07: Sick

1.6K 303 14
                                    

Tidak tidur semalaman bukanlah masalah besar. Entah tidak bisa tidur atau tidak dipersilakan tidur, dua-duanya bukan masalah karena aku terbiasa. Namun, kali ini berbeda dan aku tidak meributkan betapa masalah itu mampir ketika kantuk memang tak bertekad di mataku.

Tadi malam—ah, bukan. Aku harus menyebut apa ketika pukul sudah menunjukkan tiga dini hari?-aku dibuat ketar-ketir dan nyaris jatuh karena memburu dua handuk bergelantung di penjemur untuk membekap Jung Hoseok yang basah kuyup di balik pintu. Badan gemetar antara terengah dan kedinginan, serta bibir membiru.

Hujan memang kerap menyumbang presensi baru-baru ini, dan terhitung empat kali kutemukan Hoseok di keadaan demikian. Sengaja menjebak diri di kungkungan hujan bersama alibi karena menyukainya, kendati yang terakhir ini berbeda. Aku variabelnya. Karena aku sendirian di rumah. Alasan Hoseok anteng meninggalkanku di The Truth Untold, sebab di sana aku punya pengawas tak langsung yang terus mengontrol segala macam kegiatanku.

Kemarin Hoseok terlalu sibuk berkutat di Bulletproof bersama enam karibnya. Sebenarnya aku berniat menunggu, tetapi Hoseok serta-merta menolak, "Urusan kami memerlukan waktu panjang supaya dapat tuntas," katanya. Tadi Haeyoung menawar diri guna menemani kalau aku masih gigih menunggui. Akan tetapi, Hoseok menolak dan aku pun berkeputusan sama.Tentu aku tidak mau, itu lebih merepotkannya. Alhasil, pulang adalah satu-satunya pilihan, pun memaksa menunggu Hoseok hanya akan membikin ia tidak fokus.

Hoseok juga berujar, dia percaya padaku. Percaya aku tidak bermain lagi dengan mati di belakangnya. Namun, persis di kala kepala basah Hoseok jatuh lemas di pundakku, ia berbisik khawatir, "Ternyata aku belum bisa." Dan ditutup oleh desau napas terembus parau. Sehingga timbullah korelasi berakhirnya Hoseok di kasur bersama pakaian dan selimut tebal.

Jung Hoseok demam.

Jadi, yang kulakukan sedari mengetahui hal tersebut adalah berusaha menetralisirkan suhu tubuhnya. Sadar tidak sadar, tahu-tahu matahari telah menjuntai di angkasa. Bercak sinarnya menelusuk congkak melalui pori-pori tirai jendela kamar Hoseok. Waktu memang begitu, terkadang seperti helaan angin, terkadang juga seperti kura-kura. Segera kuperiksa kembali suhu tubuh Hoseok. Aku menghela lega, syukurlah. Tinggal tunggu beberapa waktu, dia kembali.

Kala aku beranjak guna menyibak tirai serta jendela kamar, seberkas ide terlintas. Daripada berdiam lebih lama, lebih bagus aku membuatkan Hoseok samgyetang biar ketika bangun, Hoseok bisa lekas memakannya dan minum vitamin. Tanpa banyak pertimbangan aku setuju atas gagasan tersebut. Ke Rumah Sakit? Hoseok menentang mentah-mentah.

Aku bergegas menuju dapur. Walaupun laki-laki sering distigmai malas membikin gizi untuk diri sendiri, Hoseok punya persediaan pangan yang cukup, malah kupikir lebih bagus dipandang jika dibandingi dengan persediaan di neraka itu. Menyedihkan, sangat. Aku tersenyum kecil secara implusif. Ayam, gingseng, jahe, bawang putih, jujube, semua bahan-bahannya telah terkumpul sempurna.

"Mari mulai."

Kemampuan masakku memang tidak seberapa dibanding Hoseok, tetapi aku juga bukan amatiran. Aku pernah menciptakan samgyetang bagi diriku sendiri atas dasar harapan tidak hanya fisik, psikisku juga ikut membaik. Kelewat konyol, bukan? Padahal, dipikir sekilas saja sudah mengantongi kemustahilan. Terlepas dari itu, soal rasa aku berani jamin, meski aku pribadi pun masih skeptis.

Butuh lebih dari tiga puluh menit buatku menghasilkan semangkuk samgyetang yang mengepulkan asap sekaligus menyebarkan bau menggugah selera ke setiap rongga pernapasanku. Kusematkan lengkungan puas di bibir. Ini ke sekian kali aku berhasil mengimplementasikan alasan nomor dua puluh. Namun, ini pertama kali, aku merasa ringan dan kau tahu, seumur-umur rasa yang tak sudi menyapa hatiku kini singgah. Suka cita. Menyeruak lambat, tapi mampu menendang lelah dari singgasana teratas.

Reasons for LifeWhere stories live. Discover now