Bagian I

34 3 0
                                    


Warna merah bercampur kuning di langit senja membuat lelahku berdiri di dalam bis yang penuh sesak manusia pulang dari mencari nafkah ini sedikit berkurang. Mataku terus menerus-menerus menatap keluar jendela untuk menikmati langit sore nan menawan yang seolah menari mengikuti semilir angin yang membawanya perlahan. Seperti lukisan yang tak mampu tangan siapapun di dunia ini untuk menggoreskan kuasnya, kecuali Dia yang mempunyai kuas dan kanvas.

MasyAllah, bisikku di balik masker kain yang menutup mulut serta hidungku.

Selama perjalananku di dalam bis ini, aku hanya menatap lekat-lekat lukisan yang tiada banding tersebut. Tak terasa, kondektur bis berteriak nama sebuah tempat pemberhentian bis yang membuyarkan lamunan dan mengalihkan tatapanku kepada sumber suara. Ah, sudah sampai, pikirku.

Dari tempat pemberhentian bis tersebut, aku harus melanjutkan perjalanan yang tidak terlalu jauh untuk sampai di sebuah rumah bertingkat yang terdiri dari kamar-kamar tiga kali tiga meter berjejer di setiap lantainya. Setelah berdiri sekitar satu jam, aku harus berjalan menyusuri jalan berkerikil untuk sampai di kos tempatku berteduh. Sampai kapan aku akan seperti ini, batinku. Segera ku buang jauh-jauh pemikiran seperti itu. Kamu sudah bisa makan tiga kali sehari saja sudah untung, banyak orang di luar sana yang bahkan airpun tak mampu untuk membelinya, tambahku lagi menasihati diriku sendiri.

Ku letakkan tas ransel beserta tas kecil berisi kotak makan yang isinya sudah ku lahap habis siang tadi. Aku meletakkan di dekat pintu kamar mandi agar aku segera mencucinya.

Lembayung senja yang kulihat di bis tadi sudah berubah menjadi biru tua kehitaman. Kerlap-kerlip lampu mulai bermunculan seperti bintang-bintang di atas awan. Adzan berkumandang saling bersahut-sahutan, mengingatkan manusia yang sibuk bekerja dan bercakap-cakap untuk mengakhiri kegiatan mereka dan bergegas membersihkan diri untuk bertemu Dia. Aku pun segera membersihkan diri selama lima belas menit dan bersuci untuk segera bertemu Dia di waktu maghrib ini.

Aku tahu Engkau Maha Pengampun, Maha Pemaaf, dan Maha Penyayang. Maka dari itu aku meminta kepada-Mu ya Allah. Ampuni hamba-Mu yang hina ini. Yang selalu meminta ampun tapi sering tak sungkan segera berbuat dosa. Namun, hanya memohon ampunan-Mu lah yang bisa hamba pinta. Tolong bantu untuk melembutkan hati hamba ini Ya Rabb, agar hamba bisa menerima Hidayah yang Engkau berikan kepadaku, ucapku sambil berjujuran air mata.

Setelah bertemu dengan-Nya, ku membuka gulungan kasur tipis untuk merebahkan badanku yang telah lelah ini. Ku pejamkan mataku sebentar. Namun tiba-tiba, aku tersentak, terbangun dengan jantung yang berdebar-debar. Ku lihat jam di dinding yang catnya sudah terkelupas, menunjukkan pukul 7.30 malam. Dan terdengar lagi kumandang adzan dari pengeras suara sebuah surau yang tak jauh dari kos-kosanku.

Aku harus bersuci lagi, siapa tahu aku sudah buang angin tadi, pikirku. Setelah berwudhu, aku bertemu dengan-Nya untuk kelima kalinya hari ini. Aku memohon hal yang sama seperti yang sudah-sudah. Aku tidak meminta apapun, hanya itu yang aku butuhkan—maaf dari-Nya.

Ku ambil buku yang terdiri dari ayat-ayat-Nya. Setelah selesai kubaca ayat-ayatnya di bab tertentu, aku membuka ayat lain, sebuah surah mengenai aku, seorang manusia. Surah itu bernama Al-Insan yang terdiri dari 31 ayat, menjelaskan tentang hakekat manusia. Mataku terus tertuju ke ayat kedua dari surah itu, yang artinya berbunyi, "Sungguh, Kami menciptakan manusia dari setetes air mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat" (QS. 76:2).

