Chapter 30

5.3K 298 2
                                    

"Dokter Amanda, lebih baik kamu keluar saja dari sini. Dokter Rei membutuhkan seseorang yang mampu menangani lukanya, bukan menceramahinya," ujar Resti kesal melihat sikap Amanda yang tak profesional sebagai seorang dokter.

Amanda menengadahkan kepalanya sambil berkacak pinggang di sampingku yang masih berusaha mengerjapkan mata agar bisa menatapnya dengan lebih jelas. "Maafkan aku," katanya sebelum menghilang di balik tirai ruang tindakan itu.

"Apa yang kamu rasakan selain nyeri di hidung dan wajahmu? Pusing? Mual?" tanya Resti dengan penuh perhatian.

"Aku nggak apa-apa, Res, hanya butuh istirahat sebentar," kataku meyakinkannya.

"Baiklah, bilang saja apa yang kamu butuhkan. Aku akan membantumu," kata Resti sambil meremas bahuku kemudian membereskan peralatan di sekitarku bersama Prita dan dua orang perawat magang. Mereka pun berjalan menghilang di balik tirai, meninggalkanku sendiri dengan semua luka yang kurasakan sendiri.

Dadaku terasa sakit, bukan karena pukulan atau apapun, tetapi karena hatiku tercabik atas sikap Aldo. Tak pernah kubayangkan, ia akan berubah menjadi monster yang semengerikan ini. Setitik air mataku luruh tak dapat terbendung lagi. Sebegitu hinanya kah aku hingga harus menerima hukuman seperti ini dari Tuhan? Atau ini hanya sebuah ujian dalam hidupku yang selama ini kurasa datar seperti lantai rumah sakit yang setiap hari kupijak ini?

Aku menangis dengan posisi setengah bersandar. Tubuhku condong ke depan, membungkuk seraya memegang dadaku yang terasa sedemikian sakit dan berat. Nyeri di wajahku semakin terasa menyiksa, tapi aku tak peduli. Aku ingin melepaskan semua sakit yang tengah kurasakan. Aku ingin melampiaskan segalanya dengan tangisku ini.

"Tuhan, apakah dosaku sedemikian besar hingga Kau beri aku cobaan seperti ini? atau ini hanya sebuah kesulitan di balik jutaan kebahagiaan yang akan kunikmati nanti?" bisikku dengan air mata berderai dan menetes, kemudian lenyap membasahi jas putih yang berhias bentuk tak karuan berwarna merah karena luka di hidungku.

Tiba-tiba tirai ruangan itu tersibak. Ibu Bagas, Medina, dan Amanda berdiri di sana menatapku dengan tatapan terkejut. Spontan, aku berhenti terisak dan menatap mereka dengan linangan air mata yang cepat-cepat kuseka.

Amanda beringsut mendekapku dalam peluknya seraya meletakkan satu tangannya di kepalaku, membelai kepalaku perlahan. "Maafkan aku yang tak pernah bisa menjagamu," ucapnya penuh rasa bersalah.

"Ini semua salahku, Man, bukan kamu," kataku yang merasa begitu nyaman meletakkan pipi di bahu Amanda, menumpahkan semua emosi di dalam diri.

Tiba-tiba kurasakan sebuah genggaman lembut dan hangat pada lenganku yang sedang memeluk pinggang Amanda. Ibu Bagas menatapku penuh kasih, seolah ia sedang memberikan sebagian energi positifnya untukku.

"Maafkan saya, Bu. Mungkin ini semua hukuman karena saya telah membuat Ibu dan anak-anak Ibu menderita," kataku melepaskan pelukan Amanda, beralih setengah membungkuk dalam posisi duduk di atas tempat tidur, meremas tangan wanita berwajah teduh itu dengan erat. Memohon ampun atas semua yang telah kuperbuat.

"Bukan salahmu, Nak. Ini semua murni kehendak Allah SWT," katanya penuh kelembutan sambil mengusap kepalaku. "Kamu harus kuat, karena ini ujian bukan hukuman. Ibaratnya, saat ini kamu sedang menghadapi ujian untuk naik kelas menuju kehidupan yang lebih bahagia. Insya Allah," kata wanita itu dengan begitu bijak sehingga mampu membuatku tenang.

Aku memeluknya dan kerinduanku akan Mama serasa terobati. Tubuhnya tergolong proporsional untuk wanita berusia setengah abad, sehingga sangat pas dalam pelukan tanganku. Rasanya, aku tak ingin melepas Ibu Bagas. Aku ingin berada terus di sana dan menikmati setiap detik kenyamanan yang selama ini tak pernah lagi kureguk. Tempat paling aman dan nyamanku telah pergi, hingga tak pernah kubayangkan akan merasakannya lagi sekarang.

Namun, kenikmatan itu buyar ketika ponselku berdering halus.

[TAMAT] Married by AccidentWhere stories live. Discover now