkejut ketika putranya yang selalu menolak kuliah itu malah terdengar sedikit antusias.

"Mbak, gimana si Rajen?," tanya Bu Joko kepadanya setelah ia duduk kembali ke meja bundar yang biasa mereka gunakan untuk mengobrol.

"Udah di Universitas, kayaknya bakal masuk Sastra," jawabnya sambil menyesap teh hijau.

Perhatian teman-temannya beralih padanya seketika, dan dia cukup risih dengan tatapan ingin tahu para ibu-ibu itu.

"Kok Sastra sih mbak? Kalo mau lanjutin usaha Papanya kan harusnya dia ambil yang berhubungan sama bisnis gitu kan ya?"

"Iya mbak, ambil manajemen atau akuntansi gitu, atau yang bergengsi kayak Hubungan Internasional atau FISIP. Kan lebih keren."

"Setuju sama Jeng Arma, lulusan Sastra mau dikemanain kalo lulus."

Atthaya menaruh cangkir tehnya ke piring kecil dengan cukup kasar hingga mengeluarkan suara dentingan yang cukup membuat kelompok kecil itu terdiam dan menatapnya.

"Saya rasa ga penting ya Rajen mau ambil jurusan apa, lulus ga lulus dia akan ngelanjutin usaha Papanya, Rajen udah dididik sebagai pembisnis dari umur lima tahun, ibu-ibu sekalian. Kuliah hanya formalitas. Kalau ibu-ibu sekalian begitu khawatirnya, mungkin saya harus mengingatkan ibu-ibu lagi, kalau suami saya, Pranata Akshaye Satyayuga mempunyai jaringan perusahaan telekomunikasi terbesar kedua di Asia Tenggara. Saya permisi dulu ya, suami saya sudah menjemput di depan."

Atthaya menaruh gelas dan cangkir tehnya ke atas meja, lalu tersenyum tipis seraya mengambil tas tangannya.

****

"Sumpah ya Mas, masalah buat mereka kalau Rajen ambil jurusan sastra? Anak, anak aku. Malah mereka yang repot."

Pranata tersenyum sambil menyetir, bahkan setelah dua puluh tahun lebih mereka bersama, istrinya tidak pernah berubah, selalu cerewet seperti pertama kali mereka berjumpa.

"Kok tiba-tiba Rajen niat kuliah setelah kamu bujuk selama dua bulan? Pake milih jurusan pula."

Atthaya mengingat lagi percakapannya dengan putra semata wayangnya itu, lalu berdecak, "Ketemu temen baru kali, dia kan selalu gitu. Ikut-ikut temen dari dulu, kalo ga mikir dia punya otak encernya lebih encer daripada masker kebanyakan air, ga bakal aku izinin dia asal-asalan gitu."

"Bukan ketemu cewek?"

"Hmm, Rajendra? Tertarik sama cewek?," Atthaya tertawa lebar, "Kamu inget ga? Waktu kelulusan SMA dia dulu? Dia pacaran sama siapa itu? Anaknya manager di perusahaan kamu?"

"Anaknya Januardi bukan sih?"

"Iya, itu, aku lupa siapa namanya. Waktu speech di depan tentang luar angkasa, dia ada pertanyaan pilih pacarnya sekarang atau jelajah angkasa. Kamu inget ga jawaban dia? 'Itu bukan pertanyaan, karena sudah ada jawaban. Tentu saja Planet dan kawan-kawannya lebih penting daripada pacar saya.' dan dia diputusin."

Pranata tersenyum ketika mengingat kejadian itu, "Iya aku inget."

"Nah, segitu ga mungkinnya Rajen naksir cewek. Mungkin dia bakal nyari alien dulu buat dinikahin. Ga habis pikir aku."

"Selera anak kamu gamungkin biasa, sayang. Rajen kan selalu milih yang aneh-aneh, sesuatu yang bikin orang kaget. Tapi itu kelebihan dia kan."

Atthaya tersenyum bangga, "Iya, dia beda dari yang lain. Tapi aku tetep ga yakin dia masuk sastra karena cewek. Pasti karena ketemu temen yang sevisi dan misi sama dia."

"Mungkin, Atthaya, dia udah ketemu cewek yang lebihmenarik daripada ruang angkasa dan alien."    

Segenggam Dunia untuk SaniDonde viven las historias. Descúbrelo ahora