Rintik Kesembilan

124 14 2
                                    

Kepalaku terasa berat saat terbangun. Pandangan mata menjadi sulit fokus. Dengan sabar aku menunggu semuanya mereda. Aku melihat ke sekeliling, ternyata diriku sudah berada di kamar. Aku pikir pagi ini aku akan terbangun di pingir jalan. Muntah-muntah dan ditertawakan orang-orang. Siapa yang membawaku ke sini? Tak akan mungkin tuan Victor. Ia terlalu mabuk semalam.

Mataku melirik ke arah jam dan aku terkejut. Sudah pukul sepuluh. Aku bergegas mengganti pakaian dan turun untuk mendapatkan sesuatu dari tuan Roussell.

Saat aku hendak membuka pintu, seseorang tengah berdiri menghadap ke arahku. Diandra tersenyum manis. Ia menyapa dan menanyakan keadaanku sekarang. Diandra bercerita bahwa semalam ia menemukanku di depan Le Regent Montmarte dengan keadaan tak sadarkan diri. Ia lalu menolongku untuk bisa masuk ke kamar.

"Terima kasih, eh tunggu. Wajahmu kenapa?"

Ada lebam di wajahnya. Sudut bibirnya pun meninggalkan bekas darah yang mengering. Ia memegangi lukanya sambil tersenyum tipis.

"Inilah yang kudapatkan saat aku mencoba keluar dari pekerjaanku."

"Bos mu yang melakukannya?"

Diandra mengangguk.

"Sudah kau obati?"

"Sudah, semalam pelayan resto di bawah memberikanku kotak obat."

"Syukurlah kalau begitu. Eeehh.. apakah di bawah masih ada sarapan untukku?" tanyaku.

"Aku tadi meminta menyisakan satu porsi untukmu. Ayo, ku anatar kau ke bawah."

Beberapa saat kemudian, kami berdua duduk saling berhadapan. Ia mengamatiku selagi aku memakan hidangan yang disajikan tuan Roussell. Diandra memperlihatkan pandangan orang yang bertanya-tanya. Mungkin ia bingung mengapa aku mabuk semalam. Entah kenapa, aku ingin terbuka kepadanya. Aku ingin bercerita mengenai apa yang terjadi semalam antara aku dan Shanum.

"Semalam aku mabuk, gadis yang kusukai telah menolak cintaku." Kataku mengalir begitu saja.

Diandra memperlihatkan ekspresi wajah kasihannya kepadaku. Jujur, aku tidak suka dikasihani seperti itu.

"Semoga kau mendapat orang yang lebih baik."

"Terima kasih." Aku memberi senyum padanya.

"Jadi sekarang kau sudah berhenti bekerja di sana?"

"Ya, aku sudah berhenti. Akhirnya aku bisa bebas. Meskipun aku harus memberikan semua harta yang kumiliki untuk membayar kerugian mereka. Apartemenku beserta seluruh isinya dengan terpaksa harus ku serahkan pada bosku."

"Lalu, sekarang kau tinggal di mana?"

"Kemarin, aku mendapatkan pekerjaan baru sebagai seorang pelayan restoran. Pemilik restorannya bilang, aku bisa tinggal di sana. Ada sebuah ruangan kecil tempat penyimpanan barang yang bisa kupakai sebagai kamarku. Aku akan tinggal di sana. Sebagai pelayan dan juga penjaga restoran."

"Kapan kau akan mulai bekerja?"

"Besok, Tapi malam ini aku sudah bisa menempati ruangan kecil di restoran itu."

Aku merasa lega mendengar itu. Akhirnya ia bisa terbebas dari pekerjaannya yang kelam. Kuharap ia bisa mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Sebuah dering telfon menghentikan percakapan kami berdua. Aku menerima pangilan video dari Nadira. Ia pasti akan menanyakan Shanum. Sial! Padahal aku sedang tak ingin membahas itu. Tapi ya aku terpaksa menerima panggilan telepon darinya.

Nadira memulai percakapan kami dengan semburan pertanyaan. Aku membiarkannya selesai berbicara. Namun, seketika ia berhenti tanpa kuhentikan. Nadira sadar, ada ekspresi kesedihan di wajahku. Ia segera memberikan wejangan-wejangannya. Menyuruh diriku sabar dan cepat move on. Aku menghargai wejangannya, ia memang teman yang baik. Nadira menyuruhku untuk menikmati sisa waktuku di sini dengan bersenang-senang. Mencoba melupakan Shanum. Aku menyetujuinya, waktuku di sini hanya tinggal lima hari lagi. Akan kuhabiskan dengan bersenang-senang untuk melepas rasa sedih.

PetrichorWhere stories live. Discover now