#5

3.9K 415 55
                                    

Fira berjalan perlahan menyusuri koridor, hatinya merasa aneh. Selama ini, ia tak pernah sekalipun mendapatkan caci maki seperti itu. Fira menahan air matanya. Ia tak mau seseorang melihat ia menangis. Fira masuk ke dalam toilet, namun sayang toilet penuh. Akhirnya Fira kembali keluar dan duduk di depan toilet.

Namun, karena banyak yang berlalu-lalang, Fira mutuskan untuk pergi ke mushola. Yah... Di sana memang lebih baik. Fira terus berjalan sembari sesekali menoleh senyum kepada orang yang menyapanya. kecuali cowok, jika yang menyapa adalah cowok maka Fira hanya mengangguk dan pergi atau hanya sekedar menoleh.

Fira masuk ke dalam mushola setelah mengambil wudhu. Ia meraih Al-Qur'an dan mulai membacanya. Mencoba membuat hatinya tenang dengan bacaan Al-Qur'an.

Tanpa Fira sadari, ada Fatir yang mendengarkan lantunan merdu Fira dari balik hordeng pembatas. Fatir menghela nafas, tak pantas dirinya seperti ini. Seperti pengecut dan pengintip. Fatir hendak bangun dan pergi. Namun langkahnya tertahan saat mendengar Isak tangis Fira. Fatir seketika menoleh. Melihat bayangan Fira yang nampak tertunduk. Fatir mengusap bayangan itu.

"Bang Fatir?" Fatir tersentak pun dengan Fira. Fira buru-buru mengusap air matanya dan menenangkan dirinya. Ia menutup Al-Qur'an nya dan pergi dari sana. Hatinya tak menentu. Ia tak menyangka jika Fatir ada di mushola yang sama dengannya. Apa Fatir mendengar tangisannya? Bila iya, sungguh malu Fira.

Jun mendekat ke arah Fatir yang tengah berdiri di dekat hordeng pembatas. Fatir berusaha setenang mungkin. Ia tak mau jika Jun tahu apa yang barusan Fatir lakukan.
"Jun, tumben jam segini udah di mushola?" Tanya Fatir. Jun mendekat dan duduk di depan Fatir. Jun nampak lesu tak bersemangat. Fatir merasa heran, karena ia tak pernah melihat Jun seperti ini. Jun yang ia kenal adalah anak yang periang dan tak bisa diam.

Fatir ikut duduk. Menatap Jun dengan heran.
"Kenapa?" Tanya Fatir.
"Hati gue sakit, bang." Fatir tersentak.
"Sakit? Kamu sakit hati?" Jun mengangguk lemah. Fatir panik. "Astaghfirullah, sejak kapan Jun?" Jun kini yang mulai bingung. Ini Fatir paham nggak sih maksud ucapan Jun.

"Bang?"
"Iya, Jun?"
"Gue sakit hati, bukan sakit liver." Jun kesal Fatir bengong. Ia langsung menepuk jidatnya. Astaghfirullah... Kenapa otak Fatir jadi lemot begini?
Fatir nyengir dan minta maaf. Jun menghela nafas. Sepertinya Jun salah waktu untuk curhat dengan Fatir. Fatir sendiri sepertinya butuh orang untuk mendengarkan curhatannya.

"Sudahlah bang, waktunya nggak tepat buat gue curhat," ujar Jun yang hendak pergi. Fatir langsung menahan Jun. Fatir minta maaf sekali lagi. Jun paham, ia pun pamit pergi dari mushola.

🍃🍃🍃🍃

Saat pulang kuliah, Fatir dan Fira bertemu di pinggir jalan. Fatir dengan motornya. Fira sedang berdiri menunggu angkutan. Mereka saling diam. Bingung bagaimana cara menyapa. Setelah beberapa saat berdiam diri. Fatir memberanikan diri menyapa Fira.
"Assalamualaikum, Fira." Fira menjawab salamnya dengan pelan. Jantungnya tak menentu jika berhadapan langsung dengan Fatir. Terlebih ia ingat, jika Fatir mendengarnya menangis di mushola. Fira benar-benar bodoh.

"Saya... Saya duluan, mas." Fira langsung naik angkutan umum. Namun sial, karena bangku penuh di dalam. Fira terpaksa turun lagi. Ia melirik Fatir dengan malu. Fatir menahan senyumnya.
"Sabar ya, Fira." Fira menunduk malu. Fatir tersenyum melihat wajah Fira yang nampak merah. "Kalau begitu, saya duluan," ujar Fatir. Fira langsung mengangguk. Fatir pun mengucap salam dan pergi dengan motornya.

Fira menghela nafas. Akhirnya ia bisa bernafas lega. Entah kenapa setiap bertemu dengan Fatir rasanya sangat sesak.

Fira menoleh saat ada angkutan umum lewat. Ia melambaikan tangannya dan masuk ke dalam mobil begitu mobil berhenti. Ia mencoba berfikir positif. Tak mau terlalu hanyut dalam rasa sesaat.

Fira turun dari mobil begitu sampai komplek rumahnya. Ia membayar dan terus berjalan menyusuri komplek. Rasa letih melanda, keringat mulai mengucur dari balik hijabnya. Matahari sore sangat menyengat hari ini. Fira menengadahkan kepalanya dan melihat matahari yang terik di senja hari. Bayangan yang terlihat menjauh ia perhatikan. Hingga bayangan itu bertambah satu. Fira langsung menoleh ke belakang.

"Mas Fatir?" Fatir tersenyum. Ia memasukkan kedua tangannya di saku.
"Benar tebakanku, itu kamu, Fira." Fira menatap Fatir beberapa saat. "Bingung?" Tanya Fatir. Fira mengangguk. Fatir lagi-lagi tersenyum. Fatir mengeluarkan satu tangannya dari saku dan menunjuk deretan rumah. Dan berhenti di rumah yang bertingkat dan agak besar di banding yang lain. Fira memperhatikan rumah yang di tunjuk Fatir.

Lalu ia menoleh kembali pada Fatir. Ia agak mundur menoleh lebih ke belakang.
"Ini bukan gang komplek ku, ya?" Tanya Fira bingung. Fatir menahan tawanya.
"Ternyata rumah kita dekat ya?" Ujar Fatir. Fira menoleh lagi. Kalau difikir apa yang di ucapkan Fatir benar juga. Ternyata selama ini rumah mereka dekat, hanya di beri satu jarak.

"Hmm, kalau begitu harusnya saya berjalan ke gang sebelah, saya permisi kalau begitu mas Fatir." Fatir mengangguk. Fira pun berjalan ke arah sebelah gang. Ia sempat menoleh ke arah Fatir. Fatir hanya tersenyum dan melambaikan tangan. Fira langsung menunduk tak menanggapi lambaian tangan itu.

🍃🍃🍃🍃

Fira menutup buku pelajarannya. Ia memilih merebahkan diri. Baru saja akan memejamkan mata. Ketukan pintu mengganggunya.
"Masuk!" Seru Fira. Pintu terbuka, Faris masuk dan duduk di samping sang kakak. Fira masih di posisi yang sama.
"Apa dek? Mau bilang kalau ada yang lamar mbak lagi?" Tanya Fira malas. Faris tersenyum kecil.

"Yah... Kerjaan ku kalau masuk kamar Mbak kan emang cuma itu." Fira langsung bangun dan melotot. Faris langsung tertawa. Tertawa lebar untuk pertama kalinya. Fira sampai bengong. Ia langsung berfikir adiknya bercanda. Fira kembali merebahkan diri ranjangnya. Faris yang melihat itu langsung menghentikan tawanya. Dan berdiri. Bersiap untuk keluar dari kamar sang kakak. 

"Habis isha ya, mbak. Jangan sampai lupa." Faris langsung menutup pintu. Fira bengong.
"Siapa lagi sekarang?" Gumam Fira lelah.

Azan isha terdengar. Dengan malas Fira keluar kamar. Masuk ke kamar mandi dan mengambil wudhu. Ia terus berjalan sampai ke ruang mushola keluarga. Di sana sudah ada Abi, umi dan juga Faris. Mereka menunggu Fira dan mulai sholat berjamaah.

Selesai sholat, Fira dan Faris saling mencium tangan kedua orang tuanya dan berzikir bersama. Selesai melaksanakan kewajiban. Abi dan umi lantas menatap Fira. Dan Fira sudah paham dengan tatapan sang orang tua.
"Iya, Fira siap-siap." Fira langsung membuka mukenah dan melipatnya rapih. Ia taruh di rak khusus mushola. Lalu pergi dari sana dan masuk ke dalam kamar.

"Apa kali ini masih di tolak?" Tanya umi.
"Abi nggak tahu, mi, kita lihat saja."
"Faris rasa, masih di tolak." Umi dan Abi langsung menatap Faris.
"Kenapa kamu seyakin itu?"
"Karena mbak, masih mau belajar, Bi, Mi." Umi dan Abi berpandangan. Faris bangun dan pergi dari mushola setelah mengucap salam.

"Apa kita terlalu memaksakan anak kita ya, Bi?"
"Abi nggak tahu, mi."
Mereka menghela nafas. Semoga saja apa yang mereka lakukan tidak membuat anak gadis mereka tertekan. Mereka hanya tidak mau sampai anak gadis mereka melakukan hal yang salah.

Di jaman modern seperti ini. Berbuat dosa sangatlah mudah. Hanya dengan menatap, memikirkan dan mencintai dalam diam. Itu juga sudah di sebut zinah.

Mereka sebagai orang tua. Tidak akan melarang anaknya menikah muda. Lebih baik menikah muda dari pada hamil muda pada saat yang salah.

"Semoga Fira paham maksud kita ya, Abi."
"Insyaallah, umi."

🍃🍃🍃🍃

Gue ngetik ini di saat-saat sibuk, super sekali...
Wkwkwkwkw
Jangan lupa komen.
Sumpah demi apapun. Aku lebih suka komen kalian dari pada vote kalian. Dengan komen kalian aku tersulut untuk terus menulis. Ehehehhehehehehehehe

Fatir dan Fira(Tamat)Where stories live. Discover now