Tiga

77 10 2
                                    

"San, ini ada titipan Mam Yema, katanya makasih udah bantuin dia edit laporan penelitian."

Rajendra menoleh ketika nama Sani dipanggil, sementara Dekan Fakultas Sastra sibuk memeriksa berkas-berkasnya untuk diberikan ke Ka. Prodi Sastra Inggris.

Sani tersenyum lebar sambil mengambil amplop yang ia yakin isinya uang, "Sama-sama, bilangin kalo ada lagi, calling calling aja ya."

Rajendra tersenyum kecil, melihat ekspresi Sani yang bahagia seraya gadis itu memasukkan amplop tersebut ke tasnya. Ia kembali menoleh ke Mam Mila yang telah selesai memeriksa semua berkas-berkasnya.

"Tadi, asisten mama kamu udah nelepon saya, Rajendra. Katanya ini mendadak, harusnya kamu masuk Manajemen, kan?"

Rajendra mengangguk, "Emang disiapinnya ke Manajemen, Mam."

"Kenapa tiba-tiba ke Sastra?"

"Gapapa, Manajemen itu pilihan Mama saya, Mam. Saya pikir, saya harus masuk jurusan yang saya mau. Makanya saya milih Sastra."

Mam Mila menatapnya dengan tatapan menyelidiki, beberapa detik kemudian ia mengangguk, "Berkasnya akan saya drop ke Mam Meri, ruangannya di sebelah ruangan saya. Dia Ka. Prodi sekaligus dosen PA kamu nanti. Untuk urusan KRS dan sebagainya, kamu bisa hubungin dia ya."

Rajendra mengangguk, "Baik mam."

****

Sani akan 'nongkrong' di ruang dosen Sastra selama yang ia bisa. Karena ruangannya dingin, wifinya kencang, dan selalu ada makanan atau cemilan yang bisa ia makan sambil melanjutkan drama korea atau cina atau barat yang sedang ia tonton.

"Duh greget, harusnya Sabrina nulis aja. I mean siapa sih yang gamau dapet kekuatan gitu. Walau bayarannya gabakal masuk surga sih," ocehnya sendiri.

"Dia sayang temen-temen manusianya itu."

Sani mengangguk, "Kelewat sayang, kalo menurut gue sih ya, harusnya kasih tau aja, kalo mereka ga terima ya berarti mereka bukan temen sejatinya dia," Sani menoleh ketika ia sadar kalau suara itu suara si mahasiswa baru.

"Lo nonton Sabrina juga?," tanya Sani.

"Udah selesai, salah satu genre series netflix yang gue suka soalnya. Lo sekedar ikut tren atau suka beneran nih?"

"Suka beneran lah, di dunia ini ya, cuma Fantasia yang bakal ngerti kenapa selera gua dark banget kayak gini. Penyihir lah, deep web lah, itu semua cool gitu. Gatau kenapa."

Rajendra mengangguk-angguk, "Dark, berarti lo pasti suka Adams Family?"

"Banget!," jawab Sani antusias, "Mau dibikin animasinya kan? Gue berharap banget bakal banyak filmnya, taunya cuma dua doang. Tapi cukup seneng waktu baca berita mau dibikin animasinya. Kangen Wednesday, Wednesday is my everyday mood."

"Waktu dia ikut kemah, parah sih, itu film juga angkat cerita asli Indian sebagai orang asli Amerika kan. Parah kerennya."

"Iya, pokoknya itu film dengan dark sense of humor dan gue suka banget. Jarang-jarang ketemu film lama yang walau editan atau properti seadanya pada jamannya bisa sekeren film itu."

Rajendra mengangguk sambil tersenyum, "By the way sekarang udah jam makan siang, lo udah makan siang?"

Sani menjawab sambil mencabut earphonenya dari soket handphone, "Kenapa? Mau traktir? Kalo nanya doang gausah, malesin."

Rajendra nyengir, "Gue traktir, mau?"

Sani menoleh menatap Rajendra, "Mau lah, gila ya nolak rejeki. Tapi, dalam rangka apaan lo traktir gue? Kenal juga barusan?"

"Karena lo udah resmi jadi temen gue, dan elo udah bantu gue nyari dekan sastra. Gimana? Patut dirayakan ga?"

Sani tersenyum, "Ok hai teman."

"Lo mau makan apa?," tanya Rajendra sambil mereka berjalan keluar dari ruang dosen sastra.

Sani nampak berpikir, "Apa ya? Budget lo berapa? Kalo sebatas sepuluh ribu, ayam geprek depan kampus kita itu juara banget. Murah, enak, dan gue bisa request keriyuk ayamnya seenak jidat gue."

"Selain ayam goreng, ada apa?"

"Lo sukanya apa?"

Kayaknya elo. "Bakso? Gue udah lama ga makan bakso, lo tau bakso yang enak?"

Sani mengangguk, "Baksonya Mas Nunggal, bakso terenak se-area ini," Sani tertawa kecil lalu melanjutkan, "Tapi enak, disana ada tetelannya banyak banget. Terus, Masnya ga pelit bulet-buletin bakso. Jadinya baksonya gede gede, lo suka bakso urat atau bakso telor?"

"Lo sukanya apa?"

"Kalo gue mah suka semuanya!," tawa Sani.

Rajendra tersenyum melihat Sani yang begitu hiperaktifdan cerewet walau mereka baru bertemu, seorang gadis yang biasa-biasa saja, apaadanya, dan selalu mengatakan apa yang ada di pikirannya. Menurut Rajendra,seperti itu.    

Segenggam Dunia untuk SaniWhere stories live. Discover now