EPILOG

624 105 27
                                    

Satu tahun berlalu, aku tidak bisa melupakan Theo. Satu tahun berlalu, aku berusaha mengubur segala kenangannya. Satu tahun berlalu, aku berusaha melenyapkan seluruh bayangannya.


Dan satu tahun berlalu pula, aku terperangkap ketakutan setiap bertemu Theo.

Aku takut, perasaan itu hadir kembali dan semakin menggebu.

Aku takut, jatuh di lubang yang sama.

Dan ya, detik ini, ketakutanku berubah kenyataan.

Selamat kepada Theodora Moses yang telah memporak-porandakan perasaan Laura Adrina.

Berhadapan dengan Theo seperti sekarang, membuatku mati kutu. Bibirku amat kelu mengeluarkan barang sepatah untuk wawancara.

Setelah semalam men-stalk akun Instagramnya dengan fake akun, berburu sumber-sumber di penelusuran, nggak lupa survei tengah malam yang bikin aku begadang, hari ini tinggal wawancara semua beres.

Aku tidak boleh mengacaukan tugas ini.

"Gue nggak punya waktu banyak, Ra.” Theo sedikit berdeham. Membuyarkan lamunanku. Tampaknya, cowok dengan kemeja sekolah yang di keluarkan tersebut sama canggungnya setelah satu tahun kita tidak bertegur sapa.

Lebih tepatnya … aku yang selalu menghindar.

“Oke, langsung wawancara ya,” tukasku dengan suara bergetar.

"Siapa inspirasi lo dalam melukis, Yo?"
Demi apa pun, ekspresi Theo yang sedang berpikir itu lucu banget. Wajahnya tertimpa seberkas cahaya matahari, dipadu rambut fringe yang berantakan, serta keringat segede biji jagung, sukses membuat mati-matian menahan detak jantung dan pipi yang kuyakini merona seperti kepiting rebus.

“Inspirasi utama gue ya? Karena cewek irit ngomong yang hobi ngelamun di kelas. Salahin aja cewek itu yang udah bikin gue selalu gambar wajah dia kapan pun dan di mana pun."

Tanganku yang mencatat penjelasaannya di mini note terhenti seketika.

Mataku refleks melebar.
Hah? Maksudnya?

Entah dedemit dan setan mana yang sedang menguasai pikiranku, bukannya mewawancarai Theo, aku malah tertarik memastikan siapa gadis yang dia maksud.

Bisa aja Audi ‘kan?
Kalau memang Audi, beruntung sekali gadis itu mendapatkan Theo. Dia menjadi sumber inspirasi Theo ketika melukis.

Semoga Audi tidak melakukan hal bodoh seperti yang dulu kulakukan.

Menyia-nyiakan Theo begitu saja. Cih.

“Jadi, gadis itu sumber inspirasi lo ngelukis? Siapa namanya? Wah, pasti beruntung banget," kataku sok ceria menahan sesak. "Audi, ya?" tebakku salting sambil neguk ludah.

Hening. Kami tenggelam dalam opini masing-masing. Sampai suara Theo menyeruak kembali.

“Bukan. Bukan Audi. Dia mantan gue. Kami putus karena masalah sepele. Salah paham. Ada pihak ketiga ceritanya. Toh gue nggak selingkuh. Tapi, waktu mau gue jelasin … dia menghindar. Satu tahun berlalu dan buku gambar gue penuh dengan wajah dia. Sial.” Setelah bilang begitu, Theo tiba-tiba berbalik lalu berlari menjauhiku.

Aku ingin mengejar langkahnya, namun pesan masuk dari direct messages Instagram @KrimPemutihJengSri mengurungkan niatku.

Sekilas, aku membaca pesannya.

@themoses gue bakal kasih tau siapa cewek itu. Salahin aja dia aja, kalau perlu wawancara sekalian. Gue kasih tau namanya, tapi jangan sampe bocor ya. Apalagi nikung. Nama cewek itu Laura Adrina.

Ps. Gue pesen krim pemutihnya juga, Jeng :p

Aku tersenyum geli. Antara malu dan nahan ketawa. Perasaanku menghangat. Theo masih tetap jago membuatku baper kayak jaman SMP. Dan omong-omong, tau darimana ia tentang fake akunku? Natalie? Atau jangan-jangan Natalie sengaja menjebak kami berdua….

Eh kalo memang Natalie menjebak, untuk apa Theo memasang sketsa Audi sebagai foto profilnya?

"THEOOO, KITA BELOM SELESAI WAWANCARA!” Aku berlari mengejar langkahnya di koridor.

"Gue males wawancara. Gue gagal move on, Yaya," cibirnya dengan melipat kedua tangan di depan dada.

"Ish, nggak berubah ya lo. Gue butuh jawaban dari lo Yo buat buletin Cindstatik.

"Gue kan udah kasih jawabannya, Yaya." Cowok itu mengangkat kedua tangannya, jemarinya mencubit pipi bulatku gemas. "Apa lagi sih, Jeng Sri?"

"Lo nggak usah boong. Cewek itu Audi kan?" Aku menepis jemari Theo malas. "Back to topic, kita harus wawancara."

Perasaan sesak itu kembali hadir ketika menyebut nama Audi.

"Dih mana ada. Audi cuma gue anggep sebagai temen, nggak lebih." Sedetik kemudian, Theo ketawa gila.

"LAH TERUS FOTO PROFIL SI AKUN LINE LO APAAN, BAHLUL." Kujitak gemas kepala Theo setelah memastikan koridor sekolah sepi.

Bukannya berhenti ketawa, tawa cowok itu malah semakin meledak. "Lo cemburu, Yaya? Oke-oke, gue bakal hapus. Itu cuma Truth or Dare sialan sama anak-anak ekskul lukis."

Mendengar pengakuannya, aku membeku. Jadi ... mereka tidak ada hubungan apa-apa?

Kenapa aku harus cemburu, aku kan bukan siapa-siapa Theo?

INI NIH PENYAKIT GALAU REMAJA INDO!

CEMBURU PADAHAL BUKAN SIAPA-SIAPANYA!

"Audi cuma temen, Ya. Lo juga temen, temen hidup maksud gue." Tidak tahu kenapa, hatiku berdesir. Pipiku memanas, jantungku lagi-lagi berdetak di luar batas normal.

"Bukan masalah sketsa siapa yang mengisi foto profil Line gue." Theo mendekat. Mengikis jarak di antara kami. "Tapi, siapa seseorang yang udah mengisi hati gue."

Cowok itu mengelus rambut bergelombangku lembut. Cewek manapun pasti akan meleleh diperlakukan seperti ini sama Theo. "Dan orang itu lo---Laura Adrina."

Satu hal dapat kupahami dari penjelasaan Theo.

Memasang foto profil gadis lain bukan berarti suka.
Memblokir kontak mantan bukan berarti sudah move on.
Dekat dengan seseorang bukan berarti kita cinta.

Terkadang, semesta memang selucu itu.

TAMAT

a/n
Akhirnyaa cerita abal-abalku tamat juga.
Maapkeun bila cerita ini sangad cheesy dan banyak sekali bloopers :3
Kritik dan saran sangat ditunggu :D

Oke!❤ Sampai jumpa di ceritaku yang selanjutnya.

XOXO
Diffean

Dear Fake AccountTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang