👉Si "Tak Kasat Mata"

164 19 0
                                    

Mungkin terkadang karma datang kepada alamat yang salah.
-Chantika

***

Sudah dua minggu sejak kejadian aku memberanika diri melawan Anin, kehidupan di sekolahku benar-benar berubah.

Tak ada lagi kata-kata ejekan yang kudengar. Tapi sekarang rasanya hidupku menjadi terlalu hening. Bukannya lega, aku justru selalu merasa tak enak dengan keheningan yang berlebihan ini. Seakan-akan ada yang salah.

"Chan! kok belum berangkat sekolah sih nak? Nanti telat loo .. kan jalanan sering macet!"

Teguran mama membuyarkan lamunanku. Menarikku kembali kedalam dunia nyata

"Iya Ma, kalau gitu Chan berangkat sekolah dulu ya."

Aku tersenyum saat meninggalkan Mama sendirian di ruang rawatnya. Sudah jalan satu bulan mama dirawat dirumah sakit, masih tak kunjung diperbolehkan pulang.

Dokter bilang, tumor di otak mama sudah terlalu parah, sulit untuk disembuhkan.

"Chan!" panggilan mama menghentikan langkahku. "Maafin mama ya udah ngrepotin kamu, sekarang kamu kelihatan kurusan, karena terlalu sibuk ngurusin mama"

"Gak apa-apa, Ma. Chan seneng kok, asal mama janji untuk cepat sehat lagi"

Mama tersenyum memandangku. "Sudah sana sekolah, nanti terlambat lho ...."

Aku tertawa kecil saat mama mengusirku. Sebelum akhirnya aku melepas topengku di luar kamar rawat mama. Aku selalu tampl bahagia didepan mama, tanpa membiarkan ia tahu keadaan yang sebenarnya.

Sesampainya disekolah, aku langsung disambut oleh keheningan didalam kelas. Padahal aku yakin, tadi, sebelum aku masuk ke dalam kelas, aku mendengar keributan yang biasa terjadi setiap pagi.

Aku memang tak pernah direndahkan lagi oleh orang-orang, bahkan para murid disekolah pn sudah berhenti menatapku dengan tatapan merendahkan dari mereka.

Tapi, justru aku tertekan denga keadaan sekarang. Seakan-akan aku ini ghaib, tak kasat mata. Sehingga tak ada satupun dari mereka yang mampu melihatku.

Para guru pun sempat heran dengan perubahan drastis kelasku, yang biasanya selalu menjadi kelas paling berisik, sekarang justru kelas ini menjadi bisu.

Mati, itulah yang kurasakan sekarang.

Tapi setidaknya keadaan ini lebih baik dari pada sebelumnya.

Kini, si gendut telah berubah menjadi si tak kasat mata.

Satu Minggu kemudian ... keadaan mulai membaik. Kelasku tak lagi sehening biasanya.Tapi tetap saja aku menjadi si tak kasat mata dikelas ini.

Aku seakan debu bagi mereka, yang mudah saja untuk disingkirkan kapanpun.

Bahkan, sepertinya aku menjadi sulit dibedakan dengan hantu. Karena kami sama-sama tak terlihat. Bedanya, hantu memiliki ketertarikan sendiri bagi mereka. Sedangkan aku? Sepertinya aku memiliki derajat yang lebih rendah dibandingkan orang mati.

Ka Arvin dan Ka Putra sedang sibuk dengan persiapan ujian kelulusannya, aku tak boleh terlalu bergantung dengan mereka.

"Heh, gendut!" Sudah lama tak ada lagi yang memanggilku dengan panggilan tersebut. Aku menoleh, penasaran dengan si pemilik suara.

Namun rupanya tak ada siapapun dibelakangku yang sedang berjalan di koridor sekolah yang lenggang.

"Kelihatannya si Gajah udah kurusan niih ....!" Itulah kalimat pertama yang aku dengar saat sudah memasuki ruang kelas.

"Kenapa lo? Jatuh miskin?"

Sontak tawa ramai langsung memenuhi kelas yang sudah lama mati, membuatnya kembali hidup.

"Minum obat apa lo? Bisa jadi kurusan gitu?"

