PAPA [20] -Bad Day-

6.1K 442 13
                                    

Pria itu masih menetap di apartemen Theo, ia duduk berdampingan dengan pemuda tetangga bawahannya itu. Mereka terlihat sama bosannya. Theo menghela nafas, jika mereka bosan mengapa mereka tidak pulang ke rumah masing-masing dan melakukan apapun yang mereka inginkan tanpa perlu merepotkan dirinya yang tengah kerepotan mengurus Arielnya.

"Papa, aku bosan. Ayo pergi ke suatu tempat" ujar pemuda itu sambil merengek dan merebahkan dirinya di atas sofa. Pria di sebelahnya mengerut. Mengapa tetangga bawahannya itu manja sekali dengan Theo.

"Aku tidak pergi kemanapun di hari sabtu. Pergi sendiri jika kau ingin" jawab Theo. Ia sedang berusaha menidurkan Ariel, dengan dodot di tangannya. Tubuhnya mengayun ringan, dan tangan sebelahnya menopang tubuh Ariel.

"Kapan anak itu akan tidur?" tanya atasannya itu. Pemuda di sebelahnya itu dengan sigap berdiri dan menunjuk tepat ke arah Pria itu.

"Diam pria tua, yang kau sebut anak itu memiliki nama" tekannya. Pria itu berdecak lalu menghalau tangan yang menunjuk padanya. Pemuda itu menarik tangannya kembali dan duduk di tempatnya semula.

"Kapan Ariel akan tidur?" tanyanya ulang. Theo menatap mereka bersamaan. Tatapannya tajam, membuat pemuda itu menunduk dan pria itu mengerutkan alisnya.

"Dia akan tidur bila kalian diam" jawab Theo menekan. Theo berjalan menjauh dari sana, menaiki tangga bermaksud ingin ke kamar Ariel karena di sana jauh lebih sunyi daripada di ruang tamunya.

Begitu sampai Theo merebahkan Ariel di box bayinya. Menepuk buah hatinya itu pelan dan menyanyikan lagu nina bobo sampai anaknya itu benar-benar terlelah.

Theo menghela nafas, ia merenggangkan tubuhnya sesaat. Menunduk untuk mengecup dahi anaknya lalu menarik selimut anaknya hingga keleher buah hatinya itu. Setelah memastikan bahwa Arielnya sudah nyaman di dalam box bayinya Theo keluar sambil menutup pintu rapat.

Ia turun dan melihat dua orang tamu tak di undangnya kini mengobrol tentang banyak hal. Theo mendekati mereka, obrolan mereka berhenti dan mereka menatap Theo dengan tatapan penuh pertanyaan.

"Kalian ingin ku buatkan sesuatu?" tanya Theo berbaik hati. Kebetulan ia juga sedang ingin bersantai. Duduk di sofa sambil menonton televisi itu jarang sekali terjadi padanya.

"Aku ingin smooties!" ujar pemuda itu bersemangat. Theo menghela nafas dan mengangguk lalu tatapan matanya beralih ke arah atasannya itu.

"Aku kopi panas saja" ujar pria itu. Theo mengangguk lalu berlalu dari sana. Ia memasuki dapur dan mulai membuat apa yang tamunya inginkan.

Sedangkan di ruang tamu, pemuda itu banyak bertanya pada pria dewasa di sebelahnya. Menanyakan hal yang penting sampai yang tidak penting.

"Bagaimana bisa kau menjadi seorang Bos?" tanyanya. Pria itu terkekeh sebentar lalu menyandarkan punggungnya di sandaran sofa.

"Aku bukan seorang Bos, aku hanya ketua devisi yang menanggung jawabi hal-hal terkait tentang peningkatan penjualan pada perusahaan"

"Itu sama saja bukan, kau tetap yang mengetuai"

"Tidak, aku masih punya Bos yang memerintahku"

"Jadi kau bos kedua begitu?"

"Tidak, aku hanya seorang ketua. Bisa di bilang bos namun aku tidak menganggap demikian"

"Woah, kau pria yang hebat"

"Tentu saja, bagaimana denganmu"

"Aku masih berkuliah. Tidak ada yang menarik bukan(?)"

"Kau berkuliah di fakultas apa?"

"Teknik, aku sangat menyukai otomotif. Kau tahu, aku punya satu motor sport yang ku modifikasi sendiri. Bodinya sangat seksi, lebih seksi daripada aktor jepang yang suka bermain jungkat-jungkit di atas kasur" ujar pemuda itu. Pria itu mengernyit, ia tahu apa maksud pemuda di sebelahnya itu.

"Jadi kau suka menonton hal yang seperti itu?" tanya pria itu.

"Hei Paman Russel, pria mana yang tidak suka menonton hal itu. Bahkan jika ada objek nyatanya aku bisa memasukinya tanpa ampun. Angh! Membayangkannya membuatku bergidig" kata pemuda itu seraya memeluk tubuhnya sendiri. Russel masih mengerutkan dahinya. Baru kali ini ia mendengar candaan kotor dari mulut pemuda yang terpaut jauh usia dengannya. Rasanya menggelikan.

"Siapa yang kau bayangkan? Hm.. " tanya Russel. Hanya memancing, ingin tahu saja siapa gadis malang yang menjadi imajinasi liar pemuda ini.

"Banyak, tentu saja" jawab pemuda itu bangga. Russel ingin tertawa, apa yang patut di banggakan dari berapa banyak objek imajinasi yang bahkan di sentuh saja hanya angan-angan.

"Salah satunya?" tanya Russel lagi.

"Ahaha, kau membuatku malu Paman. Tapi aku akan jujur padamu, kau tahukan Ariel punya wajah yang cantik bahkan ketika bayi. Terkadang aku membayangkannya ketika dewasa, ia pasti akan jauh lebih cantik dan matang aku selal—hei Paman tunggu, mau kemana kau? Hei?!" belum selesai pemuda itu berbicara. Russel sudah lebih dulu beranjak dan berjalan cepat menuju dapur.

Telinganya panas mendengar curhatan kotor pemuda itu bahkan dengan bayi sebagai objeknya. Pemuda itu benar-benar sakit!.

"Kau sakit nak! Segeralah menghadap tuhan dan meminta ampunan" kata Russel sambil berjuang menggapai pintu dapur. Pemuda itu mencoba menahan Russel dengan cara menarik pingganya. Mereka saling berjuang mempertahankan keseimbangan yang berlawanan. Tidak lama Theo keluar dengan baki di tangannya. Ia terdiam menatap dua orang yang kini saling menarik.

Ada apa ini?!.

"Kalian sedang apa?" kata Theo masih dengan menatap mereka dengan alis terangkat sebelah. Erland menggeleng sedangkan Russel mencoba berbicara namun tangan pemuda itu lebih dulu menutup mulut pria itu. Meredam suara yang baru saja di keluarkan oleh pria itu.

"Bukan apa-apa Papa. Papa tadi ku dengar Ariel menangis. Periksalah!" ujar Erland. Theo mengerutkan alisnya, ia berjalan ke arah meja di sebelah sofa dan meletakkan baki itu tanpa repot menurunkan satu satu isinya. Tanpa menjawab apapun, ia menaiki tangga dan hilang setelah belokan tangga.

Erland menghela nafas lega seraya melepaskan tangannya yang hampir merah di gigit oleh pria itu. Tenaga pria itu jauh lebih kuat darinya, namun ia berusaha dengan kekuatan yang ada. Sedangkan Russel langsung terduduk. Ia mengusap kasar mulutnya dan menatap Erland tajam.

"Kumohon Paman, ini rahasia ku dan kau. Jangan bocorkan bahkan jika Itu Papa" mohon pemuda itu. Ia bahkan berlutut di depan Russel dengan wajah memelasnya. Russel agak tidak tega melihatnya.

"Lakukan sesukamu, tapi hilangkan semua imajinasi kotormu itu. Demi tuhan Ariel masih bayi!" ujar Russel. Erland mengangguk mantap beberapa kali.

"Aku berjanji, aku berjanji! " katanya tegas.  Russel mengangguk lalu berdiri dari duduknya. Ia berjalan menuju sofa sambil mengambil kopinya di atas baki. Menyesapnya perlahan, menghilangkan rasa asin bekas tangan pemuda tetangga bawahannya itu.

Erland melakukan hal yang sama, duduk di sebelah pria itu sambil menyendok smooties miliknya. Tidak berapa lama mereka mendengar Theo turun dari tangga agak tergesa-gesa. Ketika sampai Theo dengan emosinya melempar boneka beruang yang ia bawa dari kamar Ariel. Boneka itu melayang cepat mengenai tepat ke arah pemuda itu. Membuat pemuda itu terkejut dan membalik smooties miliknya sendiri. Karena reflek yang tiba-tiba ia menyenggol tangan pria di sebelahnya itu. Kopi di tangan pria itu melayang dengan indahnya lalu terbalik di depan wajahnya. Pria itu juga terkejut dengan kejadian yang terjadi dengan cepat. Setelah melemparkan boneka beruang itu Theo berteriak.

"Sekali lagi kau bohong padaku, ku jadikan kau daging di masakanku!" geram Theo.

Itu hari yang hancur sekali.

TBC...
Selamat malam semuanya, saya ingin berbagi satu chapter untuk menemani kalian menghabiskan malam tahun baru ini. Semoga chapter ini dapat menghibur kalian selain kembang api yang memecah malam.

Sebelum itu saya ingin berterimakasih atas dukungan kalian entah itu komentar atau vote kalian. Saya tidak menyangka bahwa cerita saya cukup di sukai, terimakasih dan terimakasih.

Salam sayang,
Mizu

PAPATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang