02: Offer

3.1K 419 51
                                    

Gelap mulai terusik cahaya ketika mataku mengerjap bersama tendensi paksa. Berawal buram total, samar-samar kemudian semua lebih nampak jelas. Dinding berwarna keabu-abuan diterpa sinar lampu, beberapa figura, jam dinding, lemari setinggi pinggang, dan semua kelewat asing; aku tidak mengenal tempat ini.

Dengan penuh tuntutan, kuingat kembali kejadian sebelum aku terjerembab di entah punya siapa. Rangkaian demi rangkaian tersusun di mulai aku berlari kesetanan menuju sebuah gedung tak terpakai, naik sampai ke atap dibarengi gelora ingin menyudahi, dan sesosok bergurat cerah dengan pistol di tangan. Ah, aku ingat. Aku tertembak dan terlalap kegelapan.

"Sudah sadar?"

Dan mungkin pemuda itu yang memboyongku ke sini.

Presensi penuh senyumnya menyapa rongga penglihatan. Mendadak aku kecewa, karena tidak mudah mendapatkan mati seperti kebanyakan orang yang berniatan sama sepertiku.

"Padahal aku pilih melompat," Aku bergumam.

Bahunya naik-turun, dia memiliki warna tawa yang beragam sekali seperti anak kecil. "Maaf, aku hanya mencegahmu untuk mengalami kondisi hidup tapi seakan mati. Maksudku, tersedia dua kemungkinan kalau kamu melompat. Pertama, langsung mengantarkanmu kepada mati. Kedua, kamu hanya sekarat dengan cidera parah yang bakal membuatmu cacat dan tersiksa sepanjang waktu. Lebih efisien ditembak, 'kan? Peluru dapat berulang kali dilepaskan sampai nyawamu betulan lenyap."

"Faktanya, aku masih hidup."

"Karena aku tak mau menyia-nyiakan persediaan peluruku. Sini, minum dulu." Dia menyodorkan segelas air. Aku sedikit bangkit dibantu olehnya, lalu segera meraih.

"Terima kasih." Air tersebut kutegak tiga kali. Tidak berefek, kerongkonganku masih sama tercekatnya. "Sekarang, biarkan aku mati," pintaku dingin.

"Di saat tahu kamu begitu paranoid hanya mendengar dan terserempet peluru dari sebuah pistol, mana mungkin aku gampang berkata silakan." Resonasi ramah di suara itu terselubung mutlak, menuntut dan mengintimidasi. Dia tersenyum. "Begini saja. Sebagai kompensasi karena telah melukai bahumu, aku akan memberimu berbagai alasan untuk menjadi pegangan supaya kamu tetap hidup. Bagaimana, kamu setuju?"

Maksudku memandang manik hangatnya sebegitu dalam adalah mengulik seberapa besar lelucon yang ia siapkan seorang aku yang jelas-jelas sudah meluncuti keinginan melanjuti coretan tinta kehidupan. Namun, sialan, sisi hatiku mencelos karena iris itu memancarkan banyak sirat elusif, yang berhasil kukenali hanyalah keyakinan dan keseriusan.

Sambil menggigir bibit, aku menurunkan pandangan, menyeretnya tepat di bahu kananku yang sedikit menggajal. Mungkin sudah diobati, terbukti baju biruku yang harusnya lembab sudah terganti kaos hijau lumut kebesaran. Dan serius, aku lebih penasaran bagaimana reaksinya ketika melihat bekas luka di sekujur tubuhku ketimbang merasa terlecehkan.

"Aku ... aku tidak yakin. Aku lelah. Aku sudah kehilangan begitu banyak," desisku parau.

"Cukup dengan menerima kompensasimu, maka kamu akan mendapat kembali bagiamu yang hilang," Dia memungkas. "Atau mesti kupaksa? Ya, jika kamu menolak pun, aku tetap akan memaksa."

Aku terpekur tidak punya jawaban dalam gema tawanya. Di saat orang terdekat terkesan menyingkirkan, orang asing ini mengapa begitu repot-repot peduli? Aku bahkan belum tahu namanya. Akan tetapi, ini aneh. Terdapat gelenyar mengusik ketika dapat melihat dia dengan jelas. Semakin kutelisik, semakin akrab pula figuranya.

"... Jung Hoseok?"

Ah, bagaimana bisa lupa dengan sosok yang membuatku menghabiskan masa menengah pertama dengan penuh kecemburuan?

