Chapter 2

190 18 36
                                    

~ Trying new things is a way to keep your mind busy ~

Tokyo Haneda International Airport. Setelah lebih dari 6 jam dalam pesawat, akhirnya Joe tiba juga di Tokyo. HANYA TRANSIT. Betapa kesalnya ia pada sahabatnya. Bukannya mengirimnya ke kota besar seperti Tokyo, malah dengan senang hati menempatkannya di Osaka. Joe tahu, tidak ada tempat yang buruk di Jepang, tapi tetap saja ia tak puas.

Melirik jam di tangannya, masih pagi. Ia meregangkan badannya sebentar, lalu memandang sekelilingnya. Mencari tempat yang nyaman untuk menunggu pesawat berikutnya, sekitar 5 jam lagi. Berjalan tanpa koper, Joe memutuskan untuk mencari makanan. Ia menyusuri koridor panjang di mana restoran berderet rapi. Dilihatnya salah satu restoran sushi. Yah ... sesekali makan sushi sepagi ini, bolehlah.

Joe memesan sepiring aneka sushi dan semangkuk sup miso. Melahap makanannya sambil sesekali mengecek ponsel. Will benar-benar sudah gila, mengirimnya sampai sejauh ini. Ini baru Tokyo, ia masih harus menempuh perjalanan selama 2 jam dengan pesawat ke Osaka. Sesama wilayah di Jepang. Tapi jarak tempuhnya sama dengan Jakarta-Singapura.

Menghabiskan sarapannya, Will memutuskan untuk menunggu jam keberangkatannya di sebuah coffee shop di area bandara.

*************

Kansai International Airport. Akhirnya, tiba juga ia di tempat tujuan. Joe membawa kopernya menuju pintu keluar terminal kedatangan. Tepat di depannya, berdiri seorang pria berpakaian formal dengan papan nama bertuliskan 'Mr. Joe'.

"Hi. I am Joe." Joe memperkenalkan dirinya. Pria itu tersenyum.

"Selamat datang, Tuan Joe. Nyonya sudah menunggu di rumah. Mari ikuti saya." Pria ini pasti salah satu dari pegawai asal Indonesia yang dipekerjakan oleh Will untuk membantu ibunya.

Sepanjang perjalanan, Joe berusaha memejamkan matanya. Ia luar biasa lelah dan seluruh badannya pegal. Perjalanan menuju rumah Will memakan waktu kurang lebih satu jam.

"Joe! Akhirnya kamu sampai juga." Tante Kimiko, ibu Will, menyambutnya dengan pelukan hangat. Beliau selalu menyayangi Joe bagai anak sendiri sejak SMA. Sayang, sejak ayah Will meninggal 5 tahun lalu, ia memutuskan untuk kembali ke Jepang dan menempati rumah peninggalan keluarganya.

"Apa kabar, Tante? Maaf, ya, Joe dateng ke sini malah bikin repot Tante." Tante Kimiko tersenyum sambil menuntun Joe mengelilingi rumahnya. Menjelaskan tiap sudut rumah 2 lantai itu. Dan akhirnya, mengantarkan Joe ke kamar yang akan ditempatinya.

"Istirahat, ya, Joe. Kalau mau pergi, minta antar Pak Ari saja. Besok baru kamu ke Kyoto, ke tempat Hiro."

Joe mengangguk. Sepeninggalan Tante Kimiko, ia merebahkan tubuhnya di atas kasur. Rumah modern yang tak terlalu luas ini sangat nyaman. Ia mengingat betapa ibu Will itu berusaha menggantikan sosok mama yang meninggal saat ia kelas 2 SMA. Dan tak lama kemudian, papanya meninggal dalam penjara. Beliau mewariskan seluruh hartanya pada Joe. Ia sangat bersyukur akan hal ini. Keluarga Will mengangapnya sebagai bagian dari keluarga mereka.

Joe melirik jam tangannya, sekarang masih pukul 2 siang di Jakarta. Diambilnya ponsel berwarna silver dari saku jaketnya.

"Yo! Kamu sudah sampai, Joe?" Suara Will langsung terdengar pada dering ke dua.

"Ya," sahut Joe. "Aku rasanya ingin melempar piring ke arahmu. Dasar, Sialan! Kupikir, perjalananku hanya sampai Osaka. Ternyata kata ibumu, kau menyuruhku ke Kyoto?!"

Terdengar suara tawa Will dari seberang sana. Sahabatnya itu benar-benar senang menyiksanya. Ia dalam hati bertekad untuk mencari tahu soal Kyoto. Jika ternyata tidak menarik, Will akan menerima akibatnya.

