Chapter 6

2.5K 367 32
                                    

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

IG @Benitobonita


Semilir udara sore hari yang masuk melalui sela jendela membuat Tessa menguap lebar. Gadis yang sedang memakai sweater lengan panjang dan celana piama itu melipat kakinya di atas sofa ruang tamu rumah kos dan menonton televisi.

Satu bulan berlalu dengan cepat dan dia semakin sering tertidur. Mata Tessa terasa sangat berat. Gadis itu sudah dua kali bolos bekerja dan sangat khawatir akan dipecat, belum lagi nilai-nilai di kampus yang semakin menurun.

"Sudah lapar?"

Suara Dean membuat Tessa mendongak ke atas. Pria itu tersenyum sambil menunjukkan plastik bening yang berisi bungkus makanan.

"Ikan bandeng goreng dan tumis kangkung," jelas Dean sambil menyorongkan tangan lain yang menggenggam piring.

Perut Tessa langsung berbunyi. Gadis itu menegakkan punggung sambil menerima keduanya. "Terima kasih, Dean, berapa semuanya? Biar kuganti."

Alis Dean bertaut seketika. Dia duduk di sebelah Tessa dan menegur gadis itu. "Mas Dean …."

Rona malu langsung mewarnai pipi Tessa. Gadis itu membuka bungkusan dengan kepala menunduk. Dia belum terbiasa dengan status baru mereka.

"Mas Dean …," bisik Dean sekali lagi tepat di telinga Tessa.

Mata Tessa melebar seketika saat merasakan napas hangat pria itu. Dia refleks mengelak dengan wajah merah padam. "Duduknya jauhan, nanti dilihat orang."

Wajah Dean berubah masam. Pria itu mengetuk dahi Tessa dengan telunjuk sambil mengomel, "Perlu dinikahin dulu baru bersedia manggil Mas?"

Rasa terbakar langsung dirasakan di sekujur kulit gadis itu. Tessa hendak menjawab. Namun, bibirnya berhenti bergerak ketika matanya tanpa sengaja melihat ke arah televisi.

Sebuah foto seorang pria yang dia kenal dengan panggilan Miko terlihat di sisi kiri layar dan adegan beberapa petugas kepolisian sedang mengangkut mayat seseorang dari antara semak-semak.

"... telah ditemukan jenazah seorang pria yang diduga merupakan korban ular piton …."

"I-itu …."

Ucapan Tessa terhenti seketika saat layar televisi tiba-tiba mati. Gadis itu menoleh dan melihat Dean memegang remote sebelum meletakkannya kembali ke atas meja.

Dean menoleh ke arah Tessa dan berkata, "Jangan nonton berita kaya gitu, nanti mual enggak bisa makan."

Tessa mengerjapkan mata beberapa kali sebelum menelan ludah. "I-itu preman yang tahu namaku …."

"Preman?"

"Itu, loh, laki-laki yang ngajak aku kenalan di ITC," jawab Tessa dengan mata ketakutan. "Kok, bisa dibunuh ular?"

Dean mendengkus tidak peduli. Pria itu malah memajukan kepala, lalu berkata, "Aku masih nunggu kamu manggil aku dengan sebutan Mas …."

Tessa refleks memundurkan punggung untuk memberi jarak aman. Dia dengan gugup mencoba mengucapkan kata keramat itu. Namun, lidahnya terasa kelu.

Mata Dean menyipit melihat tingkah kekasihnya. Pria itu akhirnya menyerah dan menepuk pelan kepala Tessa. "Makan, sana."

Tangan Tessa bergerak cepat ke arah bungkusan. Dia diam-diam merasa lega mereka tidak lagi membahas topik yang memalukan itu.

Suasana hening beberapa saat. Dean mengamati Tessa yang makan dengan lahap sebelum berkata, "Tessa, aku berencana berhenti bekerja."

Tessa yang sebelumnya sibuk melahap lauk dan nasi langsung mendongak dan menatap Dean dengan pandangan bertanya-tanya. "Kenapa?"

"Aku mendapatkan tawaran kerja yang lebih baik," jawab Dean tersenyum kecil. "Bahkan mereka memberikan kemudahan agar aku bisa kredit rumah dan mobil."

"Kredit rumah? Bagaimana bisa?" Mulut Tessa terbuka lebar. Gadis itu memasang ekspresi terkejut. Bagaimana bisa seorang pria yang sehari-harinya bekerja sebagai pelayan tempat makan tiba-tiba  mendapatkan fasilitas untuk membeli rumah?

Namun, Dean hanya tertawa kecil dan berkata, "Tutup mulutmu sebelum lalat masuk."

Pipi Tessa memerah seketika. Gadis itu menutup mulut dengan punggung tangan. "Kamu bohong, ya?"

"Enak saja," Dean mencubit hidung Tessa sehingga gadis itu menggelengkan kepala untuk melepaskan diri. "Kebetulan teman SMA ku butuh partner untuk  usahanya di bidang properti dan dia menawarkan berbagai fasilitas kalau aku bersedia membantu."

Rasa kantuk yang biasanya menyertai Tessa hilang seketika. Rumah dan mobil, impian apa yang diinginkan seorang gadis selain memiliki pasangan hidup yang mapan.

Dean seakan-akan dapat membaca pikiran gadis itu. Dia menyeringai lebar, lalu bertanya, "Jadi, kapan kamu siap pindah rumah?"

"Pindah?" tanya Tessa membeo. Gadis itu menunjukkan ekspresi tidak mengerti.

"Suami istri harus tinggal serumah, kan? Jadi, kamu kapan siap kepak-kepak barang?"

"Suami? Si-siapa suami?" Tessa tergagap. Lauk yang berada di atas meja sudah tidak ingin disentuh olehnya.

Dean menghela napas. Pria itu meraih tangan kiri Tessa yang bebas dari sambal dan bertanya, "Tessa, apa kamu bersedia menikah denganku?"

Mata Tessa melotot terkejut. "Hah? Kita baru pacaran satu bulan … dan aku masih kuliah."

"Memang kenapa kalo baru satu bulan?" Dean balik bertanya. "Dan kamu lebih sering tidur daripada kuliah. Aku yang akan bekerja nanti. Kamu cukup menunggu aku pulang."

Tessa terdiam seketika. Dia tidak perlu bekerja. Dean akan menjaganya dengan baik.

"A-aku tidak tahu," jawab gadis itu gugup. "A-aku harus berpikir dulu …."

Dean melepaskan genggaman mereka. Pria itu menepuk pelan kepala Tessa dan berkata, "Pikirkanlah baik-baik. Aku bahkan tidak keberatan bila kamu berhenti kuliah. Kamu cukup tinggal bersamaku."

"A-aku akan memikirkannya." Tessa menunduk malu. Gadis itu menyibukkan diri dengan merapikan sisa makanan agar tidak perlu beradu pandang dengan Dean.

Namun, pria itu bangkit berdiri sambil berkata, "Habiskan makananmu dan beristirahatlah. Aku harus pergi."

"Hati-hati di jalan," balas Tessa cepat.

Dean tersenyum. Pria itu berjalan keluar dan meninggalkan Tessa dengan pikirannya.

Pembaca yang baik hati, tolong tekan tanda bintang.^^

Tessa - Terjebak Pesona Siluman UlarDove le storie prendono vita. Scoprilo ora