"Oh. Padahal aku belum memperkenalkan diri. Dari mana kamu tahu?" Matanya spontan membulat dan bibirnya tertekuk ke bawah.

Jung Hoseok, sosok yang selalu menebar kebaikan bersama senyum hangatnya. Membangun banyak relasi, bahkan dengan para guru. Konyol dan mudah tertawa bersama karib kentalnya di taman dekat gedung lama sekolah. Kehidupannya seolah tidak dititi oleh setitik beban, membuatku otakku selalu terjejal namanya. Sesak penuh kecemburuan. Namun, astaga, mengingat entitasnya sewaktu jiwaku jatuh saja sudah memperoleh sejumput harapan; semoga suatu saat aku dapat tersenyum sepertinya.

Rutinitasku selain belajar dan dirundung, juga mengamati Jung Hoseok. Kami memang berbeda kelas, tetapi eksistensi dia terkecap di mana-mana. Rupanya, secara tak langsung, dia telah menjadi baraku.

"Menengah Pertama Hwayangyeonhwa, aku juga sekolah di sana."

Lagi-lagi, Hoseok membeliak. "Woah," desahnya nampak antusias. "Siapa namamu?"

"Song Miyoo."

"Wow, ... kamu rupanya!"

Aku mendikte sangsi, "Kamu tahu?"

"Ah—" Dia tersenyum, mengagguk pasti lalu berubah menggeleng. "Tidak, maaf." Dia tersenyum semringah. Bukan masalah. Sebab, akan kelewat esentrik kalau dia menjawab iya, baik di konotasi bohong ataupun serius. "Tapi setidaknya kita satu almamater. Jadi, kupikir ini akan menjadi mudah. Hanya meneruskannya. Iya, 'kan?"

Aku mengerjap lambat tanpa minat menjawab.

"Katakan alamatmu, aku akan mengantarmu pulang," Hoseok kembali angkat bicara. Beringsut berdiri sembari memasukkan tangan di saku. "Kupastikan kita akan berjumpa setiap hari."

"Jika mati adalah opsi yang paling ingin kulakukan, maka pulang adalah opsi yang paling aku hindari." Aku bernapas payah. Susah payah keluar dari neraka, malah menghampirinya lagi? Bertemu dengan makhluk bajingan berkedok ayah pengganti yang sepanjang hidupnya hanya terobsesi menelanjangiku? Tidak, aku tidak akan pulang. Ibu? Mungkin dia justru senang.

Tidak ada alasan untuk pulang.

Hoseok menghela lalu tersenyum, lagi, lagi dan lagi. "Baiklah. Tinggallah di sini," imbuhnya.

"Tapi orang tuamu?"

"Empat bulan lalu Ayahku di mutasi ke Daegu, tapi aku menolak ikut dengannya. Ingat pistol yang kugunakan? Itu milik Ayah. Dan Ibu, ya, sejak umurku tepat sepuluh tahun, aku tak lagi mendengar kabarnya. Entah di mana Ibuku itu." Hoseok mengedik ringan. "Jadi, aku tinggal sendirian di sini. Eh, tidak juga. Seluruh penghuni unit apartemen ini adalah keluargaku, termasuk kamu mulai sekarang."

Bibirku sekonyong-konyong kelu. Rupanya banyak kesalahpaman yang kutemukan. Apalagi di bagian Hoseok menyinggung sedikit tentang ibunya. Kalau di umur sepuluh tahun, maka Jung Hoseok telah punya masalah ketika kami satu sekolah. Namun, hebatnya kecerahan Hoseok menampiknya.

Benar. Jung Hoseok hebat.

"Cukup dengan mengobrol, karena kamu harus istirahat." Hoseok mendorong pelan agar aku berbaring kemudian menutupi tubuhku selimut abu-abunya. "Tidurlah. Kubangunkan apabila makanannya sudah siap."

"Hoseok," panggilku lirih. Sebelah alis Hoseok mengernyit. "Jika aku tidak sanggup lagi, boleh aku berhenti?"

Senyum hangatnya lekas tersemat. "Tidak, sampai kamu punya banyak alasan untuk hidup." Dia menyentuh puncak kepalaku. "Dan sampai pulang menjadi opsi yang paling ingin kamu lakukan."

Aku mengigit bibir guna menahan sesuatu di dalam mataku yang hendak merembes.

Padahal aku hanya orang asing.[*]

Reasons for LifeWhere stories live. Discover now