05: Dancing

1.8K 346 24
                                    

Sekarang kunjungan keempatku ke studio milik Kim Seokjin anggota tertua yang rupanya merangkup pemilik bangunan di sebelahnya. Kafe The Truth Untold atau disingkat TTU dan dibaca titiyu. Tidak tahu makna sebenarnya. Namun, menurut hematku, dari segi rasa dari menu tersedia. Saking enaknya tidak dapat diungkapkan, mungkin. Karena lihat saja, The Truth Untold cukup menjadi pilihan daun muda yang hendak menghabiskan waktu, baik hanya nongkrong, betulan suka cita rasa menunya, atau sekadar gaya-gayaan.

Di kunjungan pertama, aku telah yakin Jung Hoseok punya karib yang idionsinkarsinya unik. Mudah akrab, bersahabat, penuh jenaka, dan hangat.

Jika dijabarkan secara terpisah, maka Kim Seokjin punya segudang kepercayaan diri, cinta diri sendiri, dan hobi melontarkan lelucon garing. Min Yoongi, kendati dia kaku dan terkesan apastis, tidak menampik bahwa dia memiliki karakter yang telah kusebutkan. Kim Namjoon, dia cerdas seperti Yoongi, bijak, punya jiwa kepemimpinan kuat. Park Jimin, anak ini, aku sangsi kalau dia tidak membenarkan bahwa dia keturunan malaikat. Kim Taehyung, si tampan ini definisi dari atraktif. Dan Jeon Jungkook, anak ini nampak menggemaskan dan dewasa di satu waktu. Namun, tiga nama terbawah kusebutkan kerap kali beradu mulut, walaupun detik lanjut mereka kembali saling menyayangi.

Apa aku terlihat pandai menilai lagi? Atau sok tahu? Ya, terserahlah. Mengetahui studio ini serta mereka juga tidak ada ruginya.

Kala ini, aku berdiri di belakang pinggiran atap studio, menatapi kawanan burung terbang bebas di hamparan biru selimut bumi. Tidak, tidak seperti yang kamu pikirkan. Sekarang, aku hanya menunggu Hoseok yang sedang melaksanakan rapat di lantai tiga bersama enam karibnya. Kurang akurat rapat macam apa, karena yang mereka lakukan di sini sangat beragam.

Sekali kuberanikan diri bertanya ke Seokjin pasal bergerak di bidang apa studio Bulletproof, dan dia menjawab, "Bulletproof itu studio multifungsi, Miyoo. Kamu dapat lakukan apa saja. Mau bermain game atau membuat desain grafis, melukis, bermusik, bahkan menari." Sehingga benang merah yang kutarik, alih-alih studio, Bulletproof ialah taman bermain. Termasuk bagi mereka dan Hoseok sendiri. Sejauh ingatanku, ketujuh pemuda itu tergabung dalam satu tim, kalau tidak salah mereka menyebutnya BTS.

Seiring embusan angin menampar sekujur badan, aku memejamkan mata guna terfokus pada gema lagu yang Hoseok setel di mode berulang dengan volume besar ketika kami tengah bersih-bersih tadi pagi. Alunan tersebut enggan hilang, malah makin terasa begitu nyata tatkala kuikuti bersama senandung. Sampai tanpa sadar, sekujur badanku mulai bergerak, meliuk sesuai dengan koreografi dari lagu yang sudah kukuasai sebelumnya.

Jauh sebelum speaker dan ponselku dimusnahkan lelaki bajingan milik Ibu, menari adalah salah satu pelampiasan untuk bangkitnya bara hidupku. Tiap gerakan tercipta menyulutkan stimulus agar menjamin napasku masih lancar dalam satu jam ke depan. Apa pun jenis musik, aku mengiringinya dengan menari. Aku suka musik dan aku suka menari. Namun, setelah dua orang itu merampas semua milikku, bahkan lebih setengah oksigenku, dua kesukaanku itu tidak bernilai lagi. Semacam, tak berguna meski kucokoli hingga persendianku kebas.

Aku tak kecewa pada musik, tidak juga menari, karena beranjak pergi padahal sudah kunobati sebagai penawar. Bagiku, mereka hanya dituntut keadaan untuk segera enyah.

Akan tetapi, lihatlah. Mereka bertandang kembali di kehidupanku. Ketika kaki-kakiku berketuk lalu saling menyilang, tangan-tanganku menjulur kemudian tertekuk, dan badanku berputar lalu berputar lagi, tiap sentinya seperti tercambuk gelora api. Membikin sekujur eksistensiku ringan dengan menyenangkan. Ritme gerakanku semakin memuncak seiring volume senandung tak beratikulasi ciptaan kerongkonganku membesar.

Ketika atensiku melintasi arah pintu keluar-masuk atap, sekonyong-konyong aku stagnan di tempat. Tarianku lenyap secara implusif oleh sosok yang memakukan irisnya terhadapku. Aku lantas berdeham lalu menelan saliva. Lupa kalau sebelum ke atap, aku meninggalkan kertas kuning berukuran kecil di atas kotak pizza dengan kalimat, "Jika Bulletproof punya atap, maka aku sedang di sana."

Salah tingkah, ya, tentu, itu aku sekarang.

Sosok yang tidak lain adalah Jung Hoseok merogoh sebuah benda seukuran saku. Jari panjangnya menari gesit di atas layar, dan tak sampai beberapa sekon, senandung Youth dari Troye Sivan terdengar. Lagu yang tadi kujiwai lewat tarian. Tahu apa yang terjadi setelah Hoseok berlari mengikis jarak kami?

Dia menyambung tepat di gerakanku yang terhenti. Seraya meliuk dengan kesempurnaan, Hoseok menginstruksi supaya aku ikut mengalir bersamanya. Awalnya aku mengernyit bingung sekaligus serba salah, tetapi lambat-laun aku terbiasa dan berakhir menikmatinya.

Ini gila, ini luar biasa, ini mengagumkan, ini semangat hidupku. Tanpa sadar, aku terus mengulas senyum puas hingga melodi Youth itu lenyap di pendengaran. Arkian, Hoseok meluruh duduk ke bawah, sementara aku memangku tangan di atas lutut.

"Nomor dua puluh sembilan, Menari Bersama Jung Hoseok," celetuk Hoseok di sela-sela mengatur napas.

Aku mengangguk spontan kemudian entah mengapa Hoseok dan aku malah tertawa bersama.

Sungguh, gejolak itu tak mampu kutahan. Baru pertama kali kurasakan perutku mendadak berubah menjadi sarang ribuan kupu-kupu. Gelenyarnya geli, tapi kaya adiksi. Gila. Gila. Gila. Masih dengan tawa, kujatuhkan bokongku ke lantai lalu memandang Hoseok yang sudah berganti tawanya oleh senyuman penuh enigma.

Lantas tawaku meredam. Aku meneleng bersama air muka bingung. "Kenapa?"

"Senyummu cantik, tawamu indah. Jadi, jangan disembunyikan. Bila perlu tambahkan di jurnal alasanmu." Hoseok mengambil sedikit jeda sekadar mengulik sesuatu di manikku. "Nomor tiga puluh, Tersenyum dan Tertawa untuk Jung Hoseok."[*]

Familiar ngga? Ngoohoo-hoo. H-5 yha :v

Reasons for LifeWhere stories live. Discover now