Chapter 6

57 7 0
                                    

Sekuel 1

Sebulan lamanya Joe berada di Jepang untuk terapi ikebana. Walau tak seberapa, ada kemajuan dalam usahanya mengendalikan emosi. Ia pun belum berhasil menyelesaikan rangkaian bunga karena masalah tangkai. Joe kembali ke Jakarta selama seminggu untuk menyelesaikan meeting penting dengan klien. Ia juga merindukan rumahnya. Rumah peninggalan kakeknya. Joe sudah menjual rumah milik orang tuanya sejak ayahnya meninggal.

Hari ini, Joe berangkat lagi ke Jepang. Ia mengumpat dalam hati, menyumpahi sahabatnya, Will. Sebelum ini, Will memberitahunya bahwa tidak ada penerbangan langsung dari Jakarta ke Osaka. Ia harus transit cukup lama di Tokyo. Keberangkatannya kali ini, sekretaris pribadinya yang mengatur. Dan ternyata, ada penerbangan langsung ke Osaka. Sialan! Kawannya itu mengerjainya lagi. Dalam hati, Joe bersumpah untuk tidak langsung mempercayai apapun ucapan Will.

Kansai International Airport. Setelah delapan jam dalam pesawat, akhirnya ia tiba juga di Osaka. Tak ada lagi badan pegal. Kali ini ia terbang dengan Garuda kelas utama yang sangat nyaman. Sekali lagi ia mengumpat dalam hati. Bisa-bisanya waktu itu ia dengan bodohnya terbang menggunakan kelas bisnis dari pesawat yang terkenal low rate di Jepang. Jika mengingat hal itu, Joe rasanya ingin melemparkan sesuatu ke wajah sumringah Will.

Keluar dari gerbang kedatangan internasional, Joe melihat pria berambut lurus sebahu. Berdiri santai di belakang pagar pembatas penjemputan. Pria yang mengenakan turtle neck hitam dan jeans serta long coat cokelat itu tersenyum sambil sekilas melambai padanya. Ah! Musim gugur hampir berakhir dan udara hari itu cukup dingin. Sial! Ia lupa membawa pakaian musim dingin.

"Aku sudah bilang, kau tak perlu menjemputku kemari, Hiro. Biar besok aku yang akan ke tempatmu." Joe tersenyum lebar saat berdiri di hadapan pria tampan berkulit seperti porselen itu.

Hiro kembali memamerkan senyum yang membuat jantung Joe serasa berdentum keluar dari rongganya. Joe meletakan tangannya diatas jantung, seolah meredam debarannya. Semoga saja Hiro tak mendengar suara detak jantungnya yang berbunyi nyaring.

Hiro mengedikan bahunya. "Aku sedang senggang. Jadi, aku main ke tempat Tante Kimiko. Lalu, Pak Ari bilang mau menjemputmu. Sekalian saja aku ikut," sahut Hiro santai sambil mendorong punggung Joe agar ia mengikuti Pak Ari yang sudah mendahului mereka dengan koper Joe.

"Alasan. Bilang saja kalau kau merindukanku." Joe menahan senyumnya seraya menyikut pelan pinggang ramping Hiro.

Hiro menatap Joe dengan tatapan kalau seolah-olah Joe telah mengucapkan sesuatu yang bodoh.

"Tentu saja aku merindukanmu. Dasar." Hiro mendecak tak sabar. Ia menatap Joe yang tiba-tiba berhenti berjalan dengan wajah melongo bodoh. "Ayo cepat, Joe-san. Aku lapar." Hiro menarik siku Joe dengan tak sabar.

*************

Hiro mengajak Joe ke coffee shop. Berbeda dengan Jakarta, coffee shop di Osaka terasa nyaman bagai di rumah. Dekorasinya simple dan suasananya tenang. Lagu instrumental mengalun lembut. Joe menatap sekeliling ruangan. Seorang pria paruh baya sedang membaca buku, dua orang wanita bergosip dengan suara pelan, dan beberapa murid sekolah yang sedang mengerjakan tugas. Mereka semua berusaha menjaga suasana di tempat itu tetap tenang dan nyaman.

"Kita langsung ke rumah Tante Kimiko setelah ini?" Joe menatap sepiring pork cutlet dengan saus kari dan nasi di hadapannya dengan terkesima. Makanan ini tampak biasa tapi aromanya sangat menggiurkan.

