Cinta dan Bahaya - 7

1.3K 91 12
                                    


"Ngapain di sini? Pergi!" Prima membentak si hantu bungkus.

Makhluk itu malah melompat ke arahku. Aku beringsut mendekat ke Prima dan menyembunyikan wajahku di bahunya. "Prim, aku takut ...."

"Pergi kubilang! Atau kubuat hangus seluruh tubuhmu!" Prima mengancam makhluk itu.

Rupanya ancaman Prima cukup membuat makhluk itu menyerah, dan menghilang dengan sendirinya.

Prima mendekapku yang menangis sesenggukan karena takut. Tubuhku gemetar dan menggigil. Makhluk itu sangat menyeramkan, lebih seram dari makhluk-makhluk yang sebelumnya menerorku. Kenapa dengan aku ini? Sungguh, aku tidak ingin melihat mereka semua.

"Udah, Ras ... Dia udah pergi, tenang," bujuk Prima sembari melepaskan pelukannya.

Aku masih terisak. Bayangan makhluk jelek tadi belum mau pergi. Aku benar-benar ketakutan dan tidak ingin melihatnya lagi seumur hidup.

"Maaf, tadi aku memelukmu." Prima mengenggam kedua tanganku. "Tanganmu dingin sekali? Kamu takut banget, ya?"

Aku yang masih terisak hanya menjawab dengan anggukan kepala.

"Sepertinya, mata bathin kamu mulai terbuka. Kamu bisa melihat seperti aku sekarang."

Aku kaget dan menggelengkan kepala. "Enggak! Aku nggak mau! Aku mau hidup normal! Aku nggak mau lihat mereka lagi! Mereka jelek, menjijikkan. Aku nggak mau ...."

Tangisanku semakin menjadi. Aku benar-benar tidak ingin seperti ini. Oh, Tuhan ... Kenapa Engkau mengutukku? Apa salahku? Ini bukan kelebihan! Benar kata Prima, ini adalah kutukan.

"Kamu tenang, Ras. Mungkin tingkat kepekaan indra ke enam kamu tidak sepeka aku. Tapi justru mereka tertarik untuk menggoda kamu, seolah ingin menunjukkan kalau mereka ada dan ingin mengajak kamu bicara." Prima masih berusaha menenangkanku.

"Tapi aku nggak mau, Prim. Aku pengen kembali normal. Aku nggak mau kayak gini. Aku bisa gila!"

"Enggak. Kamu nggak akan gila. Ada aku di samping kamu. Aku akan selalu membantu kamu. Nanti kalau ada waktu, aku ajak kamu ke tempat guruku. Beliau mungkin bisa menutup kembali mata bathin kamu."

Kalimat terakhir Prima sedikit membuatku tenang. "Beneran bisa ditutup?"

"Bisa," jawabnya sambil tersenyum.


Prima mendekapku lagi, membuatku bisa mencium aroma tubuhnya yang maskulin. Sejenak aku menikmati ini, tapi ... ini tidak boleh. Aku mendorong tubuh Prima menjauh dariku.

"Maaf, aku nggak pengen kita kebablasan," ucapku sambil menunduk.

Prima tampak salah tingkah. "Aku yang harusnya minta maaf, nggak seharusnya aku kayak gitu sama kamu."

Hening. Sejenak kami berdua terdiam, hanyut dalam pikiran masing-masing. Kulirik arloji di pergelangan tangan, menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.

"Prim, anterin aku balik ke kost," kataku kemudian.

"Baiklah, ayo," jawabnya sembari berdiri.

Aku mengikutinya dari belakang. Tapi baru beberapa langkah, Prima membalikkan badan. Dia menghadangku dan menatapku lekat-lekat. Aku seperti terhipnotis dan ikut memandangnya juga. Tatapannya benar-benar tajam, tapi meneduhkan.


"Ras, menikahlah denganku."



Deg.



Benarkah yang kudengar ini? Prima mengajakku menikah? Apa dia bercanda?

"Aku serius. Menikahlah denganku. Temani aku selamanya, agar aku tak kesepian lagi," ucapnya lagi. Ekspresi wajahnya seolah menjelaskan kesungguhan, dan tak kutemukan kebohongan dari sorot mata bermanik coklat itu.

Dendam Hantu Kost (TELAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang