Hujan

173 17 0
                                    

Sebelum ngetik part ini, aku sempatin baca part-part sebelumnya, and I think it's awesome. Sampe gak nyangka aku yang nulis. Meski masih ada banyak kesalahan disana-sini. Aku janji akan revisi nanti kalau sudah selesai.

Setelah debut pertamaku yang gagal, aku berterima kasih dengan orang-orang yang mendukung dan menginspirasi cerita ini.

Thank a lot untuk read, vote, and commentnya.

*****

Upacara bendera kali ini dilewati Nara dengan kecanggungan. Dia berkali-kali pindah barisan, Dito terus saja mengekorinya. Sampai protokol upacara menginterupsikan posisi siap, Nara terpaksa rela pangeran sok tampan yang satu itu berbaris di sebelah kirinya.

Kejadian tadi di posko membuat Nara malu. Mulut Arinka yang memang jarang dikontrol itu menanyai Dito tentang kenapa Nara bisa senyum-senyum setelah kencan pertama mereka jum'at lalu?. Itu sebenarnya tidak jadi masalah bagi Nara. Dia sudah cukup mengerti keusilan gadis super excited seperti Arinka. Tapi lain halnya jika pertanyaan itu didengar semua penduduk posko. Sumpah, Nara ingin sekali menghukum mulut ceplos Arinka.

Belum lagi Dito yang setelah hari itu tak berhenti menanyakan pertanyaan yang sama, "Apa aku sudah jadi sahabat kamu, Ra?", Baik di chat ataupun secara langsung seperti pagi ini. Sehari bisa lebih dari tiga kali Nara mendengar pertanyaan itu.

Nara sudah berjanji akan mencoba lagi, tapi tidak harus secepat ini juga, kan. Baru juga tiga hari. Nara harus benar-benar yakin lebih dulu kalau kali ini dia takkan terluka lagi. Barulah dia bisa memantapkan hati membuka lembaran baru bersama sahabat baru.

Setelah hampir 3 tahun lamanya, ini kali pertama Nara membuka diri pada seseorang. Dia bingung harus mulai dari mana. Dito juga belum mengatakan apapun pagi ini. Hanya senyuman usil yang ditampilkan pria itu, membuat Nara menunduk malu karena mata kawan-kawannya tak henti menyelidik dirinya.

"Dasar Arinka." Umpat Nara dalam hati.

Sejam penuh rasa grogi itu pada akhirnya berlalu juga. Namun Nara harus mengatur rencana kembali perihal apa saja yang harus dilakukannya hari ini. Tadinya dia ingin bersantai di aula menghabiskan satu-satunya komik yang dijumpainya di perpustakaan SMP Harapan, mengingat ini bukan harinya untuk berjaga di ruang BK. Malangnya, perkataan Arinka pagi ini masih hangat-hangatnya dibincangkan oleh semua mahasiswa magang, jadi Nara terpaksa mengurungkan niatnya. Dia akan menenggelamkan diri dengan laporan-laporan konseling saja di Ruang BK dan melaksanakan sesi akhir konseling dengan Ardit.

Suasana hatinya semakin membaik setelah menyibukkan diri. Beberapa laporan pun selesai di tangan Nara. Dia juga senang Ardit lebih semangat menjalankan sesi terakhir mereka. Tapi Nara punya PR meyakinkan guru pamongnya untuk tidak memberi Ardit SPO karena aksi bolosnya kemarin. Rama, kakaknya Nara juga beriktikad baik menghubungi kawan hackernya untuk menyingkirkan foto bunda Ardit yang meresahkan itu dari HP ayah tirinya.

Hari Nara nyaris sempurna kalau saja Dito tidak menunggu Nara usai pulang sekolah. Padahal gadis itu sengaja keluar dari ruang BK lewat jam pulang. Pipinya kembali memanas dan rona merah tak mampu lagi disembunyikannya. Arinka sukses mengacaukan hari sang putri tidur.

"Aku kira kamu udah pulang duluan, Ra. Aku tungguin dari tadi. Yuk!"

"Ehh, duluan saja. Maaf tapi aku tidak berboncengan dengan laki-laki. Aku jalan saja."

Ini prinsip yang lama dipegang Nara. Dia masih ingat dengan jelas perkataan kakak pementor lingkaran pengajian yang ditekuninya setiap jum'at. Seberapa mulia islam menjaga muslimah agar senantiasa menjadi perhiasan dunia paling berharga di dunia tercantum jelas dalam materi etika pergaulan dengan yang bukan mahram, Nara sudah hapal luar kepala batasan-batasan yang tidak boleh dilanggarnya. Larangan berpegangan tangan dan berduaan saja merupakan hal-hal kecil yang tengah dibiasakan Nara dalam keseharian.

