Note 14 : Night At Park

231 40 5
                                    

Untuk kesekian kalinya aku menatap jam tangan yang melingkar di pergelanganku. Pukul delapan tepat, tapi sesungguhnya ini sudah lewat 15 menit dari waktu pertemuan kami di taman untuk menyelesaikan masalah Michiru dan Araki. Gadis yang baru saja kusebut datang pukul setengah tujuh karena dia ingin bersiap sebelum melakukan penyelidikan, lalu Araki terlambat 5 menit, sedangkan Amuro belum menunjukkan batang hidungnya sampai sekarang. Michiru yang duduk di sampingku sudah mulai menggerutu tak jelas, pasalnya Amuro belum datang jadi kami belum bisa memulai penyelidikan kami.

“Aku kira dia akan bersemangat karena kita akan berburu hantu, tapi kenapa dia malah terlambat?” gumam Michiru menyinggung Amuro.

“Entahlah ... di mana temanmu itu, Natsume-san?”

Aku yang tidak tahu pun hanya menaikkan bahu untuk menjawab Araki. Memang benar rumah Nenek dan rumah Amuro itu dekat, tapi aku tidak menemukannya di rumah saat aku menghampirinya. Padahal kami pulang makan ramen bersama-sama, tapi kemana dia pergi sekarang?

“Ah! Maaf membuat kalian menunggu!”

Seruan bernada berat terdengar dari kejauhan, dan syukurlah itu dari orang yang kuharapkan. Amuro berlari ke arah kami dengan tangan mengudarakan sebuah kertas. Aku yang duduk di kursi taman langsung berdiri begitu dia mendekat, menyambutnya dengan pertanyaan, ”Kau dari mana?”

Amuro terenggah-engah mengerem laju larinya dan berhenti tepat di depanku. Napasnya yang memburu itu membuatku itu membuatku mengerutkan dahi memandangnya. Kenapa dia harus berlari? Kami juga menunggunya dengan sabar kok.

Hahhah … aku menemui Hinako lebih dahulu dan mencari beberapa dokumenku yang kuberikan padanya. Aku memberikan beberapa artikel untuk Hinako, dan itu mengenai taman ini jadi aku harus meminjamnya,” jawabnya cepat lalu kertas yang ada di tangannya dihantamkan di dadaku yang terbalut jaket tebal.

Kertas yang diberikannya padaku kemudian direbut Michiru dengan kasar. Gadis itu nampak masih kesal karena Amuro terlambat, terlihat dari mood-nya yang tidak ada bagus-bagusnya sekarang. “Apa yang begitu menyita waktumu hingga terlambat begini?” tanyanya sinis dengan mata melirik kertas itu.

“Artikel! Artikel tentang hantu wanita dengan kereta bayi di taman ini!”

Araki, yang mendengar topik baru tentang hantu, melangkah mundur dan berseru dengan suaranya yang gemetar. “Ap-apa-apaan ini? Kenapa kita jadi membahas hantu?”

“Seorang teman kami yang juga pemain dapat menghilangkan angka hitung mundurnya dengan bantuan sesosok arwah. Kami pikir ini juga berlaku padamu, jadi kita akan memburu arwah dan kalau kita beruntung, kita bisa minta bantuannya untuk menemukan Si Badut, Araki-san,” terangku menenangkan Araki yang membuat wajah pias. “Atau sebenarnya kau takut hantu?”

“Hah!? Takut? Kau pasti bercanda! Aku hanya bertanya begitu karena kalian membahas topik yang tidak masuk akal sekarang!”

“Memang begitu! Sejak awal masalah ini memang sudah tidak masuk akal, jadi jangan heran kami membicarakan hantu, kutukan, dan hal aneh lain, Araki-kun!”

Ekhem, bisakah kalian berhenti ribut?” Tiba-tiba Michiru menyela keributan Araki dan Amuro dengan nada datarnya. “Kenapa kita tidak memulai penyelidikan sekarang? Akan lebih baik kalau kita bisa menemukan petunjuk lebih cepat.”

Itu benar, aku langsung setuju dengan Michiru. Amuro menghela napas dan menggaruk rambut polemnya yang tersisir rapi. “Baiklah kalau begitu, kita akan berpasangan dan berpencar. Berkumpul kembali pukul 10 dan berikan sinyal dengan kedipan sinar senter jika ada apa-apa. Ayo pergi!”

Akhirnya aku bersama Araki menyusuri bagian kiri taman kota, sedangkan Amuro dan Michiru pergi ke daerah kanan taman. Ketika kami mulai berjalan, aku menyadari kalau Araki membawa sesuatu di balik badannya tapi dia tidak mengatakan apapun.

“Araki-san, apa yang kau bawa di punggungmu?”

Araki menunjukkan tas panjang yang sedari tadi melilit punggungnya, lalu dia menunjukkan sedikit bagian dari benda panjang itu. “Ini shinai, pedang kendo-ku. Aku selalu membawanya untuk berjaga. Jarang berguna betulan sih, tapi orang akan langsung kesakitan jika dipukul dengan ini.”

Aku mengangguk-angguk mengerti bahwa dia hanya ingin melindungi dari. Orang yang memiliki shinai tentu orang yang pernah belajar kendo, dan aku tidak perlu bertanya pada Araki karena dia terlihat kekar begitu.

Setelah membicarakan soal shinai, kami tidak membicarakan apapun karena aku fokus pada jalanan yang kusinari dengan senter. Aku tidak akan melewatkan apapun demi menyelesaikan masalah kali ini, sekaligus bertekad sukses menolong Araki yang waktunya hanya tersisa 10 hari.

Kami tiba di ujung bagian kiri taman ini, tempat di mana terdapat danau kecil yang memberikan pemandangan apik di siang hari, mungkin. Selain ada danau, di sini ada pos penjaga, sayangnya pintunya terkunci dan lampunya mati jadi kupikir tidak ada penjaga yang ada di dalamnya. Aku menyapu pandang keadaan sekitar dengan senter dan menemukan torii di tengah danau ini.

“Kenapa ada torii di sana?”

“Untuk menyucikan danau ini.”

Gumamanku disambut oleh Araki begitu saja. Aku menoleh ke arahnya sementara Araki masih memandang torii di tengah danau itu. “Memangnya apa yang terjadi dengan danau ini?”

“Dulu danau ini punya kenangan kelam, aku tidak tahu hal yang seperti apa yang sudah terjadi di sini karena aku hanya tahu sedikit dari kakekku. Aku hanya tahu kalau torii itu digunakan sebagai penyucian kenangan kelam danau ini dan supaya taman ini aman dari roh jahat.”

Yah, dikatakan aman dari roh jahat tidak benar juga karena kenyataannya kami berakhir di tempat ini untuk mencari hantu. Aku menyinari tempat lain dan menemukan objek aneh di pojok taman.

Sebuah … kereta bayi?

Keberadaan benda yang tidak wajar pada malam-malam seperti ini mulai mengusikku. Aku mendekatinya dengan perlahan memastikan tidak ada objek aneh lain yang muncul secara tiba-tiba. Kereta bayi itu cukup kotor dan kusam serta berbau tidak enak. Di dalamnya untungnya tidak ada bayi horror yang kubayangkan akan memberiku efek serangan jantung mendadak.

“Anu … Natsume-san, bisa kau sinari tempat itu?”

Tiba-tiba Araki memanggilku hingga membuatku berbalik. Matanya menyipit dan jarinya menunjuk sesuatu yang ada di danau. Seketika telapak tanganku mulai memberikan sinyal bahaya, rasa nyeri itu muncul saat-saat begini.

Ack … kenapa leherku jadi sakit?” Aku melihat Araki memegang lehernya, jadi aku benar bahwa kami dalam posisi serius. Aku buru-buru menyinari bagian yang ditunjuknya tadi, lalu apa yang kulihat membuatku tersentak bukan main.

Di mana … bayiku …?”

Itu arwah wanita yang disinggung Amuro, dan dia melayang menuju kemari. Aku langsung menyorot kereta bayi itu tergesa-gesa, dan menarik tangan Araki untuk segera berlari.

“Araki, ayo kita pergi dari sini!”

“Ke-kenapa?”

“Kereta bayi itu membawa petaka! Ayo kita lari dari sini!”

*****

Kendo : seni bela diri jepang yang menggunakan pedang kayu (shinai) dalam prakteknya
Torii : gerbang tradisional Jepang yang menunjukkan kesucian dalam agama Shinto

Hide and SeekWhere stories live. Discover now