Chapter 1

268 18 40
                                    

~ A friend is someone who knows everything about your life, and still love you for who you are ~

Bunyi barang pecah serta suara bentakkan terdengar jelas hingga keluar dari ruang rapat. Para karyawan yang tadi diusir keluar dari ruang rapat, masih setia menunggu. Beberapa memasang wajah simpati, beberapa bergidik ngeri. Yang pasti, semuanya merasa kasihan pada seorang gadis muda yang saat ini terjebak di dalam sana bersama bos mereka yang sedang mengamuk.

"Keluar kamu!!" Suara penuh amarah kembali terdengar dari dalam.

Tak lama kemudian, seorang gadis dengan rambut pendek sebahu berlari keluar sambil menangis. Tatapan iba para karyawan mengikuti langkahnya.

"Ada apa ini? Kenapa kalian semua bergerombol di sini?"

Para karyawan itu pun menoleh, kaget. Salah satu bos tertinggi mereka berdiri di sana sambil tersenyum. Mereka serta-merta menghela napas lega. Pokoknya, asal bukan CEO galak setengah gila yang masih berada di dalam ruang rapat itu saja yang menegur mereka.

"A-anu, Pak Will ... Pak Joe habis marah-marah lagi di ruang rapat, Pak. Banting-banting barang." Seorang pria muda memberanikan diri menjawab.

Will menghela napas. Sahabat serta rekan kerjanya ini selalu saja bikin masalah. Dalam 5 tahun, sudah 23 sekertaris dan beberapa pegawai yang keluar. Semua karena temperamennya yang sulit dikendalikan. Ia harus segera menyusun rencana. Kalau begini terus, bisa-bisa mereka kehabisan karyawan.

"Sudah. Kalian kembali bekerja. Biar saya yang urus bos kalian itu." Will memberi perintah yang disusul dengan anggukkan patuh para karyawannya.

Dengan penuh percaya diri, Will mendorong pintu ruang rapat hingga terbuka lebar. Di dalam, Joe menoleh dan menatapnya garang. Will mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan dan mendapati banyak pecahan keramik dan kaca di lantai. Itu pasti keramik pajangan meja, vas bunga dan telepon genggam. Untung saja sahabatnya itu tidak memutuskan untuk membanting piala award perusahaan mereka.

"Mau berapa banyak lagi barang yang kamu hancurkan, Joe? Mau berapa orang lagi yang resign sebelum kamu puas?" tanya Will setengah kesal. Mungkin dikiranya mudah mendapatkan karyawan yang kompeten dan bisa dipercaya.

"Mereka yang salah! Kerja nggak becus! Salah terus!" Joe masih dengan nada marah, setengah berteriak pada Will.

Will mendesah. Tak habis pikir bagaimana bisa sahabatnya ini begitu keras kepala.

"Kamu harus pergi terapi. Aku yang akan atur semuanya. Jangan kembali kalau kamu belum bisa mengendalikan emosimu." Dengan penuh percaya diri dan ketenangan, Will memberikan perintah pada Joe.

Joe menaikkan sebelah alisnya. "Kamu memerintahku, Will? Kamu lupa kalau aku pemilik saham terbesar di perusahaan ini? Kamu tak bisa—"

"Aku bisa," potong Will penuh tekad. "Ini tak ada hubungannya dengan saham atau apa pun. Aku melakukan ini sebagai sahabat, Joe. Aku lelah melihatmu seperti ini."

Joe menatap sahabatnya itu sejenak. Ia melihat kesungguhan di mata coklatnya. Mereka bersahabat sejak SMA dan Joe akan mempercayakan bahkan nyawanya pada Will. Melihat keseriusan Will, amarahnya mereda. Lalu, ia menghela napas, pasrah.

"Baiklah, Sobat. Aku akan menurutimu. Kirimkan pekerjaanku nanti via email. Apa pun yang tak bisa kau handle, kirimkan padaku."

Will tersenyum lega. Akhirnya, Joe mau menurutinya. Sungguh bukan perkara mudah membujuk pria temperamental seperti Joe. Will bertekad untuk mengirim Joe ke tempat yang tenang agar terapi emosinya berhasil. Dan ia sudah memutuskan tempat yang cocok dan orang yang bisa dipercaya.

"Kau tenang saja. Pokoknya, aku yang akan atur semua. Sekarang, yuk, kita makan siang. Lapar perutku karena mengurusimu yang ribut terus." Will tertawa sambil setengah mengejek sahabatnya.