"Kau akan menikmati Kyoto, Joe. Aku janji. Nanti kuminta Hiro dan Pak Ari mengantarmu jalan-jalan." Will berusaha membujuk Joe.

"Hm," sahutnya singkat. "Bagaimana pekerjaan di kantor?"

Lagi-lagi suara tawa terdengar. "Relax, Bro. Kamu bukan satu-satunya CEO di kantor. Masih ada aku, remember?" Tawa Will menular padanya.

"Baguslah. Jadi kalau aku betah dan malas pulang, aku bisa menetap di sini dengan tenang. Dan tetap menerima gaji." Ia tertawa mendengar sahabatnya mendengus nyaring.

*************

Setelah 2 jam perjalanan menggunakan mobil, Joe akhirnya tiba di Higashiyama, Kyoto. Sejak memasuki Kyoto, pemandangan sekitar berubah. Lebih asri dan lebih banyak rumah tradisional. Dan ia sekarang berhenti di depan sebuah rumah dengan tembok beton tinggi dan panjang. Luas sekali rumah ini.

Pak Ari berbicara dengan seorang wanita yang mengenakan yukata. Kemudian, ia dipersilahkan masuk. Joe berjalan mengikuti wanita tadi, hingga akhirnya ia dipersilahkan masuk ke sebuah ruangan berlantai tatami dengan pintu geser putih. Ruangan itu kosong, hanya diisi beberapa meja kecil.

Joe dipersilahkan duduk di atas sebuah bantal tipis di lantai. Wanita tadi menuangkannya secangkir teh hangat. Ia diminta menunggu. Tak lama kemudian, pintu geser itu pun terbuka. Seorang pria yang mengenakan yukata polos berwarna biru, masuk. Rambut hitam panjangnya dibiarkan tergerai sebahu. Ia membungkuk, membuat Joe sontak berdiri dan ikut membungkukkan badannya.

"Hari ini kita pertama-tama akan mempelajari dasar ikebana. Saya Hiro. Saya yang akan mengajarkan teknik ikebana untuk terapi emosi Anda." Pria itu berbicara dengan suara yang sangat merdu dan mendayu-dayu menggunakan bahasa Inggris yang lancar.

Joe bertanya-tanya dalam hati, terapi apa ikebana itu. Mendengar namanya saja belum pernah. Hiro berlutut di samping meja kecil di hadapan Joe. Pria itu meletakkan beberapa alat di atas meja mungil itu.

"Ini utsuwa. Fungsinya sebagai pot," katanya sambil menunjuk benda lonjong agak tinggi. "Ini kenzan. Fungsinya sebagai tempat Anda menancapkan bunga," katanya lagi sambil menunjuk benda bulat berduri. Kemudian Hiro juga meletakkan gunting khusus dan gunting tanaman, serta tape berwarna hijau dan cokelat.

Joe menatapnya bingung. Ini terapi atau kursus merangkai bunga? Dasar, Will! Dia sebenarnya tahu atau tidak mengenai terapi ini? Memangnya dia pikir pria macam apa Joe itu? Dengan wajah kesal, Joe berdiri.

"Maaf, saya akan keluar sebentar." Tanpa menunggu balasan Hiro, ia langsung keluar dari ruangan itu. Tangannya sibuk menekan tombol di layar ponselnya. Ia menelepon Will di Jakarta.

"Hello, Brother," sapa Will tanpa rasa bersalah.

"Dasar, Sialan!! Kamu katanya ngirim aku kesini buat terapi. Kenapa malah disuruh merangkai bunga? Maksud kamu apa, hah?!" Joe berseru kesal.

"Dengar, Joe. Ikebana bagus untuk terapi kejiwaan. Kamu sudah sejak lama ke psikolog, dokter, tapi nggak ada yang berhasil. Coba saja, lah." Will terdengar menahan tawa setelah mendengarnya mendengus kesal.

"Terapi kejiwaan. Bicaramu seolah aku gila saja. Baiklah. Mendengar suaramu, aku malah makin kesal. Sudah." Joe langsung mematikan sambungan teleponnya. Lalu dengan enggan berjalan kembali ke dalam ruangan tadi.

Sementara itu, di kantornya di Jakarta. Will tertawa terbahak-bahak. Suaranya terdengar nyaring sampai ke luar dan membuat para karyawan mempertanyakan kondisi kejiwaan bos yang mereka pikir waras itu.

Words Count: 1019

Soothing FlowersDär berättelser lever. Upptäck nu