Setiap membaca surah ini, aku selalu berhenti di ayat kedua. Aku selalu bertanya-tanya, apakah aku akan sanggup untuk melewati ujian-Nya? Apakah aku akan selalu berjalan di dalam perintah-Nya? Apakah aku akan sanggup berkelana tanpa melewati larangan-Nya? Jawabannya selalu TIDAK. Jika memang aku tidak bisa, dan manusia lain juga tidak bisa, kecuali Nabi. Apakah kita semua akan berada di sebuah tempat yang berisi api dan kami yang menjadi bahan bakarnya? Atau apakah kita nantinya akan melihat sebuah tempat yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, yang selalu tersedia buah-buahan sedap, dan mempunyai pasangan suci dan akan kekal di dalamnya seperti yang di jelaskan Surah Al-Baqarah ayat 25?

Apakah aku pantas?

Tak terasa air mata ini mengalir tanpa permisi terlebih dahulu. Apa yang sudah kulakukan selama ini, dapatkah aku melihat tempat yang indah itu?

Terngiang suara-suara mereka yang selalu menyayangiku, selalu ada untukku meski aku tak hentinya mengecewakan mereka. Seorang laki-laki yang sudah berumur 60 tahun dan seorang wanita yang lima tahun lebih muda darinya. Ya, mereka ayah dan ibuku yang memberiku nasihat baik dengan lembut maupun tegas, agar aku mengerti hidup ini keras dan aku harus tegar menghadapinya.

"Bang Ucok itu baik orangnya, kalau baru kenal memang seperti ingin makan orang, karena wajahnya yang sangar. Namun, selalu baik dan suka menolong tetangganya", kata Bu Lasmi, seorang janda tua renta yang berada di seberang rumah kami dahulu.

"Iya, ayahmu dan ibumu itu, meski hidupnya pas-pasan, selalu mau membantu kami meski itu hanya sekedar garam dan kelapa", imbuh Pak Kohar yang sering kali meminta kelapa yang sudah tua yang terjatuh dari pohon di samping rumah kami.

Orang-orang bercerita tentang kebaikan mereka yang sering kali menuntut aku ini itu, meminta aku untuk selalu baik kepada siapapun, dan memintaku untuk selalu jujur dan menghargai orang lain. Tentu aku sampai sekarangpun berusaha untuk menjadi apa yang mereka minta. Namun, ketika aku jujur dengan mereka, justru mereka marah dan tidak menganggapku. Bukankah mereka memintaku untuk selalu jujur?

Kututup Al-Quran yang berisi kalam-kalam-Nya dengan pikiran yang campur aduk dan air mata yang sudah kering.

Segera aku melepaskan telekungku dan menggantungnya di paku belakang pintu kamarku. Segera ku rebahkan tubuhku, dan tak lama kemudian aku terlelap karena mata sudah sembab dan sudah letih kaki ini berdiri di bis tadi.

Kriiiiiingggg!!!!! Suara dari benda datar berlayar plastik itu begitu nyaring memaksaku bangun dari mimpi indah. Aku bermimpi sedang melihat taman bunga yang indah, duduk di gundukan tanah yang tertutupi rumput hijau yang tebal, di sinari mentari yang menghangatkan.

Kutatap layar telepon gengam ini yang menunjukkan pukul 03.00 pagi. Segera aku bangun untuk mengambil wudhu untuk bertemu dengan-Nya. Kupanjatkan doa yang sama seperti sebelumnya dan kembali tidur, tak lupa ku setel alarm membangunkanku ketika subuh nanti.

Semoga aku bisa melanjutkan mimpi indah tadi, harapku.

Tak biasanya aku bermimpi indah dan mengingatnya. Sering kali, aku bermimpi buruk atau tidak bermimpi sama sekali. Mimpi buruk yang sudah menghantuiku selama beberapa tahun belakangan ini. Aku melihat diriku berteriak-teriak memanggil orang tuaku yang pergi menjauh tanpa menoleh sekalipun.

Aku bergidik setiap kali mengingat mimpi itu, aku ingin sekali bertemu mereka lagi. Apakah mereka akan menerima dan memelukku dengan tatapan hangat seperti sebelumnya? Senyum kecut menggantung dibibirku ketika mengingat masa itu.

Perjalanan seperti apakah yang akan membawaku kelak? Aku selalu bertanya-tanya dan pemikiran itu membuatku terlelap kembali.  

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

---> Assalamualaikum, Jangan lupa like dan comment  ya. Kritik dan saran membangun sangat dibutuhkan penulis :)

Maaf kalau banyak typo dan kalimat kurang sinkron. Maklum masih pemula, hehehe. 

Terima kasih sudah membaca tulisan ala kadar ini. 

Semoga kita semua dalam bimbingan Allah :)

Wassalamualaikum :))

Sebuah PerjalananWhere stories live. Discover now