Bab 5

8.3K 146 9
                                    

Sore hari Dimas tiba di rumah. Lelaki itu melihat mata sembab istrinya, tapi enggan bertanya, nanti saja. Tapi dia tahu, sesuatu pasti telah terjadi.

Fitri menyambut suaminya seperti biasa. Menyiapkan air hangat untuk mandi dan menemani makan malam dengan menu sederhana, tahu tempe goreng dan sambal kecap. Jika menu itu yang terhidang di meja, seisi rumah, kecuali sang mertua, pasti tahu, itu menu andalan saat keuangan menipis.

Mereka makan dalam diam. Posisi meja makan yang dekat dengan kamar Emak, membuat tak leluasa bicara.

Mereka lebih memilih bercengkerama di lantai dua, atau paling tidak, di tempat lain yang agak jauh, agar Emak tidak mendengar pembicaraan mereka.

Seringkali, saat telah menjadi orangtua, kita harus pandai menyembunyikan situasi sulit. Tidak semua hal harus diceritakan. Ceritakan saja hal-hal baik kepada orangtua, agar mereka tenang, dan mengira kehidupan anaknya baik-baik saja.

Selepas Isya, di lantai dua.

Dimas mendekati istrinya yang sedang melipat jemuran hasil cucian hari ini.

"Anak-anak belum pulang, Dek?"

"Belum, Yah. Si Raka sudah pamit tidur di kosan temannya di dekat kampus. Dia lagi ikut penelitian. Kemalaman kalau pulang, katanya. Makanya tidur di kosan.
Kalau Bagas, cuma bilang nugas sama teman-temannya. Dia akhir-akhir ini sering pulang di atas jam 9 malam."

Dimas terdiam mendengar penjelasan Fitri.
Dia tahu, Bagas masih dalam rangka protes dan belum bisa menerima dengan ikhlas keberadaan neneknya. Tempo hari Bagas sempat cerita padanya, jika tiap hari Ibunya selalu dibentak-bentak neneknya. Bagas tidak bisa menerima. Tapi mau melawan, Ibunya malah melarang dan menyuruhnya sabar. Akhirnya, daripada di rumah lebih baik di luar. Pulang kalau sudah lewat jam 9, biar tidak bertemu neneknya.

Bagas memilih menghindar daripada tidak bisa menahan emosi. Sama seperti yang Dimas lakukan akhir-akhir ini. Bedanya, selain karena harus bekerja lebih keras, Dimas merasa kikuk tiap kali menemukan ibu kandungnya di rumah.

Sejak kecil tidak berkumpul, membuat hubungan Ibu dan anak itu tidak terlalu dekat. Mereka hanya bertemu sebulan sekali saat Dima s datang ke rumah Emaknya untuk memberikan uang belanja bulanan. Atau, Emaknya yang datang ke rumah saat Dimas telat memberi uang. Seperti itulah hubungan mereka.

Kini, setelah beberapa bulan tinggal serumah, Dimas masih merasa asing tiap kali harus berdekatan dengan Emak. Risih tiap kali Emaknya bertanya ini itu.

"Kata dokter, Emak sakit apa?" Dimas memancing pembicaraan. Biasanya, Fitri selalu menceritakan banyak hal. Tapi malam ini, wanita yang akhir-akhir ini tampak kurus dan pucat itu lebih banyak diam.

"Hasil tes sih, normal semua, Yah. Kemarin disuntik vitamin sama dikasih obat. Malamnya sudah nggak batuk-batuk lagi, kok."

"Syukurlah! Ayah belum dapat rejeki banyak. Gimana uang kuliah Bagas?" tanyanya kemudian.

"Besok pagi aku ngantar jahitan. Semoga bisa buat tambahan," jawab Fitri pendek.

Bukan baru satu dua tahun Dimas menjadi suami Fitri. Pernikahan mereka telah berjalan 20 tahun lebih. Kurun waktu kebersamaan yang cukup lama, biasanya menjadikan ikatan batin keduanya lebih kuat. Banyak hal, yang bisa dirasakan meski pasangan berusaha menutupinya.

Dan Dimas merasakan perubahan itu, apalagi melihat mata istrinya yang sembab dan jawaban-jawaban singkat itu. Pasti ada sesuatu.

"Dek, kenapa matamu sembab? Apa yang membuatmu menangis?" tanyanya langsung. Dimas bukan type lelaki yang pandai berbasa basi.

Keraguan melingkupi benak Fitri, antara bercerita atau tidak. Antara terbuka atau menyimpannya sendiri.

"Dekk," Dimas menyentuh bahunya. Fitri sedikit tersentak. Dia mencoba tersenyum tanpa berani menatap mata suaminya. Bibir bisa saja terkatup menyembunyikan sesuatu, tapi sorot mata tak pernah bisa menipu.

SANG MERTUAWhere stories live. Discover now