(Mazaya, Hamil?)

27K 1.6K 47
                                    

Riki mengikuti apa maunya Mazaya, bersikap layaknya orang asing. Tak menganggap keberadaan wanita itu. Mazaya lebih banyak menghabiskan waktu di kamar, keluar sesekali untuk mengambil minum.

Lebih dari sebulan mereka saling menghindari, dalam sebulan ini Riki cuma sesekali berpapasan dengan Mazaya, dan diakhiri dengan saling membuang muka. Mazaya tak lagi menghinanya atau menerornya, mulutnya terkatup rapat, bahkan dia tak pernah mengeluarkan suara sedikit pun.

Sekarang hari libur, di luar sedang hujan lebat, jika biasanya Riki pergi ke suatu tempat tapi tidak sekarang ini. Kondisi cuaca sangat buruk, petir dan kilat menyambar.

Riki menikmati kopinya, hujan dan kopi panas sangat cocok, ditambah lagi dengan sebuah koran. Karir Riki semakin menanjak, dia sering di percaya mengerjakan proyek besar. Dia sangat bersyukur kepada Tuhan atas segala anugrah yang diterimanya.

Riki melihat dengan sudut matanya, ketika dia mendengar pintu kamar Mazaya terbuka pelan. Dia berjalan tergesa-gesa ke arah westafel kamar mandi, lalu memuntahkan isi perutnya. Seminggu belakangan ini Riki sering mendengar Mazaya bangun tengah malam untuk memuntahkan isi perutnya, dia terlihat tak sehat, wajahnya pucat dan agak kurus, pandangan matanya pun sayu.

Lima menit kemudian, Mazaya selesai menguras isi perutnya, ia berjalan ke meja makan. Seperti biasa, tak peduli dengan Riki. Menganggap dia hidup sendiri di rumah itu.

Dia mengambil segelas air putih, meminumnya seteguk, kemudian memejamkan matanya seperti tengah menahan mual. Tiba-tiba dia kembali berlari ke kamar mandi, kembali memuntahkan air yang baru diminumnya.

Riki berusaha tak peduli, tapi dari sisi kemanusiaan dia harus menolong wanita itu. Sudah lama dia ingin bertanya, tapi dia mengurungkan niatnya.

Tak terdengar lagi suara Mazaya yang sedang muntah, tapi juga tidak kunjung keluar dari kamar mandi, lima menit Riki menunggu. Akhirnya dia memutuskan untuk melihat sendiri wanita itu .

Riki terbelalak kaget, Mazaya tergeletak pingsan di lantai, wajahnya pucat seperti kapas. Tanpa pikir panjang Riki mengangkat tubuh Mazaya membawanya ke dalam kamarnya, lalu membaringkannya di tempat tidur. Riki merasakan telapak kaki Mazaya yang dingin.

Riki mengambil selimut, menyelimuti tubuh Mazaya yang tak berdaya itu.

Riki menghubungi Dokter pribadinya, dia tinggal tak jauh dari sini, dia dokter yang berpengalaman dan sabar menangani pasiennya.

Riki menunggu dengan gelisah, cuaca benar-benar buruk, dia berharap tak ada kendala apapun di jalan saat dokter menuju ke sini.

Mazaya masih belum sadar, betapa lemahnya dia sekarang. Dia tak memiliki kekuatan bahkan untuk dirinya sendiri. Untung saja Riki berada di rumah, kalau tidak entah apa yang akan terjadi pada Mazaya.

Beberapa menit kemudian dokter datang, dokter bertanya sambil mengamati Mazaya.

"Apa yang terjadi?"

Riki menuliskan kronologinya, mulai dari pengamatannya yang melihat Mazaya sering muntah, sampai jatuh tergeletak di kamar mandi.

Dokter memeriksa denyut nadi Mazaya, memeriksa tekenan darahnya, melihat kelopak matanya, serta meletakkan stetoskop di dada wanita itu.

"Sepertinya istrimu kekurangan nutrisi, dia juga dehidrasi, bibirnya kering, kalau dilihat dari kelopak matanya yang pucat, sepertinya HB darahnya juga rendah, sebaiknya kita pastikan di lab. Apa dia sedang hamil? Dari gejala yang kau sebutkan, sepertinya dia tengah mengandung, tapi untuk lebih pastinya kita harus memeriksa urinnya."

Riki semakin kaget, hamil? Mungkinkah? Dia tak pernah bertanya pada wanita itu, dan Mazaya tak pernah memberi tahunya.

Riki menggeleng, dokter kemudian kembali memberi informasi

"Hamil atau tidak harus kita cek untuk memastikan, tapi menurut pengamatan saya, istrimu tengah hamil, kejadian ini biasa di tri semester awal, usahakan dia selalu meminum susu untuk ibu hamil."

Riki hanya mengangguk dan mendengarkan dengan seksama.

"Bantu saya menurunkan sedikit celana jeansnya!" perintah sang dokter. Riki mengerjap bingung.

" Riki, istrimu harus disuntik, kalau dibiarkan dia bisa semakin parah, kau ini, dia istrimu, tak perlu malu." Dokter tersenyum.

Riki menunduk malu, dengan tangan bergetar dia melakukan apa yang diperintahkan dokter, jantungnya berdegup kencang dan keringat mengalir di dahinya.

"Miringkan dia!" kata dokter wanita itu, dia tersenyum melihat wajah Riki.

Dokter meninggalkan resep untuk Mazaya dan menerangkan beberapa hal dengan obat itu, beberapa saat kemudian Dokter pamit.

"Aku harap setelah agak baikan, kau membawanya ke klinik. Kita akan periksa lebih lanjut, saya tak membawa tespeck saat ini."

Riki termenung, dipandanginya wajah lemah Mazaya, kemudian perut ratanya, apa benar sudah ada bayi tumbuh di sana? Bayi yang sangat di inginkan Mazaya untuk kesembuhannya. Di satu sisi Riki merasa bahagia, dia akan memiliki seorang anak, tapi di sisi lain dia begitu sedih, anaknya memiliki Ibu seperti Mazaya.

Dia belum memaafkan wanita itu, karena tak sekali pun dia meminta maaf. Sekarang apa yang harus di lakukan Riki, mereka sudah menjalani kehidupan layaknya orang asing selama sebulan ini, sementara bayi itu adalah milik mereka berdua.

Belum selesai Riki berfikir, Mazaya sudah membuka matanya, memandang langit-langit kamar, terakhir bertemu pandang dengan Riki. Wajah Mazaya terkesan dingin dan datar.

"Kenapa kau berada di kamarku?"

Riki menuliskan jawaban, "kau pingsan dikamar mandi, aku menggendongmu kesini. Dokter juga sudah memeriksamu."

"Bukankah sudah kukatakan! bersikaplah seperti orang asing!"

Riki tak mengubris bentakan Mazaya, dia menulis, "sudah berapa bulan kau hamil?"

Mazaya membuang mukanya, dia mengetahuinya sejak tiga hari yang lalu.

"Bukan urusanmu."

Riki menghela nafas lelah, kemudian mengangkat bahunya. Dia keluar dari kamar itu, benar prediksi dokter, Mazaya hamil, tujuannya berhasil, malam itu membuahkan hasil. Buktinya wanita itu tidak membantah.

Dia berniat bernegosiasi dengan Mazaya, tapi Mazaya tetap dengan sikap arogannya.

Cermin Jiwa Saat Terluka ( 21+ )حيث تعيش القصص. اكتشف الآن