Note 15 : The Pregnant Girl

223 35 6
                                    

Aku masih berlari bersama Araki menjauhi arwah wanita itu sekuat tenaga, berharap dia tidak mengejar kami lebih lama lagi. Araki sesekali berteriak dengan suara tertahan, sedangkan aku mencoba memberi sinyal bahaya pada Amuro dan Michiru di bagian kanan taman kota ini dengan mengedip-ngedipkan senterku di langit. Di sini tidak ada tempat persembunyian apapun, jadi kami hanya bisa terus berlari hingga keluar dari taman ini.

Aku menyempatkan untuk menoleh ke belakang, dan arwah wanita itu mengejar kami dengan tangan berusaha meraih-raih kami yang sedang berlari. Perutnya yang buncit besar itu memantul ke sana-kemari, entah apa isinya. Aku tidak mau melihat isinya bahkan jika itu memang hamil normal sekali pun! Apa yang kupikirkan adalah menjauh darinya dengan selamat!

"Natsume kita harus apa!?"

"Jangan berhenti sekarang! Kita semua harus keluar dari tempat ini secepatnya!" balasku dengan seruan pada Araki yang sudah pucat nan letih wajahnya karena keringat yang mengguyur basah rupa itu.

Rasa nyeri yang menyerang telapak tanganku masih membuatnya berdenyut. Kakiku tidak bisa berhenti untuk berlari karena arwah wanita tadi masih menggerang dan berteriak dengan suara yang menyakitkan di belakang kami. Ini semua karena kereta bayi itu! Aku baru menyadarinya begitu melihat bentuk arwah wanita hamil itu sebelum mengejar kami.

Sampai di pusat taman, tepatnya di depan air mancur, Michiru dan Amuro sudah berada di sana. Mereka menoleh ke arah kami, kemudian ekspresi mereka berubah dengan cepat melihat kedatangan kami berdua.

"Larilah!" seruku pada mereka. "Dia menuju kemari! Kita harus pergi dari sini!"

Tidak perlu waktu lama bagi mereka untuk memikirkan hal itu, akhirnya kami berempat berlari bersama-sama keluar dari taman dan masih berlari menjauhi tempat itu setelah melewat gerbang utama. Aku merasakan rasa sakit itu sudah memudar dan menghilang ketika kami cukup jauh dari taman kota, itu membuatku mengerem langkahku dan berhenti berlari.

Dengan napas terengah-engah, aku membungkuk dan mengatur napasku yang tersenggal-senggal. Araki limbung begitu saja di aspal yang keras, Amuro bersandar di tiang listrik sedangkan Michiru jatuh terduduk di trotoar di dekat kami.

"Keparat!" Araki menyerukan itu di sela napasnya yang menunjukan uap putih di udara malam yang dingin. "Apa-apaan itu!? Siluman yang mengerikan! Aku tidak mau pergi ke sana lagi!"

Amuro langsung menumpahkan sumpah-serapah yang tidak kumengerti, sedangkan keadaan yang terparah adalah Michiru yang masih tidak merespon. Dadanya masih naik turun dengan tergesa-gesa dan tangannya meraba dadanya itu, mencengkramnya. Jujur, lari seperti itu tidak benar-benar membuat keadaanku memburuk. Di universitas aku sering berlari cepat seperti itu untuk olahraga, jadi kehilangan napas seperti ini bukanlah masalah besar.

Aku mendekati Michiru, namun berhenti karena tangannya yang lain terangkat untuk menahanku. Sayup-sayup aku mendengar lirih suaranya, "Jangan ... mendekat .... Aku butuh ... udara ...."

"Tapi ... apakah kau butuh bantuan? Kau butuh obat?"

"Tidak ... aku hanya ... butuh ruang ...."

Aku merasa kasihan melihat dalam keadaan itu, tapi dia bahkan tidak mengizinkanku untuk mendekat, jadi apa boleh buat?

Aku mendekati Araki dan memeriksa keberadaannya. Dia terkapar di jalan dengan bermandikan keringat, matanya terpejam masih memperbaiki diri. Ketika aku melongok di atasnya, satu matanya terbuka sedikit dan memandangku.

"Kau butuh bantuan?"

"Hah ... hah ... air ...."

Aku membuka tasku dan memberikan botol air mineral padanya, langsung disambar botol itu sebelum aku membuka mulut dan ditenggaknya hingga tandas. Araki kehilangan akal saat menghabiskan sebotol air itu tepat di depanku, membabi buta sumber kehidupan padahal aku belum merasakannya setetes saja.

Araki bisa duduk setelah itu, dia menghela dan menyeka keringatnya. Botol kosong yang sedari tadi di genggamannya di letakkan di jalan, di tengah-tengah selangkangannya yang terbuka lebar lalu dia memandangku. "Terima kasih ... kau benar-benar penyelamat."

Ya sudahlah, aku hanya menghela napas dan mengangguk karena itu, merelakan sebotol air minum yang bisa dibagi dua malah dinikmatinya sendiri. Kutelan saliva demi membasahi kerongkongan yang kering, lalu berbalik dan berpindah ke Amuro.

Keadaannya membaik, dia sekarang bisa berdiri dengan tegak di depan tiang listrik yang bermandikan sinar lampu jalan dari atas. Aku menepuk pundaknya dan menanyakan hal yang sama layaknya yang kutanyakan pada Michiru dan Araki.

"Aku baik." Dia menghela dengan tenang dan memeluk tasnya. "Aku sudah memprediksi kita akan lari-lari begitu, untungnya tubuhku terlatih."

"Sungguh? Baguslah. Kalau begitu bisa kau jelaskan tentang apa makhluk yang mengejar kita tadi?"

Dari dalam tas besar Amuro, dia mengeluarkan sebuah kertas dokumen dan selembar koran. Tubuhnya merosot ke bawah dan Amuro menekuk lututnya sebelum menunjukan berita dalam lembar koran di tangannya.

Hamil di luar nikah, seorang gadis bunuh diri dan ditemukan mengambang di danau Taman Kota-

"Bunuh diri saat hamil ya ...."

Amuro mengangguk dan membacakan berita itu dengan pelan dan aku memakluminya, karena kami perlu hati-hati menyebut setiap nama arwah yang akan keluar dari mulut kami menyangkut arwah agresif yang telah lalu.

*****

Arwah itu punya nama dan Daifukujo adalah nama yang didengungkan masyarakat kota ini jika menyangkut arwah itu.

Daifukujo, sebutan arwah gadis hamil yang ditemui beberapa orang yang berani lewat di taman kota ketika hari telah larut. Dia muncul secara acak, tapi barang siapa yang tertangkap oleh Daifukujo, maka bersiaplah melihat mayat manusia tanpa bagian perut.

Daifukujo muncul bersamaan dengan kereta bayi di ujung bagian barat taman kota. Jika ada yang mendekati kereta bayi itu, Daifukujo akan bertanya tentang bayinya. Jika menjawab tidak tahu, maka Daifukujo akan langsung mengejar orang itu sampai keluar dari taman kota.

Asal dari Daifukujo adalah kejadian empat tahun yang lalu. Latar belakang Daifukujo adalah seorang gadis belia yang telah memiliki seorang bayi dan kembali hamil dengan sebab yang sama, diperkosa tanpa pertanggung jawaban. Dari rumor yang beredar, karena mengulangi kesalahan yang sama dan sebuah masalah kelam yang tidak diketahui, gadis ini memilih bunuh diri dengan menggelamkan diri di danau taman kota. Dengan masalah yang tidak terselesaikan, muncul lah Daifukujo, arwah gadis hamil yang menghantui taman kota.

"Aku tahu kereta bayi itu."

"Lalu apa yang kau lakukan dengannya?"

"Hanya melihat, lalu Daifukujo muncul begitu saja dan kami segera lari dari sana."

Amuro, entah kenapa, tiba-tiba menggumam pelan di hadapanku, seakan menjadi seorang tikus yang sedang bercicit membisikan rahasia.

"Aku tahu masalah kelam yang tidak diketahui itu, walau harusnya aku tidak bilang."

Hide and SeekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang