Chapter 43

4.6K 275 0
                                    

"Dokter Hawkins, ini Samantha. Kekasih Taylor, pasienmu tadi," kata Jenna ketika aku tiba di hadapannya yang sudah bersama dengan seorang gadis keturunan afrika-amerika. "Dokter Hawkins adalah dokter yang menangani Taylor sejak ia masih berada di lokasi kecelakaan," jelas Jenna kepada perempuan itu.

Aku menjabat tangannya, "Hai Samantha. Perlu saya informasikan, bahwa Taylor mengalami beberapa cedera akibat kecelakaan tadi. Dia dalam keadaan koma saat ini, tetapi kondisinya stabil."

"Ko ... koma?" Samantha terbata dengan air mata menggenangi sudut matanya. Kedua tangan membekap mulutnya seolah dunianya runtuh karena kalimatku barusan.

"Apa Taylor memiliki keluarga yang bisa kami hubungi?" tanyaku lagi.

Samantha menggeleng cepat. "Hanya aku yang dia miliki," jawabnya pilu.

Aku mengusap bahunya sebagai bentuk empatiku untuknya. "Kamu bisa menemuinya sekarang." Aku menuntunnya menuju ruangan di mana Taylor dirawat. Samantha menangis ketika melihat kekasihnya itu diam tak berdaya dengan beragam alat medis untuk menopang hidupnya saat itu.

"Taylor," panggilnya lirih sambil terisak. "Taylor," ia memanggil lelaki itu sekali lagi, dengan suara penuh pengharapan dan jemarinya mengusap punggung tangan Taylor yang tetap saja terdiam.

Pemandangan yang sangat membuatku sesak napas, karena tiba-tiba saja aku teringat pada Bagas. Ibu pasti sudah mendengar kabar kecelakaan itu dan sialnya, ponselku terjatuh entah di mana. Ibu pasti sangat cemas padaku. Aku pun beringsut meninggalkan Samantha di sana. Setengah berlari menuju lift, naik ke lantai lima, tempat Bagas di rawat.

"Alhamdulillah, Reinayya!" pekik Ibu yang sontak menangis ketika melihatku membuka pintu ruang perawatan Bagas. Wanita itu beranjak dari duduknya, memelukku erat dalam tangis. "Ibu khawatir padamu, Nak. Ibu lihat berita di televisi. Ibu hubungi ponselmu tetapi tak ada jawaban. Ibu bahkan bertanya kepada beberapa dokter di sini, tetapi mereka tak ada yang bisa memberikan Ibu jawaban mengenai kondisimu."

"Maafkan Rei, Bu. Tadi Rei harus menangani satu pasien yang kebetulan membutuhkan pertolongan intensif. Maaf, Rei lupa memberi Ibu kabar dan ponsel Rei hilang entah di mana," jelasku seraya mengusap air mata di pipi wanita yang tak lagi muda itu. "Aow!" aku berjengit ketika Ibu tak sengaja memegang luka di lenganku.

"Ya Allah, Reinayya, maafkan Ibu. Lenganmu kenapa? Ya Allah, Rei, kamu terluka!" Ibu mendadak histeris melihat kemeja putih yang kukenakan berwarna merah karena bercak darah dan perban yang melingkarinya.

"Ibu, Rei baik-baik aja. Ini hanya luka kecil dan sudah ditangani sama temen Rei tadi di bawah. Ibu nggak perlu khawatir," kataku berusaha menenangkannya.

Bibir Ibu gemetar. Ia terlihat begitu cemas padaku. Medina yang beberapa waktu lalu sedang tertidur, sekarang malah sedang duduk membuka matanya melihatku dengan tatapan nanar campur mengantuk. Namun, ada satu hal yang tak kusadari. Bagas. Ia sudah sadar dari tidurnya yang lumayan panjang dan cukup membuat cemas. Lelaki itu duduk di atas tempat tidurnya dengan setengah bersandar dan wajah pucat. Menatapku dan juga ibunya. Kami sempat beradu pandang dalam waktu beberapa detik, hingga kemudian Ibu menyadari hal itu.

"Medina, kita turun ke kafe bawah yuk. Kita cari makan untuk Kakak Rei," kata Ibu mengajak gadis kecil itu. Medina menurut meskipun wajahnya terlihat begitu lelah.

"Bu, nggak perlu repot," kataku.

"Sudahlah. Kamu di sini saja. Temani Bagas," kata Ibu memaksaku.

[TAMAT] Married by AccidentWhere stories live. Discover now