Hiro mengatupkan kedua tangannya seraya berkata, "Itadakimasu!" Ia menatap Joe, setengah menahan tawa melihatnya terpesona pada piring makanannya.

"Tidak. Kita akan mengunjungi nenekku dulu. Beliau tinggal tak jauh dari sini. Ibu memintaku mengecek keadaan nenek." Hiro menyuapkan sesumpit ramen ke dalam mulutnya.

Joe memejamkan matanya, menikmati suapan pork cutlet yang berkulit renyah dan daging dalamnya yang lembut. Jepang sungguh merupakan surga makanan.

"Kau masih punya nenek? Luar biasa! Berapa usianya sekarang?"

"Kurang lebih 93 tahun," sahut Hiro santai.

Joe terbatuk mendengar jawaban Hiro. Ia tersedak daging yang sedang dikunyahnya. "93 tahun dan beliau tinggal sendiri?" tanya Joe takjub.

Hiro mengangguk sambil menenggak habis ocha-nya. "Kau akan menyukainya." Hiro meninggalkan Joe ke kasir untuk membayar makanan mereka. "Ayo, cepat. Nanti kita kesorean, Joe-san." Ia menarik lembut pinggiran baju Joe, memintanya segera menyelesaikan makan.

Joe memutar bola matanya seraya memasukan suapan terakhir ke dalam mulut. Mengunyahnya sebentar lalu menelan makanannya disusul desah bahagia. "Demi Tuhan, Hiro. Biarkan aku menikmati makananku dulu," omelnya. Tapi, Joe pun bangkit berdiri dan mengikuti Hiro. "Kita mampir dulu ke toko pakaian. Aku butuh pakaian yang lebih hangat."

Hiro berbalik dan menatap Joe sambil memicingkan matanya. Sambil merengut kesal, ia melepaskan coatnya dan menyampirkannya di pundak Joe. "Pakai jaketku dulu. Kita tak punya waktu untuk mampir ke toko pakaian." Hiro menjulurkan lidahnya di hadapan Joe. "Kau payah, Joe-san," katanya sambil tertawa mengejek, seraya berjalan meninggalkan Joe.

Joe mendengus kesal. Coba saja Hiro tinggal di Jakarta. Kota padat penduduk yang musim hujannya pun tetap saja panas. Joe berani menjamin, kulit mulus pucat bak porselen Hiro takkan bertahan lama di sana.

***********

Mereka tiba di sebuah rumah sederhana. Sederhana dalam artian tak seluas rumah Hiro atau pun rumah Tante Kimiko. Tapi rumah ini cukup luas untuk ditempati sendirian. Hiro mengajak Joe masuk. Mereka melepaskan sepatu mereka dan menggantinya dengan sandal rumah.

"Nenek!! Aku datang!" Hiro dengan lantang memanggil neneknya.

Terdengar suara seorang wanita dari dalam, meminta Hiro masuk. Hiro masuk ke dalam dan meninggalkan Joe di ruang tamu. Joe berjalan mengelilingi ruangan itu, sibuk melihat bingkai foto yang terpajang di sana satu per satu. Ia melihat dua anak remaja berpose di bawah pohon sakura. Ia mengenali wajah nakal sahabatnya, sedangkan yang satunya, ia yakin itu Hiro. Wajah dan model rambutnya berubah, tapi senyumnya sama.

Tiba-tiba, Joe mengernyit. Ia seperti pernah melihat foto tua berbingkai kayu yang tertempel di dinding. Pria dalam foto itu tampak tak asing. Joe duduk di salah satu kursi, berusaha mengingat-ingat dimana ia pernah melihat foto itu.

Rumah Will? Apa mungkin itu kakek Will dan Hiro? Tapi, ia tak pernah melihat sang kakek sebelumnya. Tidak mungkin ayah dan ibu Hiro. Foto itu sepertinya bahkan lebih tua dari kedua orangtua Hiro. Dan pria itu tak terlihat seperti orang Jepang. Joe yakin sekali pernah melihat foto yang sama. Rumahnya?? Oh!!! Rumah kakek!!! Foto itu terpajang di ruang tamu kakeknya!

Ia bangkit dari duduknya dan menghampiri foto itu lagi. Joe memandanginya. Ya! Ia yakin sekali itu foto kakeknya semasa muda. Kenapa foto itu bisa ada di sini? Dan gadis ini? Joe kembali mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Jangan-jangan gadis ini nenek Hiro?!

Word count: 1023

Soothing FlowersWhere stories live. Discover now