"Aku tau. Makanya aku suruh yang lain bawa motorku."

Kalau sudah begini, Nara tidak bisa menolak. Langit juga tengah mendung. dia khawatir jika tidak bergegas, mereka akan kehujanan. Dia hanya perlu menjaga jarak aman dengan laki-laki itu. Nara akhirnya mengangguk pasrah kemudian berjalan mendahului Dito. Lagi-lagi Dito mengembangkan senyumnya membuat Nara makin salah tingkah.

"Ardit gimana, Ra."

Nara bersyukur Dito mau membuka mulut lebih dulu hingga mampu mengurangi sedikit rasa grogi yang tercokol di benaknya seharian ini.

"Dia membaik. Dia merasa gak berguna untuk keluarganya makanya nekat mau bunuh diri. Thank banget kamu mau ngajak dia ngefutsal kemarin, Dit."

"Bukan apa-apa. Aku senang, berasa punya adik cowok beneran."

"Iya, dasarnya dia baik banget."

"Kamu pantes jadi guru BK, Ra."

"Cuma berusaha menikmati apa yang Allah kasi ke aku. Gak mudah masuk kampus kita."

"Kayaknya kamu terpaksa masuk BK."

"Aku suka pelajaran hitung-hitungan. Tapi aku lambat di trigonometri kalau matematika, jadi aku lebih senang kimia dan coba milih itu kemarin,  pendidikan dan non pendidikan. pilihan ketiga aku pilih BK karena passing gradenya rendah."

"Ohh, jadi cuma selingan, ya." Balas Dito lagi. "Kenapa gak Fisika?"

"Mana mau aku sekelas sama cowok narsis kayak kamu, Dit." Canda Nara dengan tawanya yang ikut meledak.

Dito hanya tersenyum simpul. Ini kali pertama lainnya yang dilihatnya dari gadis di sampingnya itu. Kali pertama Nara mencandainya. Mungkin terdengar garing, namun mengingat momen ini termasuk momen jarang terjadi, hati Dito seketika menghangat.

Saat Nara tertawa, wajah manisnya terlihat menggemaskan. Pipi tirusnya menggembang dua kali lipat, manik coklatnya akan tersembunyi dibalik kelopak mata berkerutnya dan goncangan di sekitar bahunya yang tetap terlihat meski tertutup kerudung tebal, pemandangan yang baru-baru ini jadi favorite Dito.

Tawa Nara baru reda saat rintik-rintik gerimis mengenai pipinya. Rintik-rintik itu dengan cepat berubah menjadi hujan deras memaksa Nara dan Dito berteduh di depan mini market. Jarak menuju posko masih lumayan jauh. Mereka akan amat sangat kuyup jika terus berjalan.

Nara mengibaskan ujung gamis coklat yang kini tampak kotor terkena genangan air, kemudian membenarkan letak kerudungnya yang sedikit miring. Sedangkan Dito sibuk memasang mantel hujan tas ranselnya. Beberapa saat mereka bersitatap dan gelegar tawa mereka serempak membuncah menertawai wajah mereka yang sama kusutnya. Setelan kemeja rapi Dito sudah tak berbentuk. Rambutnya tak henti meneteskan air ke pipinya.

Gelak tawa dua sejoli itu makin keras, saat perut Nara membunyikan alarm tanda kelaparannya. Wajar saja, karena sekarang sudah hampir pukul dua siang lebih. Dito berinisiatif untuk membelikan Nara mie instan cup untuk mengganjal perut. Tapi  Nara menolak karena pagi tadi dia sudah memasak makan siangnya. Walhasil, Dito hanya membelikan sebungkus roti gandum coklat dan sebotol mineral.

Dito yang sudah lama mengikrarkan diri sebagai pria pencinta hujan, merasa ini hujan paling bersejarah dalam hidupnya. Hujan kali ini diam-diam menyelinap menjadi saksi bisu awal mula persahabatan mereka terjalin, bahkan dalam hati Dito berharap lebih suatu hari nanti. Lagi-lagi tiap hujan berikutnya akan menghantarkan ingatannya pada kenangan manis tentang hari ini, hari terakhir di bulan oktober. Hari dimana dinding Nara benar-benar runtuh oleh pesonanya.

Allahumma shayyiban nafi'an

Ya Allah, berikanlah hujan yang bermanfaat.

Bermanfaat untuk hati yang lama diisi kegersangan, jiwa yang tiap hari meminta oase di gurun pasir, serta diri yang tiap detik merindu hilangnya sepi.

Putri Tidur dan Pangeran KampusWhere stories live. Discover now