Chapter 3

113 17 20
                                    

~ Patience is the calm acceptance that things can happen in a different order than the one you have in mind ~ David G. Allen

"Sudah siap mengikuti pelajaran?" Suara Hiro menyambut Joe yang baru saja memasuki ruangan. Joe menghela napas dan mengangguk. Ia kembali duduk di belakang meja mungil yang sudah di siapkan tadi.

Hiro tersenyum ramah. Ia duduk bersimpuh di belakang meja mungilnya, tepat di hadapan Joe yang mengamati setiap gerak-gerik Hiro.

"Apa aku harus merangkai bunga juga?"

Lagi-lagi, pria tampan berambut panjang itu tersenyum. Ia mengambil sehelai pita panjang yang ia gunakan untuk mengikat rambut panjangnya.

"Tidak. Kali ini Anda hanya akan mengamati. Sambil Saya akan menjelaskan. Berikutnya, Anda bisa mencoba merangkai bunga sendiri." Hiro menepuk tangannya beberapa kali, dan wanita tadi datang dengan membawa beberapa helai bunga.

"Tolong. Jangan formal seperti itu."

Pria itu mengangguk. "Baiklah. Jadi, untuk membuat rangkaian bunga ikebana yang akan saya ajarkan, diperlukan tiga titik tanaman yang mewakili langit, bumi dan manusia. Dalam bahasa Jepang shin, soe dan tai."

Hiro memilih beberapa tangkai bunga dan batang. Lalu memisahkannya menjadi 3 bagian.

"Ini untuk shin." Hiro menunjuk bunga mungil yang sepertinya peach blossom. "Ini untuk soe." Ia menunjuk 2 batang mawar yang berbeda ukuran. "Dan ini untuk Tai." Hiro kemudian menunjuk bunga-bunga mungil yang Joe yakin adalah baby's breath. "Batang-batang ini untuk hiasan di antaranya. Kau bisa membentuknya menggunakan kawat ini. Kemudian, kau lilit dengan tape berwarna sama."

Hiro kemudian memotong tangkai para bunga itu menjadi 3 ukuran tinggi.

"Shin yang paling tinggi. Cara mengukurnya kira-kira satu setengah sampai tiga kali lebar utsuwa. Soe kurang lebih dua per tiga dari shin. Sedangkan tai, ukurannya dua per tiga dari soe. Sampai sini bisa dimengerti?" Hiro menatap tamunya itu tak yakin.

Joe balas menatap Hiro. Dalam hati, Joe tak mengerti satu pun ucapan Hiro. Matanya sibuk menatap jemari pria itu bergerak kesana kemari. Jemari lentik yang sesuai untuk wajah tampan tanpa cela Hiro. Ia terpaksa mengangguk agar Hiro bisa melanjutkan materinya.

"Baiklah. Sekarang perhatikan baik-baik. Ikebana adalah seni merangkai bunga 3 dimensi. Sehingga orang bisa menikmati keindahannya dari 3 sudut. Jadi, yang harus dilakukan adalah menyusun tinggi bunga. Pasang shin di bagian tengah kenzan. Lalu, letakkan soe di bagian paling luar. Atur sudutnya supaya bisa terlihat dari 3 sisi. Kemudia tai di sisi dalam." Hiro mempraktekkan cara menyusun bunga. Ia memutar utsuwa-nya, melihat apakah semua sisinya sudah pas.

"Sekarang, lihat caranya membentuk batang menjadi seni." Hiro memotong sebuah kawat tipis. Dan ia membentuk kawat itu menjadi lengkungan unik. Ditempelkannya kawat itu pada batang peach blossom. Kemudian ia mulai melilitnya dengan tape cokelat. Tak lama kemudian, jadilah batang tadi meliuk-liuk mengikuti bentuk kawat.

Joe terkesima melihat jari jemari Hiro dengan cepat menggunting, membentuk dan melilit. Ia semakin terkesima melihat hasil rangkaian bunganya. Dalam hati, Joe merasa tak yakin bahwa terapi ini akan berhasil. Karena ia yakin, kesabarannya tak akan tahan jika harus membentuk bunga-bunga indah ini dengan rapi. Ia bukan orang yang memiliki jiwa seni. Tapi, rasa ingin tahunya tergelitik begitu ia melihat Hiro mulai merangkai bunga. Apakah tangan kasarnya akan mampu menghasilkan karya seni seindah Hiro?

