Di usianya yang hampir menginjak 30 tahun, Clara sudah bosan menghadiri acara pernikahan. Tidak terhitung berapa pesta pernikahan yang ia hadiri. Saudara dekat, saudara jauh, teman sekolah, teman kantor, tentangga, bahkan beberapa orang yang tidak ia kenal baik. Bukan acaranya yang membosankan, atau pilihan makanannya yang itu-itu saja.
Tapi pertanyaan yang membuntuti acara-acara tersebut.
"Kalo lo kapan?"
"Kapan nih nyusul gue?"
"Umur udah mateng loh, nunggu apa lagi?"
Dan bla bla bla lainnya. Clara sampai hafal. Makanya ia selalu memilih cepat-cepat kabur sebelum ada manusia rese yang melemparkan pertanyaan sialan itu padanya.
Emang kenapa kalo umur segini belum nikah? Itu tante-tante udah tua juga gak gue tanyain kapan mati tuh!
Bukan berarti Clara tidak memikirkan pernikahan. Ia pasti akan menikah, suatu hari. Di waktu yang tepat, dan dengan orang yang tepat. Dua syarat itu belum ia temukan hingga saat ini. Atau sebenarnya ia sudah menemukan salah satunya, hanya saja semesta tidak membiarkan mereka bersatu.
"Selamat, ya, Bro! Salut gue, manusia bokep macem lo ternyata yang paling duluan nikah di antara kita," kata Ezra sewaktu ia bersalaman dengan Tristan dan istrinya.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Di sampingnya, menggamit lengan Ezra, Clara ikut tertawa melihat Tristan mencak-mencak. Ia melepas gamitannya di lengan Ezra dan maju untuk memeluk istri Tristan.
"Selamat, ya! Lo cantik banget hari ini!"
Setelah itu, ia dan Ezra pun turun dari panggung dan melanjutkan wisata kuliner yang sempat terpotong.
"Gue cari yang lain dulu, ya! Tadi sih katanya mau foto."
Clara mengangguk. Ia memilih untuk melipir ke stan minuman dan mengambil segelas thai tea.
"Hey."
Clara nyaris tersedak mendengar suara berat milik seseorang yang dari kemarin susah payah ia hindari.
"Hai, Rik!" balas Clara canggung.
"Sori kemarin ak- eh, gue gak sempet ngobrol banyak sama lo. Lo juga langsung cabut gitu aja."
"Hahaha," Clara tertawa hambar. "It's okay."
"Jadi apa kabar, nih? 8 tahun ya kita gak ketemu?"
Clara menjulurkan leher tinggi-tinggi, menyapu pandangannya ke segala arah, berharap ia bisa menemukan Ezra atau siapapun yang bisa membawanya kabur dari sana. Berada sedekat ini dengan Arik membuatnta tidak nyaman.
"Baik, kok," Clara menjawab seadanya. "Lo?" Ia balik bertanya bukan karena penasaran, tetapi hanya demi kesopanan. Buatnya, keadaan Arik sudah bukan urusannya lagi. Dia tidak perlu tau.
Tapi ia tidak bisa menahan diri untuk tidak melirik jari-jari Arik. Dan jauh, jauuuuh di dalam hatinya, ada perasaan lega ketika tidak mendapati cincin di sana.