The Closure

1.3K 174 50
                                    

Ada satu hal yang sampe detik ini masih gue sesali tentang kepergian gue 8 tahun yang lalu.

Haha. Lucu. Seolah-olah meninggalkan Clara belum cukup untuk membuat gue hidup dalam penyesalan selama ini.

Satu yang paling gue sesali, yaitu betapa gue terlalu cepat mengambil keputusan. Harusnya gue bisa mempertahankan apa yang gue punya dengan Clara di depan orang tua gue. Harusnya gue masih bisa menghabiskan waktu sama Clara beberapa tahun lagi, dan memberi waktu kita berdua untuk berpikir lebih jauh. Harusnya gue bisa memberi Clara pilihan. Dan harusnya gue bisa membiarkan diri gue memilih.

Harusnya.

Tapi gue terlalu pengecut. Gue terlalu takut kalau mungkin apa yang gue dan Clara pilih akan berbeda.

Dan gue terlalu naif untuk mempercayai bahwa kita bisa lebih bahagia setelah berpisah. Clara akan menemukan kebahagian dia sendiri, gue pun begitu. Tapi yang gue dapati 8 tahun belakangan adalah bayang-bayang Clara yang terus mengikuti gue. Kilasan-kilasan kenangan bahagia gue dengan dia.

Being with her was the happiest time of my life. How could they tell me that leaving her would make us any happier?

Rasanya kosong. Hidup jauh dari rumah, dengan separuh hati gue yang tertinggal di sana, dan separuhnya lagi hancur tak bersisa. Bahagia menjadi kemewahan tersendiri buat gue waktu itu, kemewahan yang nggak bakal bisa gue dapatkan.

Tapi lambat laun, gue mulai menemukan kembali kebahagiaan gue, walaupun kecil. Bukan, bukan dengan orang baru. Masih dengan orang yang sama. Orang yang gue tinggalkan tanpa gue beri kesempatan untuk memperjuangkan.

Mungkin gue harus balas budi sama Dika seumur hidup gue. Rasanya gue mau sungkem sama dia setelah dia bilang bahwa dia dan Clara kerja di gedung yang sama. Dan berkat dia juga gue bisa tau hal-hal tentang Clara yang pasti gue lewatkan kalau saja Dika nggak berbaik hati membantu gue.

Baju apa yang dipakainya di hari pertama kerja. Kopi apa yang dia pesan setiap pagi. Jam berapa dia biasa pulang kantor. Siapa saja teman-teman barunya.

Gue hanya puas bisa ketemu Clara lewat cerita-cerita Dika atau foto-foto yang dikirimkan Dika untuk gue. Kalaupun memang kebahagiaan gue hanya sebatas ini, rasanya gue sanggup menjalaninya seumur hidup gue. Asal gue masih bisa tau kabar dia, asal gue tau kalau dia dikelilingi orang-orang yang sayang sama dia. Itu lebih dari cukup.

Tapi mungkin Tuhan lagi baik sama gue, karena gue masih bisa melihat kebahagiaan gue lagi dalam versi nyatanya. Dia, Clara, bahagianya gue, sedang berdiri nggak jauh dari gue berdiri sekarang, asik memotret hewan-hewan lucu di depannya.

Setelah kejadian di tangga darurat kemarin, gue minta satu hari sama dia. Hanya satu hari.

"Setelah itu, kamu boleh menghindar dari aku selama yang kamu mau," kata gue di tengah-tengah tangisan Clara yang mulai mereda.

Dia mengangguk. Gue lega.

Satu hari memang nggak akan cukup untuk mengganti 8 tahun yang sudah terbuang. Tapi paling tidak, satu hari cukup untuk mengingatkan gue bahwa gue pernah punya kebahagiaan yang begitu besar, bahwa Clara pernah ada di hidup gue, jadi milik gue.

"Rik! Mau liat reptil nggak?"

Clara menoleh ke arah gue dengan senyumnya yang terkembang lebar. Setelah hampir 4 bulan gue harus puas dengan sikapnya yang begitu dingin, hari ini Clara kembali jadi Clara yang gue ingat. Clara yang hangat, Clara yang penuh warna, Clara yang melengkapi gue.

"Yuk!" Gue menggenggam tangannya erat. Dia membalas genggaman tangan gue sama eratnya. Hangat.

Gue pun merasa lengkap.

ClosureWhere stories live. Discover now