"Bukan Nin! Dia nggak minum obat sama sekali! tapi dia stress, kangen kali sama lo!" Teriak Dara merendahkanku.

Keadaan tiba-tiba berbalik menjadi menyerangku. mereka melontarkan semua kata-kata tak pantas untukku.

Aku tak kuasa lagi membendung air mata yang sejak tadi telah terkumpul di pelupuk mataku.

"Terharu lo bisa kita ajak ngobrol lagi?" Semua orang benar-benar tertawa puas hari ini.

Rutinitas awal mereka telah kembali seperti semula. menjadikanku bahan mainan.

Dua minggu terakhir, aku selalu menghabiskan jam istirahat di perpustakaan.

Tapi mulai detik ini, rutinitasku akan kembali normal.

Awal dari semua ini terjadi ketika Anin memerintahkanku membeli roti kukus di kantin. Sudah lima menit aku mengantri, sampai tiba giliranku untuk memesan roti kukus yang di jual oleh Bu Siti.

Aku merogoh saku untuk mengambil uang, tapi anehnya aku tak menemukan sepeser uangpun di dalam sana.

"Neng! Jadi pesen nggak? Itu antriannya masih panjang"

"Eh, bu. Nanti saya balik lagi! Maaf ya bu"

Aku buru-buru berbalik, berlari kecil menuju kelas.

"Dasar gendut, bikin antrian makin penuh aja!"

"Kayaknya dia mau diet deh, makannya nggak jadi beli!"

Sahut-sahutan penghuni kantin memenuhi gendang telingaku, baru reda setelah aku meninggalkan arean kantin sekolah.

"Heh gajah! Roti gue mana?" bentakan Anin sukses membuatku mematung.

"Eh ... mm ... Itu anu"

"Ngomong tuh yang jelas dong!"

"Lo belum kasih uangnya" jawabku takut-takut.

"Alah,manja banget sih lo! Katanya orang kaya! Ngeluarin duit Rp 5.000 aja susah bener sih! Pake duit lo lah!"

Aku langsung berbalik, menghindari bentakan susulan dari Anin.

"Eh gembrot tunghu sebentar! Mumpung si Chantik masih ada disini, ada yang mau pesen lagi nggak? Rotinya Ibu Siti!" teriak Anin yang mampu didengar oleh seisi kelas.

"Mau dong gue!"

"Gratis kan?"

"Gue gak nolak tuh!"

Anin kembali menatapku dengan smirk yang menghiasi wajahnya. "Jangan lupa! Totalnya 27! Awas aja kalo salah rasa!"

"Pake uang lo ya Dut!" Teriak Dara mengingatkan.

Sesampainya di kantin. Aku tak perlu mengantri cukup lama, karena temlat Bu Siti berjualan sudah mulai sepi.

"Bu, saya pesen ...." ucapku menyebutkan satu persatu pesanan anak kelas.

"Wii ... pesennya banyak amat tuh!"

Tiba-tiba suara Ka Arvin mengejutkanku yang sedang berusaha membawa keresek yang cukup besar.

"Buat lo semuanya?" suara Ka Putra mengikuti dibelakangnya.

"Eh enggak, ini buat temen sekelas" jawabku dengan gugup.

"Lo yang bayar?" tanya Ka Arvin tajam.

"Eh? Nng ... anu, ini"

Ka Arvin dan Ka Putra mengangkat alisnya, bingung.

"Anin yang traktir!" lanjutku terburu-buru.

"Gue minta satu boleh kali ya?"

Ka Arvin dan Ka Putra mengambil masing-masing satu roti.

"Ikhlas gak nih?" tanya Ka Arvin sambil menggigit rotinya.

"Ayo dong! Sama abang sendiri masa nggak ikhlas?" lanjut Ka Putra.

"Haha ... ikhlas ko, bang!" ucapku ragu.

Ka Arvin berlalu pergi meninggalkanku, diikuti Ka Putra yang sebelumnya sempat mengacak sedikit rambutku.

"Bu rotinya masih ada?" tanyaku panik.

"Habis, neng! Tadi roti terakhir!"

Sial, roti yang dimakan tadi adalah milik Anin dan Dara.

ChantikaWhere stories live. Discover now