Mereka berkumpul di ruang tengah. Raka dan Bagas duduk di karpet di dekat Embah Utinya. Si kecil Dea masih bermain di luar.
Semua masih bingung dan tak percaya dengan apa yang terjadi.
Fitri duduk di sebelah Dimas. Tangannya mengusap-usap bahu suaminya pelan, berharap bisa menularkan sedikit kekuatan.
Mengenal Dimas selama puluhan tahun, baru kali ini Fitri melihat lelaki itu menangis. Ketegaran yang selama ini terbangun oleh kerasnya hidup, pagi ini runtuh tak bersisa.
Fitri sangat paham perasaan suaminya saat ini. Bagaimana Dimas tidak merasa hancur? Wanita yang diperjuangkannya seumur hidup, ternyata membohonginya sedemikian rupa.
"Kenapa, Dik? Kenapa? Apa salahku? Apa salah kita?" Dimas menangkup tangan menutupi wajahnya.
Fitri mengulurkan tangan, membawa suaminya dalam dekapan.
Seorang istri, meski sering merasa tak berdaya, tapi pada situasi tertentu, tetap harus bisa menjadi tonggak super kokoh untuk menjaga sekelilingnya. Tonggak kesabaran seluas samudera, yang tak pernah surut apa pun yang terjadi. Entah bagaimana dia mengupayakannya. Meski kadang harus berpura-pura tabah, agar sekelilingnya tak hancur terbakar.
Diusap-usapnya punggung Dimas yang masih menangis dalam pelukannya.
Meski dada Fitri terasa bagai gunung berapi yang siap memuntahkan lahar, dia harus tetap bisa waras menyikapi semua kejadian ini.
"Sabar, Yah! Sabar! Ayah ingat kan? Ayah pernah bilang, orangtua kita itu ibarat kitab suci. Meski kondisinya sudah sangat jelek, lembarannya sudah sangat kusam, hingga tulisan di dalamnya nyaris hilang dan tak terbaca, tetap harus dimuliakan. Tidak boleh dibuang begitu saja. Begitu juga dengan Emak..."
"Aku tidak akan membuang Emak! Aku hanya ingin tahu, kenapa Emak tega bersandiwara??" Belum selesai Fitri bicara, Dimas memotong kalimat Fitri cepat, dan mengurai pelukan istrinya.
"Le, istighfar...sabar...!" Ibu Fitri bersuara.
"Apa saya kurang sabar, Bu? Sejak Ibu mengenal saya, apa saya kurang sabar? Apa saya kurang berbakti? Kalau Emak menganggap bakti saya masih kurang, bukan begini caranya, Bu!!
Ibu tahu bagaimana situasi kami sebenarnya, kan? Ibu tahu bagaimana saya memprioritaskan Emak dan adik-adik saya daripada istri dan anak-anak! Bahkan, seringkali, Fitri juga merelakan haknya untuk Emak! Saya malu, Bu!! Apalagi soal obat-obatan ini!!" Dimas melemparkan tas plastik berisi obat-obatan yang tidak diminum Emak ke atas meja."Ibu mungkin juga tahu, obat-obatan itu dibeli Fitri dari hasil menjahit! Dia harus menagih ke sana ke mari agar bisa membawa Emak ke dokter, karena saya sama sekali sedang tak punya uang! Ibu tahu, bagaimana perasaan saya? Saya harus menekan seluruh harga diri sebagai seorang suami di depan istri, bu! Hanya demi Emak! Hanya agar Emak sehat!" Mata lelaki separuh baya itu mengalirkan hujan lagi.
"Ternyata obatnya tidak diminum, malah dibuang! Apa maksudnya??"
Dimas sangat terpukul. Bagaimana bisa Emaknya setega itu?Hening. Hanya hela napas Dimas yang tedengar memenuhi udara.
Ibu Fitri tak berkata-kata lagi.
Ingatannya justru terbang ke masa lalu. Masa awal pernikahan Fitri dan Dimas. Masa di mana Fitri seringkali menangis di pangkuannya karena nelangsa. Nelangsa karena Dimas lebih mementingkan Emak dan saudara-saudaranya. Nelangsa karena setelah sekian tahun, Emak tetap saja membencinya.
"Bukankah, suami wajib memenuhi kebutuhan anak istrinya, Bu?" tanya Fitri saat itu.
"Betul, Nduk. Tapi, anak lelaki juga punya kewajiban kepada orangtua dan saudara perempuannya."
"Tapi, kalau saudara perempuannya sudah menikah, bukankah dia menjadi tanggungjawab suaminya, bukan tanggungjawab kakaknya lagi, Bu?"
"Iya, Nduk. Tapi, jika saudara perempuannya membutuhkan bantuan, kakaknya tetap wajib membantu. Dan, kamu harus ingat satu hal. Kewajiban anak lelaki kepada orangtuanya, apalagi kepada ibunya tidak pernah putus."
Kenangan masa lalu, seperti sebuah film yang diputar jelas dalam ingatan Ibu Fitri.
Wanita enam puluh lima tahun itu menghela napas sambil membelai kepala kedua cucu lelakinya.
"Kenapa Nenek seperti itu, Mbah? Aku makin nggak suka!" Bagas berbisik pada Mbah Utinya.
"Ssttt!" Raka menempelkan telunjuk di bibir. Mengisyaratkan agar adiknya diam. Dia paham, saat ini bukan waktunya mereka bicara.
Tiba-tiba Nenek keluar dari kamarnya. Berjalan tertatih tanpa tongkat. Tangannya berusaha mencari pegangan pada benda-benda di sekitarnya.
Semua terperangah, kecuali Dimas. Matanya nanar menatap Emaknya.
Fitri hendak bangkit, tapi tangan Dimas tegas melarangnya. Digenggamnya erat jemari Fitri agar tak beranjak kemana pun.
"Silahkan duduk, Mak. Saya rasa, Emak harus menjelaskan semuanya sekarang juga."
Emak duduk perlahan. Tak satupun kalimat terucap dari bibirnya. Matanya menerawang. Berkali-kali dihembuskannya napas panjang.
Ruangan senyap, mendadak mati. Semua menunggu dengan perasaan campur aduk. Terutama Dimas. Lelaki itu merasa sebagai pesakitan yang menunggu vonis hukuman dari sang hakim.
****
Maafkaan yaa...updatenya molor lagiii.
Semoga saja masih suka membacanya.
Kira-kira, Emak mau ngomong apa ya?

YOU ARE READING
SANG MERTUA
General FictionMertua adalah orang tua kedua, yang harus dihormati selayaknya orang tua kandung. Banyak mertua yang sangat baik, tapi ada juga yang kebalikannya. Apa jadinya jika ternyata Sang Mertua jauh dari impian?