[1] - Krim Pemutih Jeng Sri

668 98 7
                                    

Kalau ada yang bilang anak jurnalis up to date, itu salah besar.

Nyatanya, tidak semua anak jurnalis termasuk tipikal selalu update terkait info-info terkini baik di lingkungan sekolah ataupun dunia luar.

Contohnya seperti aku. Iya, aku sering dicap ketinggalan info. Kata Natalie murid terpopuler yang juga anak ekskul jurnalistik, aku termasuk hierarki kelompok kurang update—ikut ekskul jurnalistik tampaknya tidak membuatku melepas identitas sebagai cewek irit bicara.

Seperti sekarang, berada di ruangan berukuran 5×5 meter persegi aku sama sekali tidak mencolok di antara anak jurnalis lain.

Penampilan seragamku yang super duper menaati peraturan sekolah, dipadu kacamata minus berlensa tebal dan rambut bergelombang yang selalu dikucir kuda, dijamin tidak akan memancing tatapan ingin tahu orang-orang sekitar.

“Laura." Panggilan Natalie sontak menghentikan aktivitasku yang sedang mendata kumpulan rubrik di laptop Dizzy.

“Pasti ada tambahan tugas,” cibirku singkat saat terdengar lonceng kecil pertanda pintu basecamp didorong oleh seseorang.

Ketika figur itu masuk, refleks, perhatian seisi ruangan terfokus pada satu titik.

Dalam tangan kanannya, Natalie menggenggam setumpuk kertas berjilid-jilid dan dua lembar foto seseorang.

Cewek bertubuh semampai dengan rambut panjang bak iklan sampo itu mendekat ke arahku seraya menyunggingkan seuluas senyum manis. “Ada tugas baru, yuhu.”

Memutar kursi kerjaku malas, aku balas menghadap Natalie--- sang Pimpinan Redaksi yang memiliki raut wajah di atas rata-rata. “Apaan lagi, Nate?”

Alih-alih menjawab pertanyaanku barusan, Natalie malah menyambar sebuah ponsel yang tergeletak di meja kerjaku dengan seringai super licik.

Gerakannya yang begitu tiba-tiba, membuatku kelimpungan dan tidak berhasil melindungi benda persegi panjang tersebut.

“Hape gue Nate! Mau ngapain?” Belum sempat aku merebut ponselku kembali, Natalie terlanjur menarik kursi lipat di samping kubikel Dizzy lalu dengan seenak jidat membuka aplikasi Instagram.

Wajahnya berubah serius ketika menggulir layar ponsel, ia tidak memberiku kesempatan sedikit pun untuk mengintip apa yang sedang ia lakukan.

Oke, aku tarik omonganku kalau senyuman Natalie manis banget. Setidaknya untuk sekarang, semua itu sudah kadaluarsa.

Wajah Natalie lebih mirip Medusa, tak lupa senyum licik hadir kembali keika ia menyerahkan ponselku tanpa rasa bersalah. “Bagus ‘kan ide gue, Ra? Nih gue balikin. Sans.”
Dengan tangkas, aku menggaet ponsel tersebut. Apa yang barusan diutak-atik Natalie?

Seperti tertimpa puluhan beton besi, mataku terbelalak sempurna dengan mulut yang sedikit menganga tatkala mengetahui aksi lancangnya.

Setelah tanpa permisi mengutak-atik ponselku, kini cewek dambaan kaum adam tersebut justru membuat akun baru di Instagramku dengan username yang bikin naik darah, @KrimPemutihJengSri.

“Hehe. Totalitas, Ra,” cengirnya lebar seraya membentuk jari tengah dan jari telunjuknya seperti huruf  V.

Aku mendengus gusar, berpikir untuk me-logout akun tidak jelas itu aja. Akan tetapi, karena lagi-lagi gerakan Natalie jauh lebih cepat, menggagalkan rencanaku menekan opsi logout.

Cewek bergaris wajah Jerman itu malah mendekatkan kursi lipatnya beberapa senti seraya menyerahkan seabrek kertas dan dua lembar foto yang tadi ia bawa.

“Jangan dihapus, Laura. Suatu  saat—paling nggak besok, akun fake lo yang @KrimPemutihJengSri pasti ada faedahnya. Akun itu berhubungan sama tugas baru lo nanti.”

Kedua alisku bertaut. Meminta penjelasaan. “Kalo ngomong langsung inti deh. Nggak usah berbelit,” sahutku malas pada Pimpinan Redaksi yang satu ini. Karena penasaran dengan tugas baru dan apa hubungannya sama fake  akun @KrimPemutihJengSri, aku pun mengambil beberapa lembar kumpulan materi sembari menyimak penjelasaan Natalie lebih lanjut.

“Oke, Laura. Karena kemarin gue di-WA Bu Ayu suruh angkat topik—“

“Nateee, ngomong inti,” sambarku gemas sambil memilah-milah kertas berjilid yang dibawanya. Gerakan tanganku yang semula lincah membaca lembar demi lembar topik mengenai Duta Unggul SMA Cendikia, tiba-tiba melambat saat pandangan mataku secara tidak sengaja bersirobok dengan sebaris nama yang tercetak tebal dalam kumpulan materi.

Nama itu ... Theodora Moses.

Sejenak, aku tertegun. Keringat dingin datang tiba-tiba tanpa diundang. Mataku mengerjap tidak percaya. Kuulangi lagi membaca sebaris nama di kumpulan materi punya Natalie, memastikan bisa aja aku yang salah baca.

Tapi, tetap aja sama! Theodora Moses mendominasi topik artikel yang akan diangkat. Menyebut namanya saja membuatku takut setengah mati….

“Sekitar dua atau tiga minggu lagi, buletin edisi kali ini bakal ngangkat tema Duta Unggul SMA Cendikia. Dan, seperti yang lo tau … Theo sebagai topik utamanya,” tandas Natalie yang menyadari kerisauanku.

Bukannya menenanganku, cewek berkulit cerah dengan alis bak ulat bulu tersebut malah cuek angsa seraya membalas chat dari Elvin, gebetan barunya.

Kalau saja Natalie bukan teman dekatku sejak bangku SMP, sudah kupastikan aku akan mendepaknya sekarang juga ke palung Mariana.

Masalahnya di sini adalah, posisiku sebagai jurnalis, mau tidak mau, aku harus mengumpulkan data-data berupa hasil pustaka, hasil pemantuan, DAN YANG PALING HOROR DI ANTARA YANG HOROR … WAWANCARA DENGAN THEO!

Diam-diam, aku berharap ada dua Theo di sekolah ini. Tapi rasanya mustahil….

“Theodora Moses, Nate? Ada nggak anak SMA Cendikia lain yang namanya Theodora Moses? Jangan Theo yang itu dong….”
Mengalihkan perhatiannya sekilas dari chat Elvin, Natalie tersenyum kecut seraya menyerahkan dua lembar foto yang sudah tidak asing lagi.

"Nggak, Ra. Theo yang itu. Theo si seniman muda berbakat. Apa gunanya akun fake @KrimPemutihJengSri?”

Sial. Bagaimana tanggapan siswa lain melihat seorang Laura Adrina cewek irit ngomong yang tidak suka berbasa-basi mewawancarai duta sekolah Theodora Moses?

Aku takut, bahkan sebelum memulai.

“Ah ya satu lagi. Jangan lupa laporan besok malem.”

Mampus.

Rasanya, aku ingin menghilang dari muka bumi saja.

Dear Fake AccountWhere stories live. Discover now