Joe mendengus sebal mendengar komentar itu. Tapi tetap saja ia berjalan mengikuti Will.

**********

"Tolonglah, Hiro. Aku tahu kamu sibuk." Will berbicara dengan serius di telepon genggamnya.

Sekarang pukul 5 sore, yang berarti pukul 7 malam di seberang sana. Saat ini, ia sedang membujuk orang yang akan ia tumbalkan demi membantu Joe. Suara di seberang sana masih belum menyerah dan menolak permohonannya.

"Tidak. Dia takkan tinggal denganmu. Dia akan menempati rumahku. Aku akan pastikan dia datang ke rumahmu pada jadwal yang kau tentukan." Will kembali membujuk.

"Hey, kau yang mengusulkan padaku untuk menggunakan terapi ikebana padanya. Dan kau pun satu-satunya guru besar ikebana yang aku kenal. Jadi, aku mohon ... bantulah dia. Sebelum semua pegawaiku mengundurkan diri karena ulahnya."

Will berhenti berbicara sejenak. Mendengarkan lawan bicaranya mengajukan syarat-syarat, sebelum akhirnya ia menyanggupi semuanya. Ia tersenyum penuh kemenangan. Selanjutnya, ia menelepon ibunya. Will memang memiliki darah Jepang dari ibunya. Ia meminta agar ibunya membantu Joe selama pria itu berada di sana.

*************

Will mendorong pintu ruangan Joe cukup keras sehingga pemiliknya menoleh seraya menaikkan sebelah alisnya, setengah kaget dan kesal. Will memamerkan senyum lebar yang dapat meluluhkan hati banyak wanita. Sementara Joe, mengernyit ngeri.

"Semuanya sudah beres. Tinggal nunggu visa keluar saja." Will menghempaskan tubuhnya di atas sofa hitam milik Joe.

Joe menghela napas, pasrah. Ia mempercayakan semuanya pada Will. "Ke mana kamu mengusirku kali ini, Will?" Ia tak mengacuhkan Will, malah sengaja menyibukkan diri membaca laporan di hadapannya.

Ini bukan pertama kalinya Will mencarikan terapi untuknya. Sudah beberapa kali Joe mengikuti sesi dengan psikolog atas permintaan sahabatnya itu. Tapi tak pernah ada perubahan yang berarti. Mungkin penderitaan masa kecilnya yang membuat emosi Joe meledak-ledak seperti itu. Joe menganggapnya sebagai penyakit turunan. Karena ia dan ibunya dulu menjadi korban kekerasan ayahnya yang ringan tangan. Will bersyukur, Joe melampiaskan kemarahannya pada barang. Tak pernah sekali pun Joe memukul lawan bicaranya.

"Jepang, Sobat. Kau akan menikmati liburan penuh ketenangan di Osaka. Ibuku sudah siap menyambutmu. Dan ingat ... jangan pulang sebelum terapi itu berhasil."

Joe memutar bola matanya, kesal. Sekalian saja ia menetap di sana. Seenaknya saja sahabatnya itu mengirim dirinya ke Osaka.

"Sepupuku yang akan memberimu terapi. Turuti semua perintahnya, atau jangan sebut aku sahabatmu lagi."

Joe menyipitkan matanya, menatap Will. Mulai berani main ancam dia rupanya. Lihat saja. Ia akan membuat susah sang sepupu terlebih dahulu, sebelum Joe mengikuti semua perintahnya.

Will seakan bisa menebak pikiran sahabatnya. "Jangan melakukan hal yang tak perlu, Joe. Aku serius. Jangan anggap aku sahabatmu lagi jika terapi kali ini gagal karena kau menyerah." Will memasang wajah serius saat menatap sahabatnya itu. Membuat Joe mau tak mau ikut serius juga.

Lalu, ia menghela napas sambil mengibaskan tangannya. "Baiklah ... baiklah. Tak perlu serius begitu, Sobat. Aku janji akan bersikap baik. Sekarang, pergilah, Will. Biarkan aku menyelesaikan pekerjaanku. Kau ada di sini itu menggangguku."

Will mengulum senyum penuh kemenangan. Ya. Ia akan melakukan apa pun demi membantu sahabatnya itu. Walaupun Joe temperamental dan mudah marah, tapi ia tetap menyayanginya. Ia tetap berada di sisi Joe, tak peduli semarah apa pun pria itu. Itulah bukti persahabatan mereka.

Words count: 1056

Soothing FlowersDove le storie prendono vita. Scoprilo ora