Hiro menancapkan beberapa batang yang sudah ia bentuk ke atas kenzan.

"Nah! Sudah selesai." Hiro tersenyum puas memandang hasil karyanya. Lalu, matanya bergerak ke atas, menatap wajah Joe. "Bagaimana? Ada pertanyaan?"

Joe masih memandang rangkaian bunga buatan Hiro dengan takjub. Ia sangat yakin takkan bisa membuat rangkaian seperti ini. Karena dibutuhkan ketelitian dan kesabaran.

"Apa aku harus membuat yang seperti ini juga, nanti?"

Hiro mengangguk sambil tersenyum. "Tentu saja. Tak perlu persis seperti ini. Kau bisa menggunakkan referensi lain. Kalau tak ada pertanyaan lain, hari ini cukup sampai di sini."

Hiro berdiri perlahan dengan anggun. Yukata birunya mengayun indah. Joe ikut berdiri. Kemudian Hiro membungkuk mengucapkan salam.

"Tunggu aku di mobil. Will memintaku mengajakmu jalan-jalan," kata Hiro seraya keluar dari ruangan dan meninggalkan Joe.

Joe berjalan melalui hall panjang dan deretan pintu geser di kanan dan kirinya. Rumah ini sangat luas. Bahkan Hiro punya pohon sakura sendiri di halaman rumahnya. Ketika tiba di halaman depan rumah, Pak Ari sudah menunggu dengan mobilnya. Dan tak lama kemudian, Hiro muncul. Kali ini ia mengenakan turtle neck merah dengan jeans. Astaga! Tampan sekali pria ini. Seperti ada sesuatu terpancar dari dirinya. Jika tadi mengenakan yukata ia terlihat sexy, kini di mata Joe, Hiro terlihat berkharisma. Joe menggelengkan kepalanya. Apa-apaan otaknya ini? Kenapa melihat Hiro membuatnya merasa melayang di langit?

"Ayo. Kita lihat keindahan kota Kyoto." Hiro masuk ke dalam mobil dan memberi arahan pada Pak Ari dalam bahasa Jepang yang terdengar indah di telinga Joe. 

Hiro mengantarnya melihat istana Kyoto, yang di setiap sudutnya ada rangkaian bunga ikebana yang Hiro buat. Itu membuat Joe terkagum-kagum, mengetahui bahwa bunga buatan Hiro bahkan di pajang di istana. Ternyata profesi merangkai bunga di Jepang sangat dihargai. Apalagi, ternyata Hiro sangat dikenal.

Lalu, mereka ke kuil Fushimi Inari. Kuil dengan deretan torii berwarna oranye  sepanjang empat kilometer. Lagi-lagi, pemandangan di sekitarnya membuat Joe takjub. Pasalnya, tak mungkin mencari pemandangan seperti itu di Jakarta.

Kemudian Hiro mengajaknya melihat villa emas yang berada di tengah danau. Matahari yang terbenam dibelakangnya, membuat villa itu terlihat begitu bercahaya. Joe merasa yakin, jika Hiro terus mengajaknya berkeliling seperti ini, ia takkan ingin pulang lagi ke Jakarta.

"Joe-san, aku penasaran, apa yang membuatmu tak bisa mengendalikan emosi?" tanya Hiro saat mereka makan di salah satu restoran ramen yang kata Hiro enak.

"Ayahku memukuli ibuku dan aku. Sampai aku cukup besar untuk bisa melaporkannya ke polisi. Dulu, aku merasa kalau aku terlalu terpengaruh oleh sikap ayahku. Makanya, kadang aku tak bisa menahannya." Joe menjawab sambil menatap mangkuknya.

Mangkuk keramik dengan ukiran yang terisi penuh kuah kaldu bening beserta ramen, jamur, jagung, telor dan potongan daging. Mengepul menggoda dengan aroma nikmatnya.

Hiro mengangguk mengerti. "Sudah. Jangan pikirkan apa pun lagi. Nikmati makananmu," katanya sambil mengatupkan kedua tangannya dan mengatakan sesuatu dalam bahasa Jepang.

Joe ikut mengatupkan tangannya dan menundukkan kepalanya. Will pernah mengajarinya kata yang diucapkan saat hendak makan itu dulu sekali. Tapi ia melupakannya. Tak pernah terpikirkan olehnya, Will akan mengirimnya ke tempat ini.

Words Count: 1012 words

Soothing FlowersWhere stories live. Discover now